“Bandit-Bandit” Politik

Awal kelahiran bandit politik adalah ditengah krisis politik yang menimpa sebuah negara, di Indonesia bandit politik dilahirkan oleh “ibunya” yang bernama partai politik. Partai politik yang melahirkan bandit politik adalah partai politik yang gagal menjalankan fungsinya sebagai sebuah partai yang akibatnya cenderung mengatakan kebohongan menjadi sebuah kebenaran, bandit politik ini tumbuh berkembang secara liberal dan tanpa kontrol dari manapun. Sangat berbahaya apabila bandit politik ini berasal dari partai penguasa, mereka bisa menjadi liar dan bahkan “menelanjangi” diri mereka dengan kedudukannya. Kita tentu masih ingat kasus yang menimpa politisi Senayan atas nama Yahya Zaini dengan artis Maria Eva yang menjadi kasus terheboh dan merajai pemberitaan media massa.[1]

Kasus yang menimpa Yahya Zaini adalah tamparan bagi rakyat Indonesia, bahwa wakil rakyat yang tugasnya menampung dan memperjuangan hak-hak rakyat ternyata “menelanjangi” diri mereka dihadapan rakyat. Kemudian ada cerita lain lagi tentang Max Moein yang dituduh melakukan perbuatan tidak senonoh terhadap sekretarisnya yang telah merusak citra DPR. Gedung megah dewan perwakilan rakyat pada hakekatnya adalah tempat pembuatan, perumusan, serta tempat keluarnya kebijakan-kebijakan pro-rakyat, sekarang menjadi tempat mencuri uang rakyat melalui produk RUU anggota DPR meminta dana intensif, kemudian meminta tunjangan kerja yang memotong biaya APBN, keterlaluan.

Disaat yang bersamaan rakyat kelaparan berhamburan ditiap sudut kota, anak jalanan mengais rejeki demi sesuap nasi ditengah panasnya terik matahari yang menyengat, orang-orang tua harus rela mengorbankan jiwa dan raga bahkan harga diri sekalipun agar supaya anak-anak mereka bisa sekolah, sementara para bandit politik menikmati fasilitas negara dengan menggunakan uang rakyat. Ke ”tamak”an bandit politik semakin jelas ketika kasus korupsi dilakukan oleh wakil rakyat, rendahnya moralitas wakil rakyat membuat mereka tidak lagi memiliki “kemaluan” terhadap rakyatnya. Retorika-retorika yang dimainkan bandit politik kemudian disaksikan publik adalah kepalsuan-kepalsuan yang bersembunyi diatas nama rakyat. Retorika bandit politik didalamnya terdapat distorsi dengan menyimpulkan realitas menjadi suatu kebenaran dan bagaimana cara membuat bahkan “memaksa” rakyat untuk percaya dengan perbuatan-perbuatan bandit politik.

Dengan kekuatan politik yang dimiliki bandit politik, mereka dengan mudah dapat mengkondisikan proses perubahan sosial yang sedang terjadi, biasanya pengkondisian perubahan sosial dalam masyarakat akan berlangsung ketika proses kebijakan akan dikeluarkan, ketika kebijakan itu mendapat resistensi dari masyarakat, pengkondisian itu coba diterapkan, sebagai contoh, ketika ada kebijakan menaikkan harga BBM, pemerintah tertekan dengan tuntutan-tuntutan masyarakat bahwa dengan menaikkan harga BBM masyararakat akan semakin melarat, disaat bersamaan pula bandit politik mengeluarkan isu-isu kontemporer ada ancaman negara tetangga akan merebut kedaulatan NKRI, pengkondisian semacam ini tujuannya adalah untuk meredam gejolak sosial dalam masyarakat, dibalik produk kebijakan kenaikan harga BBM ada aroma kapitalisme yang mungkin ditutupi dengan pengkondisian semacam itu. Kalau perlu tindakan radikal akan dilakukan bandit politik untuk membenarkan tindakannya.

Cerita terbaru adalah bagaiman Ruhut Sitompul sebagai wakil rakyat yang katanya “terhormat”, termasuk salah satu dari tiga lawyer terbaik di Indonesia mengeluarkan kata “bangsat” digedung rakyat. Cerita Ruhut ini menambah catatan buruk persepsi masyarakat kepada moralitas Anggota DPR saat ini. Menurut Fattah[2], secara umum, sistem yang demokratis pada hakikatnya ditandai oleh berjalannya tiga prinsip dasar. Pertama, tegaknya etika dan moralitas politik sebagai landasan kerja sistem politik, ekonomi dan sosial. Kedua, tegaknya prinsip konstitusionalisme, yakni tegaknya supremasi hukum dan adanya kepatuhan pada hukum masyarakat. Ketiga, digunakannya mekanisme akuntabilitas atau pertanggungjawaban publik, yakni mekanisme yang memosisikan suma pemegang jabatan publik, sebagai pemegang madat atau amanah dari rakyat. Jika melihat apa yang dikatakan Fattah, aspek etika da moralitas politik sebagai kerja sistem politik, ekonomi, sosial.

Diperjelas oleh Fajlurrahman, siapapun yang berkuasa pasca Orde Baru, pada tingkatan manapun ia berada, status apapun yang dia sandang, adalah merupakan “komprador politik” masa lalu. Jika bukan komprador politik masa lalu, mereka adalah sekaligus sebagai komprador kapitalisme yang tidak bisa keluar dari genggaman kuasa modal. Sehingga demokrasi dengan prinsip-prinsipnya, tidak akan mungkin ditegakkan dengan jujur, karena akan selalu ditelikung untuk menyelamatkan kepentingan kelas sosial tertentu, baik oligarki kapitalisme maupun oligarki kekuasaan yang kesemuanya adalah merupakan komprador. Jelas etika moral yang diperlihatkan Anggota DPR tidak sepantasnya ada di negara demokratis macam Indonesia.


[1] Google. 2006. “Kasus Yahya Zaini” (online), (http://www.kapanlagi.com/h/0000150864.html, diakses tanggal 21 Januari 2010).

[2] Lihat Fattah dalam Fajlurrahman Jurdi. Predator-Predator Pasca Orde Baru. Pukap Indonesia. Makassar. 2008. Hal. 201

Novalliansyah Abdussamad, S.IP.

DOSEN FISIP UNISAN GORONTALO

You may also like...