Memahami Hukum Kontrak

A.  PERKEMBANGAN KONTRAK DI INDONESIA

Hukum kontrak adalah bagian dari hukum privat. Hukum ini memusatkan perhatian pada kewajiban untuk melaksanakan kewajiban sendiri (self imposed obligation). Dipandang sebagai bagian hukum privat karena pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam kontrak, murni menjadi urusan pihak-pihak yang berkontrak[1].

Kontrak, dalam bentuk yang paling klasik, dipandang sebagai ekspresi kebebasan manusia untuk memilih (free of choice) dan mengadakan perjanjian. Hakim terkemuka Inggris, Sir George Jessel (1875) menyatakan[2] :

If there is one thing than another which public requires, it is that men of full age and competent understandingshall have the outmost liberty of contracting and that their contracts, when entered into freely and voluntarily, shall be held sacred and shall be enforced by Court of Justice …

 Kontrak merupakan sesuatu yang sakral, yaitu merupakan wujud dari kebebasan (freedom of contract) dan kehendak bebas untuk memilih (freedom of choice)[3].

Sejak abad 19 prinsip-prinsip itu mengalami perkembangan dan berbagai pergeseran penting. Pergeseran demikian disebabkan oleh hal-hal berikut :

1.    Tumbuhnya bentuk-bentuk kontrak standar;

2.    Berkurangnya makna kebebasan memilih dan kehendak para pihak, sebagai akibat meluasnya campur tangan pemerintah dalam kehidupan rakyat;

3.    Masuknya konsumen sebagai pihak dalam berkontrak.

Ketiga faktor ini berhubungan satu sama lain[4]. Namun prinsip kebebasan berkontrak dan kebebasan untuk memilih tetap dipandang sebagai prinsip dasar pembentukan kontrak.

Makna “kebebasan berkontrak” harus dihindarkan dari makna bebasnya para pihak membentuk hukumnya sendiri. Menurut Sudargo Gautama, para pihak sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk membuat undang-undang  bagi diri mereka. Mereka hanya diberikan kebebasan untuk memilih hukumnya, hukum mana yang hendak mereka gunakan sebagai dasar dari kontrak yang dibentuknya[5].

Akibat hukum penetapan suatu kontrak adalah terikatnya para pihak untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan kontrak sebagaimana yang diperjanjikan didalam kontrak, termasuk menerima segala akibat yang timbul dari penerapan kontrak tersebut. Jika suatu pihak menandatangani kontrak, ia dianggap menyetujui isi kontrak itu, dan dengan demikian juga dianggap setuju untuk terikat dan menerima akibat-akibat pelaksanaan kontrak tersebut. Oleh  karena itu, mengetahui secara tepat aspek-aspek permasalahan materi kontrak adalah hal yang sangat penting dalam proses pembentukan kontrak. Kesadaran terhadap kelalaian yang merugikan yang timbul setelah terbentuknya kontrak adalah hal yang sama sekali tidak berguna. Pihak yang lalai terhadap aspek-aspek kepentingannya, yang setelah kontrak terbentuk didasari sebagai sesuatu yang merugikan kedudukannya, adalah hal yang tidak dapat digunakan sebagai alasan untuk membatalkan kontrak. Oleh karena itu penguasaan informasi selengkap-lengkapnya tentang mitra bisnis, obyek kontrak, serta aspek-aspek lain yang berpengaruh terhadap substansi kontrak adalah hal yang sangat penting dalam pembentukan sebuah kontrak.

Kontrak tidak selalu menguntungkan pihak pemakainya. Dalam keadaan tertentu bentuk hukum ini bahkan dapat menyulitkan pemakainya. Mereka harus berhadapan dengan resiko-resiko yang kadang kala sulit diperhitungkan sejak awal, yang timbul dari sifat-sifat dasar kontrak. Dua sumber masalah yang sering menjadi pemicu timbulnya sengketa adalah pertama, kecermatan dalam berkontrak, dan kedua adalah itikad baik para pihak (good faith).

1.    Kecermatan dalam berkontrak

Sumber pertama ini berkaitan dengan  hal-hal sebagai berikut :

a.    Wawasan hukum pihak-pihak pembentuk kontrak;

b.    Keahlian para pihak menggunakan saluran-saluran hukum yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas kontrak;

c.    Kemampuan para pihak atau kuasa hukumnya memperhitungkan resiko yang dapat timbul dari setiap klausula yang ditetapkan dalam kontrak;

d.    Kemampuan bernegosiasi;

e.    Kemamouan memperhitungkan kelengkapan materi kontrak; dan

f.     Kecermatan dalam membuat rumusan-rumusan klausula yang dapat memperkecil resiko dan membangun kontrak yang bersifat bersih, terbuka, dan adil (bonafide).

2.    Itikad baik para pihak (good faith)

Sumber kedua berkaitan dengan kejujuran dan kualitas mental para pihak, tidak sedikit pelaku bisnis menyimpan niat atau strategi bisnis untuk mewujudkan target-target bisnisnya yang secara sengaja disembunyikan atau tidak dimasukkan sebagai item pembicaraan dalam negosiasi. Target-target demikian dalam dunia bisnis sering disebut implied target, yaitu target bisnis yang secara sengaja tidak ditawarkan secara eksplisit dalam proses negosiasi dan secara diam-diam hendak diwujudkan melalui kelemahan-kelemahan klausula pihak lawan yang secara sengaja dikondisikan demikian.

Sumber tersebut juga berkaitan dengan konsistensi atau perubahan sikap mental (mental stream) para pihak. Dalam kondisi tertentu, entah karena keadaan yang terdesak yang membuat suatu pihak terpaksa berbuat apa saja sekedar untuk mempertahankan kelanjutan usahanya atau karena ingin melipatkan keuntungan dengan jalan pintas, pihak-pihak tertentu sering kali berubah pikiran dan menyimpang dari apa yang semula disepakatinya dalam kontrak. Walaupun sangat dikecam karena bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum kontrak, praktek-praktek itu sangat sulit dihapuskan. Para penganut teori hukum alam (natural law) memaklummi keadaan demikian sebagai sifat alamiah suatu tradisi bisnis. Oleh karena itu sebagai kompensasinya, mereka menganjurkan masyarakat untuk tidak berusaha melenyapkannya, tetapi merendam dampak buruj sifat demikian melalui pemanfaatan kecerdasan dan kecermatan berkontrak. Sebuah kontrak harus dibentuk dengan memperhitungkan segala kondisi yang berpengaruh, baik yang ada pada saat kontrak dibentuk maupun yang mungkin timbul dikemudian hari saat kontrak dilaksanakan. Hakikat suatu negosiasi bisnis dan pembentukan kontrak bisnis adalah pengaturan materi bisnis dan perhitungan terhadap resiko yang mungkin timbul.

Sumber penting masalah yang juga sangat berpengaruh terhadap penyusunan kontrak yang adil adalah berkembangnya fenomena kontrak standar. Kontrak ini dalam perspektif praktek bisnis Indonesia, umumnya disodorkan secara sepihak oleh mitra asing kepada pihak mitra Indonesia. Pihak Indonesia, terhadap kontrak-kontrak demikian ini, sering kali lalai atau jika disadari sering kali gagal melakukan koreksi terhadap bagian-bagian kontrak yang dapat merugikan. Kelalaian atau kegagalan itu umumnya disebabkan oleh dua hal yaitu pertama kuatnya bargaining position  mitra asing, atau kedua lalainya mitra Indonesia terhadap rumusan-rumusan perjanjian yang dapat merugikan pihaknya.

Sebab pertama, umumnya dikarenakan oleh keterpusatan modal, keahlian, manajemen, informasi, dan factor-faktor produksi lainnya pada pihak mitra asing, serta kelebihan mereka dari segi pengalaman berkontrak atau bernegosiasi. Sementara itu, sebab yang kedua, umumnya dikarenakan oleh keahlian pihak asing dalam merumuskan kalusula kontrak sehingga tampak sederhana, lugas dan mutualistis.

Sumber-sumber masalah demikian, untuk keperluan perlindungan kepentingan bisnis, pembentukan kontrak yang wajar dan adil, sebaiknya dipelajari secara cermat agar dapat digunakan sebagai upaya untuk menghindari resiko-resiko berkontrak  yang merugikan.

C.  PRINSIP-PRINSIP UNIDROIT SEBAGAI MASUKAN BAGI HUKUM KONTRAK INDONESIA MENGHADAPI ERA GLOBALISASI

Sebagai akibat dari globalisasi ekonomi, sehubungan kontraktual antara individu secara lambat laun akan mengarah pada penyeragaman hukum kontrak di berbagai negara di dunia termasuk di Indonesia. Hal ini disebabkan intensitas hubungan kontraktual dari hubungan perdagangan barang dan jasa antar warga negara dari  negara-negara yang berbeda akan semakin tinggi. Seperti diketahui akibat ratifikasi Perjanjian Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan berlakunya AFTA, mau tidak mau sistem perekonomian Indonesia telah dimasuki oleh prinsip-prinsip persaingan bebas dan paham liberalisme. Sementara konflik yang sedang dana akan dirasakan dewasa ini, dari segi hukum adalah pertentangan nilai-nilai budaya hukum, yaitu antara paham materialisme dan spiritualisme idealisme, antara individualisme dan komunualisme, antara liberalisme dan proteksionisme, dan lain-lain yang telah menjadi kegelisahan social (social unrest). Kegelisahan social ini nampak di permukaan ditandai dengan merosotnya kepercayaan  masyarakat terhadap hukum dan ketidakpastian orang melakukan transaksi bisnis.

Melihat hal-hal tersebut di atas, Pemerintah telah berusaha untuk mengantisipasi keadaan. Terlepas dari motif-motif politis dengan mencoba melahirkan berbagai peraturan perundang-undangan yang notabene sebagai salah satu bagian dari pembangunan hukum yaitu materi hukum. Sebagai contoh dikeluarkannya Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, merupakan upaya memberikan kepastian hukum di bidang bisnis dan penciptaan sistem ekonomi yang kondusif terhadap persaingan. Dilihat dari segi hukum kontrak internasional, peraturan perundang-undangan seperti ini merupakan “mandatory clausule” yang dikecualikan dari prinsip kebebasan berkontrak yang diatur oleh hukum nasional untuk kepentingan warga negaranya.

1. Pengembangan Teknologi Nuklir oleh Beberapa Negara

  1. a.    Amerika Serikat

Amerika Serikat adalah satu – satunya negara yang pernah menggunakan senjata nuklir dalam perang, hal itu terjadi ketika dua senjata nuklir diluncurkan untuk menyerang Jepang dalam Perang Dunia II untuk melakukan pemboman kota Hiroshima dan Nagasaki. Ratusan Ribu Orang yang kebanyakan merupakan penduduk sipil, terbunuh dan penggunaannya untuk tujuan militer masih tetap menjadi hal yang kontroversial. Saat ini persenjataan nuklir Amerika Serikat disiapkan di tiga lokasi peluncuran:[6]

1)    Land – based, intercontinental ballistic missiles, or ICBMs;

2)    Sea based, nuclear submarine-launched ballistic missiles, or SLBMs; and

3)    Air-Based nuclear weapons of the U.S. Air Force’s heavy bomber group.

     Amerika Serikat merupakan salah satu dari lima Negara – Negara pemilik senjata nuklir yang mematuhi perjanjian pelarangan penyebaran senjata nuklir (NPT) yang diratifikasi oleh Amerika Serikat pada tahun 1968. pada tanggal 13 oktober 1999, senat Amerika Serikat menolak peratifikasian perjanjian pelarangan percobaan nuklir menyeluruh, setelah sebelumnya meratifikasi perjanjian pelarangan percobaan nuklir sebagian pada tahun 1963. [7]. Pada awal tahun 1990 – an, Amerika Serikat telah mengganti cara pengembangan senjata nuklir baru dan bahkan lebih mencurahkan usaha penelitian nuklirnya untuk menambah persediaan senjata nuklir untuk kendaraan perangnya, merawat dan memperbaharui persenjataan nuklir yang telah tua. [8]

     Jumlah persenjataan nuklir yang dimiliki oleh Amerika Serikat sulit untuk ditentukan secara pasti. Perjanjian dan organisasi yang berbeda memiliki kriteria yang berbeda dalam hal melaporkan kepemilikan senjata nuklir yang dimiliki oleh negara pesertanya, terutama yang disimpan sebagai cadangan, dan senjata nuklir yang diperbaharui atau dibuat kembali :

1.    pada tahun 1999, Amerika Serikat menyatakan memiliki 12.000 persediaan persenjataan nuklir dalam berbagai jenis. [9]

2.    Dalam pernyataan yang berkaitan dengan strategic Arms Reductin Treaty (START) pada tahun 2003, Amerika Serikat membuat daftar 5968 hulu ledak nuklir yang siap digunakan sesuai dengan defenisi dalam peraturan START. [10]

3.    Untuk tahun 2004, The Bulletin of the Atomic Scientists, mengeluarkan daftar yang menyakan bahwa Amerika Serikat memiliki sekitar 7000 hulu ledak nuklir yang beroperasi dan 3000 cadangan hulu ledak nuklir[11]

    The Bulletin of the Atomic Scientist mengeluarkan daftar yang menyatakan pada tahun 2004 mengeluarkan data – data yang memuat persenjataan  USAF dan US Navy yang terdiri dari : [12]

  1. Angkatan udara Amerika Serikat (USAF) mengoperasikan lebih dari 5000 Land – based intercontinental ballistic and cruise missile (ICBMs) pada kurang lebih 15 kompleks rudal yang terutama terletak dibagian utara pegunungan Rocky dan di Dakota. USAF juga mengoperasikan sebuah armada pembom strategis yang terdiri dari 93 pesawat tipe B-1, 94 pesawat tipe B-52 dan 21 pesawat tipe B-2. Amerika Serikat juga memiliki sekitar 850 bom nuklir gravitasi yang dapat digunakan oleh pesawat – pesawat tempur F-15, F-16, JSF dan Panavia Tornado. Sekitar 150 diantaranya ditempatkan di sembilan pangkalan militer Amerika Serikat yang berada di enam negara NATO di Eropa. Amerika Serikat juga menempatkan 320 buah rudal tomahawk miliknya di Bangor, Washingtong dan King’s Bay Georgia.
  2. Saat ini Angkatan Laut Amerika Serikat (US Navy) memiliki 15 Kapal Selam Ohio-Class Yang beroperasi di seluruh dunia. Setiap kapal selam tersebut dilengkapi 24 rudal trident, 8 diantaranya dilengkapi dengan rudal Trident I dan 10 diantaranya dilengkapi dengan rudal Trident II. Tepatnya 12 kapal selam penyerang Amerika Serikat dilengkapi dengan peralatan peluncur, tapi saat ini tidak membawa rudal tomahawk.

Kebijakan Politik Amerika Serikat mengenai Senjata Pemusnah Masal yang tertuang dalam United States National Strategy to Combat Weapons of Mass Destruction

     Pada 17 September 2002, Presiden Bush dalam pidatonya berkaitan dengan The National Security Strategy of the United States of America menyatakan : [13]

“The gravest danger our nation faces lies of the crossroads of radicalism and technology. Our enemies are openly declared that they are seeking weapons of mass destruction  and evidence indicate that they are doing so with determination. The united states will not allow these effort to succeed….history will judge harshly those who saw this coming danger but failed to act. In the new world we have entered, the only path to peace and security is the path of action”

    Menurut Geoge W. Bush, bahaya terbesar yang dihadapi oleh Amerika Serikat ada pada persimpangan antara teknologi dan radikalisme. Musuh – musuh Amerika Serikat telah secara terbuka menyatakan bahwa mereka mencari senjata pemusnah masal, dan bukti – bukti yang ada menunjukkan bahwa memang mereka melakukan hal tersebut. George W. Bush mengatakan bahwa Amerika Serikat tidak akan membiarkan usaha tersebut berhasil . menurutnya pula bahwa sejarah akan mengecam keras pihak – pihak yang diam saja ketika melihat ada bahaya yang datang. Dalam dunia baru yang dimasuki saat ini, satu – satunya jalan untuk mencapai perdamaian dan keamanan adalah dengan melakukan berbagai tindakan yang diperlukan untuk mewujudkan hal tersebut.

    Dari pidato tersebut dapat disimpulkan bahwa kebijakan politik AS menyangkut senjata pemusnhak masal adalah dengan melakukan berbagai tindakan  pencegahan untuk menghentikan usaha  pihak – pihak yang dianggap musuh negara untuk mendapatkan senjata pemusnah masal , dimana pihak – pihak tersebut dianggap akan membayakan perdamaian dan keamanan AS tindakan – tindakan yang diambil adalah dengan memanfaatkan semua kesempatan yang ada saat ini, termasuk penerapan teknologi – teknologi baru yang ada, peningkatan signifikan atas pengumpulan data – data dan analisis intelejen, penguatan kerjasama dari para sekutu Amerika Serikat dan perjalinan kerjasama baru dengan musuh – musuh AS terdahulu.

      Kebijakan tersebut sejalan dengan tujuan PBB dan ketiga konvensi internasional menyangkut senjata pemusnah masal yang pada garis besarnya adalah untuk menjalin kerjasama internasional dalam penghentian pengembangan dan penyebaran senjata pemusnah masal yang bertujuan untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasinal. Lebih lanjut lagi dijelaskan bahwa AS sangat mengkhawatirkan penggunaan senjata pemusnah masal oleh musuh – musuh mereka dapat menimbulkan kerusakan yang amat besar bagi negaranya, kekuatan militernya di luar negeri serta sekutu – sekutunya.

“Weapons of mass destruction could enable adversaries to inflict massive harm on the united states, our military forces at home and abroad and our friends and allies. Some states including several that have supported and continue to support terrorism , already process WMD and are seeking even greater capabilities, as tools of coercion and intimidation. For them, these are not weapons of last resort, but military useful weapons of choice intended to overcome our nation’s advantage in conventional forces and to deter us from responding to aggression against our friends and allies in region of vital interest. In addition, terrorist groups are seeking to acquire WMD with the stated purpose of killing large numbers of our people and those of friends and allies – without compunction and without warning.[14]

     AS juga mengkhawatirkan tindakan beberapa pemilik senjata pemusnah masal, yang mendukung berbagai kegiatan terorisme  dan terus mencari lagi teknologi senjata pemusnah masal terbaru sebagai alat untuk melakukan intimidasi dan ancaman agar dapat memaksa suatu pihak tertentu melakukan keinginannya. AS menganggap bahwa senjata pemusnah masal yang dimiliki oleh pihak – pihak yang disebutkan diatas, digunakan bukan sebagai senjata terakhir, tapi sebagai salah satu senjata pilihan untuk perangkat militer sehari – hari dalam usahanya untuk menandingi kekuatan militernya yang memiliki berbagai kelebihan . tindakan tersebut dilakukan untuk mencegah AS dalam mengambil tindakan untuk menanggapi serangan yang dilakukan pada kepentingan – kepentingan AS di luar negeri. AS juga menyatakan bahwa para teroris mencari senjata pemusnah masal dengan tujuan yang jelas, membahayakan populasi AS dan para sekutunya dalam jumlah besar dengan tanpa penyesalan dan pemberitahuan.

     Oleh karena itu, AS menyusun suatu rumusan kebijakan dalam memerangi senjata pemusnah masal yang dimuliki berbagai pihak terutama oleh pihak – pihak yang dianggap sebagai musuhnya dan dapat membahayakan berbagai kepentingan AS dan sekutu – sekutunya. Kebijakan tersebut disebut dengan National Strategy to Combat Weapons of Mass Destruction yang dikeluarkan pada desember 2002. dalam kebijakan tersebut terdapat tiga pilar utama strategi nasional dalammenghadapi senjata pemusnah masal, ketiga pilar tersebut adalah: [15]

1.    Counter Proliferation to combat WMD Use

     Kepemilikan dan kemungkinan peningkatan penggunaan senjata pemusnah masal oleh negara – negara tidak bersahabat dan teroris  adalah merupakan suatu realitas keamanan yang ada saat ini. Sehingga merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh militer dan penduduk sipil AS dalam melakukan berbagai persiapan untuk mencegah dan mempertahankan diri dari semua kemungkinan akibat penggunaan senjata pemusnah masal. Pemerintah bush meyakinkan bahwa semua kemampuan yang dibutuhkan untuk melawan senjata pemusnah masal terintegrasi secara penuh dalam sebuah perubahan rencana pertahanan darurat dan dalam profil kemanan dalam negeri AS. Usaha untuk menghadapi penyebaran dan peningkatan tersebut juga akan terintergrasi secara penuh dalam doktrin dasar, pelatihan dan melengkapi semua kekuatan yang ada, untuk meyakinkan bahwa semua sumber daya yang tersedia mampu untuk melaksanakan operasi yang bertujuan untuk mendapatkan pemecahan dalam menghadapi serangan senjata pemusnah masal. Usaha – usaha yang diambil dalam melawan penyebaran dan penggunaan senjata pemusnah masal itu adalah :

a.                               Interdiction[16]

     Mencegah penggunaan oleh musuh, yaitu dengan meningkatkan kemampuan komunitas militer, intelejen, teknik dan penegakan hukum untuk mencegah pergerakan materi, teknologi dan ahli senjata pemusnah masal ke negara – negara berbahaya dan organisasi teroris;

b.                               Deterrence[17]

     Melakukan tindakan pencegahan, yaitu dengan membuat suatu kebijakan politik yang sangat kuat dan meningkatkan effektivitas kemampuan militer, beserta dengan penggunaan diplomasi politik kepada negara – negara yang dianggap bersebrangan  untuk membujuk tidak mencari senjata pemusnah masal dan menggunakan senjata pemusnah masal.

c.                                Defense and mitigation[18]

     Pertahanan dan penyerangan, yaitu dengan meningkatkan kemampuan untuk medeteksi dan menghancurkan senjata pemusnah masal dan fasilitas milik musuh AS, seperti dengan melakukan serangan ke negara – negara yang dianggap berbahaya yang memiliki senjata pemusnah masal dan fasilitas yang salah satunya dengan menggunakan doktrin pre – emptive strikes.

     Akhirnya militer AS dan kekuatan penegakan hukum nasional diharus untuk selalu siap merespon setiap bentuk ancaman dengan menggagalkan ancaman serangan atau serangan yang sedang berlangsung dan menghilangkan ancaman serangan dimasa yang akan datang. Sejalan dengan upaya pencegahan, dibutuhkan sebuah respon efektif yang membutuhkan suatu tambahan teknologi yang baru dan cepat dan kemampuan menyerang yang kuat. AS harus mempercepat upaya – upayanya untuk menambah kemampuan – kemampuan baru mengalahkan senjata pemusnah masal dan fasilitas – fasilitasnya.

2.    Strengthened Nonproliferation to combat WMD Proliferation

     Dalam upayanya untuk menghilangkan ancaman senjata pemusnah masal, AS terus menjalin kerjasama dengan negara – negara lain untuk meningkatkan kemampuan yang ada dalam mencegah penyebaran teknologi, ahli – ahli dan bahan – bahan senjata pemusnah masal dan rudal secara tidak sah. Upaya – upaya yang diambil antara lain :

    1. Active nonproliferation Diplomacy, [19]

yaitu dengan melakukan pendekatan – pendekatan diplomasi untuk membuat sebuah pengaturan yang jelas dan kuat serta dilaksanakan penuh oleh negara – negara di dunia untuk mencegah penyebaran dan penggunaan senjata pemusnah masal;

    1. Multilateral regimes[20]

Amerika Serikat mendukung penuh system – system yang telah ada yang berkaitan dengan senjata pemusnah masal, diantaranya pengaturan berupa konvensi – konvensi dalam bidang nuklir, kimia, biologi dan rudal;

    1. Nonproliferation and threat Reduction Cooperation[21]

Yaitu kebijakan Amerika Serikat untuk mewujudkan kerjasama dalam program – program yang berlaku menyeluruh untuk mencegah penyebaran dan mengurangi ancaman senjata pemusnah masal.

    1. Controls of nuclears materials[22]

Amerika Serikat bekerjasama dengan dunia internasional dalam mencari dan mengembangkan teknologi baru yang bertujuan untuk melakukan daur ulang yang lebih bersih, efisien, menghasilkan limbah yang lebih sedikit dan lebih sulit untuk disebarluaskan;

    1. U.S. Export Controls[23]

Memperbaharui dan memperkuat pengendalian ekspor sehingga dapat mencegah penyebaran senjata pemusnah masal dan bahannya keluar dari Amerika Serikat;

    1. Nonproliferation Sanction, [24]

Mengembangkan suatu sistem yang dapat memberikan  sanksi yang cukup berat sehingga diharapkan dapat efektif mencegah penyebaran senjata pemusnah masal dan bahan – bahannya.

3.    Consequence Management to Respond to WMD Use

     Untuk merespon konsekuensi dari penggunaan senjata pemusnah masal, Amerika Serikat melakukan pengembangan dan terus mempergunakan kemampuan yang telah ada untuk mengurangi kemungkinan potensi meluasnya konsekuensi mengerikan dari serangan senjata pemusnah masal di Amerika Serikat sendiri maupun di luar negeri.

     Pengembangan kemampuan penanganan konsekuensi senjata pemusnah masal  yang dilakukan oleh Amerika Serikat secara tidak langsung membuat Amerika Serikat melakukan proses pengembangan senjata pemusnah masal. Hal ini terjadi karena untuk dapat menentukan tindakan – tindakan yang harus diambil dalam menangani akibat dari senjata pemusnah masal, maka harus diketahui jenisnya baru kemudian dicari bagaimana cara mengobatinya. Hal tersebut dapat dibenarkan karena sebagian besar dari konvensi – konvensi internasional dan hukum internasional menyangkut senjata pemusnah masal, memberikan ijin kepada negara – negara untuk melakukan penelitian dan pengembangan senjata pemusnah masal untuk tujuan damai dan penelitian, serta pengembangan yang dilakukan dapat dianalogikan sebagai tujuan damai.

The united states has a critical need for cutting – edge technology that can quickly and effectively detect, analyze, facilitate interdiction of, defense against, defeat, and mitigate the consequences of WMD Nomerous United States Government departments and agencies are currently engagedin the essential research and development to support our overall strategy against WMD proliferation[25]

 

     Amerika Serikat juga menyatakan bahwa negara tersebut sangat membutuhkan teknologi terbaru  yang dapat secara tepat dan efektif  mendeteksi, menganalisa, dan memfasilitasi suatu larangan, pertahanan dalam melawan, mengalahkan, dan mengurangi konsekuensi dari senjata pemusnah masal . berbagai departemen dan lembaga – lembaga  dalam pemerintahan Amerika Serikat pada saat ini sedang melakukan berbagai penelitian penting dan pengembangan beragam teknologi untuk mendukung keseluruhan strategi dalam menghadapi penyebaran dan peningkatan jumlah senjata pemusnah masal.

     National strategy for Homeland Security mengidentifikasikan ada enam langkah – langkah yang dapat diambil berkaitan dengan ancaman senjata pemusnah masal, yaitu: [26]

Prevent terrorist use of nuclear weapons through better sensors and procedures;

1)    Detect chemical and biological materials and attacks;

2)    Improve chemical sensors and decontamination techniques

3)    Develop broad spectrume vaccines, antimicrobials, and antidotes; (Project bioshield – a comprehensive efforts to develop and make available modern, effective drugs and vaccines to proteck against attack by biological and chemical weapons or other dangerous pathogens)

4)    Harness the scientific knowledge and tools to counter terrorism; and

5)    Implement the selectent Program.

     Langkah – langkah tersebut merupakan serangkaian tindakan yang bertujuan untuk mencegah kemungkinan masuknya senjata pemusnah masal ke Amerika Serikat serta serangkaian tindakan – tindakan yang  dilakukan untuk mempersiapkan semua sumberdaya yang dimiliki dalam menangani konsekuensi dari penggunaan senjata pemusnah masal . sementara dalam kaitan menghadapi serangan teroris  yang ditujukan kepada Amerika Serikat  dan kepentingan – kepentingannya, terutama yang menggunakan senjata pemusnah masal, The National Strategy for Homeland Security menyebutkan salah satu langkah yang diambil untuk hal tersebut adalah dengan melakukan pengembangan dalam mencari cara penanganan yang paling tepat terhadap serangan – seranagn teroris dengan menggunakan senjata kimia, biologi, radiology dan nuklir. [27]

     Untuk melindungi aset – aset dan infrastruktur penting, The Department of Homeland Security juga akan memberikan dukungan dan menetapkan prioritas nasional untuk: [28]

  1. Melakukan penelitian, pengembangan, dan percobaan untuk mengembangkan vaksin, penawar, diagnosis, terapi, dan teknologi baru lainnya untuk melawan aksi terorisme yang menggunakan senjata kimia, bilogi dan nuklir.
  2. Untuk menyadari, mengidentifikasi dan mengkonfirmasi sebuah serangan yang terjadi;
  3. Untuk meminimalkan akibat yang mewabah dan mematikan yang disebabkan oleh sebuah serangan semacam itu.

     Sementara kita selalu dalam kondisi rentan terhadap sesuatu bentuk peralatan perang tidak simetris yang baru, tidak terpikirkan dan mengerikan, kita dengan cepat bergerak maju dengan teknologi baru, senjata baru dan pertahanan baru. [29]

     Dalam laporannya kepada Majelis Umum Perserikatan Bangsa – Bangsa, Kofi Annan sebagai sekjen Perserikatan Bangsa – Bangsa menjelaskan bahwa sampai saat ini telah dimengerti jika suatu negara melakukan tindakan pertahanan diri , dan memutuskan untuk menggunakan kekuatan dalammenghadapi ancaman – ancaman yang sangat besar terhadap perdamaian dan keamanan internasional , mereka membutuhkan legitimasi yang disediakan oleh Perserikatan Bangsa – Bangsa. [30]

     Saat ini, beberapa pihak menyatakan pengertian sudah tidak didukung  oleh alasan yang rasional, sejak serangan dengan menggunakan senjata pemusnah masal dapat dilakukan kapan saja  tanpa peringatan tertentu atau dilakukan oleh kelompok yang illegal. Mereka beralasan, daripada membiarkan hal tersebut terjadi, negara – negara memiliki kewajiban dan hak untuk menggunakan kekuatan untuk menyerang terlebih dahulu (pre – emptive), meskipun serangan dilakukan terhadap wilayah negara lain, dan meskipun dalam waktu yang bersamaan system persenjataan yang dapat digunakan untuk melakukan serangan pada mereka masih dalam pengembangan. [31]

     Amerika Serikat melakukan hak tersebut saat menyerang Iraq pada awal tahun 2003 dengan tuduhan bahwa Iraq memiliki senjata pemusnah masal dan dianggap berbahaya karena dapat mengancam perdamaian dan keamanan internasional. House Policy Committe Amerika Serikat mengeluarkan pernyataan yang meminta kongres untuk mendukung pembaharuan pada program pengembangan senjata nuklir dan meminta The Nuclear Weapons Council untuk menetapkan secara konsisten sebuah program seperti itu dengan kemampuan berdasarkan pendekatan untuk keamanan nasional. [32] Dengan kata lain, Amerika Serikat juga melakukan program pengembangan senjata pemusnah masal , dalam hal ini, senjata nuklir, untuk kepentingan dalam negerinya sendiri. John Gordon, salah satu pejabat The National Security Administration menyatakan bahwa pengembangan senjata nuklir yang dilakukan oleh Amerika Serikat menghilangkan ancaman serangan yang dilakukan negara lain terhadap negara tsb.

..An ability to innovate and produce small builts of special pupose weapons, characteristic of a smaller but still vital nuclear infrastructure, would act to convince and adversary that it culd not expect to negate U.S. nuclear weapons capabilities. The development and  subsequent modification of the B61 – 7 bomb – converting a few of them into B61 – 11 earth penetrator weapons – is a case in point[33]

  1. b.    Republik Islam Iran

Program Nuklir Iran mulai didirikan pada tahun 1960, sebagai hasil dari kerjasama bilateral antara Amerika Serikat dan Irann. Pada tahun 1967 Tehran Nuclear Research Centre (TNRC) didirikan dan dijalankan oleh Organisasi Tenaga Atom Iran ( Atomic Energy Organization/AEOI). Pusat Riset Nuklir Tehran/ TNRC  ditunjang 5 megawatt Reaktor Nuklir yang disediakan oleh Amerika Serikat. [34]

    Iran Menyetujui dan meratifikasi Nuclear Non – Proliferation Treaty pada tahun 1968, dengan penetapan dari Iran’s Atomic Agency dan NPT, Mohammad Reza Shah Pahlavi (Raja Iran) berencana membangun duapuluh tiga stasiun tenaga nuklir didalam negaranya berkerjasama dengan Amerika Serikat. [35]

     Banyak kontrak ditanda tangani dengan berbagai perusahaan barat dan perusahaan Siemens Jerman memulai pembangunan atas Pembangkit Tenaga Listrik yang menggunakan tenaga nuklir di Busher. Proyek tersebut dihentikan karena terjadinya revolusi Iran pada tahun 1979, dan perusahaan Siemens Jerman menarik diri dari proyek tersebut. [36]

     Irak kemudian menginvasi Iran sehingga program nuklir Iran dihentikan hingga perang selesai. Pada tahun 1990, Iran mulai mencari rekan untuk program nuklirnya, bagaimanapun, dalam kaitan iklim polotik yang sangat berbeda dan sanksi ekonomi yang berikan oleh Amerika Serikat akibat kasus kilang minyak Radat dan Reshadar, hanya sedikit kandidat yang ingin bekerjasama dengan Iran. Pada tahun 1995, Iran menandatangai suatu kontrak dengan Rusia untuk melanjutkan proyek Busher yang baru setengah selesai. Kemudian pada tahun 2002, Amerika Serikat mulai mempertanyakan ketertarikan Iran terhadap pengembangan teknologi Nuklir setelah MKO mengungkapkan keberadaan dari fasilitas Natanz dan Arak. [37]

     Iran menyatakan bahwa teknologi nuklir penting bagi suatu populasi yang besar dan perkembangan Industri Nasional yang cepat. Data secara nyata menunjukkan bahwa populasi Iran telah mengganda dalam waktu 20 tahun, bahkan Iran telah mengimpor listrik, bensin, dan bahan bakar fosil dalam jumlah yang besar yang sangat merugikan lingkungan Iran. [38]

     Iran mempertanyakan kembali kepada Amerika Serikat, mengapa tidak diijinkan untuk menganekaragamkan sumber energinya, sedangkan persediaan minyak mentah di ladang minyak negaranya mulai menipis. [39] Iran menyatakan bahwa memiliki hak yang sah menurut NPT untuk mengembangkan uranium untuk tujuan – tujuan damai.

     Pada tahun 2002, Amerika Serikat menyatakan bahwa  Iran tidak memerlukan tenaga nuklir  oleh karena cadangan minyak yang dimiliki Iran melimpah, dan argumentasi Iran yang menyatakan mengenai alasan – alasan keuangan tidak dapat dibenarkan, sehingga Amerika Serikat merasa bahwa harus melakukan penjagaan untuk mencegah kemungkinan bagi Iran untuk mengembangkan kemampuan senjata nuklir. Lebih lanjut, jenis tertentu tenaga nuklir yang dimiliki oleh Iran dicurigai memiliki dua kegunaan, yang pertama adalah perkembangan energi untuk tujuan damai, tetapi dengan teknologi yang sama juga dapat digunakan untuk mengembangkan senjata nuklir. Hal tersebut merupakan situasi yang sama dengan kasus India yang memiliki program senjata nuklir pada tahun 1960-an. [40]

     Pernyataan demi pernyataan telah dikeluarkan untuk menekan Iran  agar mengungkapkan semua aspek tentang pengembangan teknologi nuklirnya. Tekanan ini lebih banyak datang dari mitra dagang Iran, yaitu Eropa, Jepang, dan Rusia. Iran menjadi lambat untuk merespon karena mengetahui bahwa seluruh tekanan tersebut merupakan usaha pemerintah Amerika Serikat untuk mencegah Iran mengembangkan teknologi nuklir. [41]

     Sejak keterlibatan International Atomic Energy  Agency (IAEA) dibawak kepemimpinan Mohammad El – Baradai dan Perserikatan Bangsa – Bangsa, Iran telah menjawab seluruh pertanyaan yang diajukan oleh Amerika Serikat terkait dengan pengembangan teknologi nuklir milik Iran.

     Dibawah ini adalah data stasiun pengembangan nuklir Iran : [42]

  • Bushehr: A two reactor light water nuclear power plants.
  • Arak: A heavy water production facility. Heavy water is used as a moderator in some reactors. Iran has plans to build a heavy water reactor at this location at a later date.
  • Saghand:  Location of Iran’s first uranium ore mines, expected to become operational by March 2005. The deposit is estimated to contain 3,000 to 5,000 tons of uranium oxide at a density of about 500 ppm over an area of 100 to 150 square kilometers.
  • Natanz: This is a uranium enrichment facility for converting uranium ore into a form usable by power plants. It can also create highly enriched uranium HEU.
  • Tehran Nuclear Research Center (TNRC): Run by the Atomic Energy Organization of Iran (AEOI). It is equipped with a US supplied 5-megawatt nuclear research reactor capable of producing 600g of plutonium annually in spent fuel.
  • Nuclear Technology Center of Isfahan: A nuclear research facility. The Isfahan Center currently operates four small nuclear research reactors, all supplied by China. It is run by the AEOI.
  • Isfahan Uranium Conversion Facility, located in Isfahan converts yellowcake into uranium hexafluoride. As of late October 2004, the site is 70% operational with 21 of 24 workshops completed. There is also a Zirconium Production Plant (ZPP) located nearby that produces the necessary ingredients and alloys for nuclear reactors.
  • Bonab Atomic Energy Research Center: Reasearch facility investigating the applications of nuclear technology in agriculture. It is run by the AEOI.
  • Center for Agricultural Research and Nuclear Medicine at Hashtgerd, Karaj: Established in 1991 and run by the AEOI.
  • Anarak waste storage site, near Yazd.
  • Ardekan Nuclear Fuel Site: Construction is reportedly scheduled to be finished in mid-2005.
  • Lashkar Ab?ad pilot plant for isotope separation. Established in 2002, laser enrichment experiments were carried out there, however, the plant has been shut down since Iran declared it has no intentions of enriching uranium using the laser isotope separation technique.
  • Parchin: Suspected, but not confirmed facility, according to the IAEA.
  • Lavizan II: Suspected, but not confirmed facility, according to the IAEA.
  • Chalous: Suspected, but not confirmed facility, according to the IAEA.

     Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa – Bangsa menjatuhkan sanksi bagi Iran melalui Resolusi 1747. Rancangan resolusi yang dirumuskan Inggris, Prancis, dan Jerman itu disepakati oleh 5 negara anggota tetap dan 10 anggota tidak tetap dewan keamanan PBB.

     Resolusi ini memperluas sanksi atas Iran yang ditetapkan pada Desember 2006 dalam Resolusi 1737. Di antara isi Resolusi 1747 adalah larangan secara menyeluruh ekspor senjata Iran maupun pembatasan penjualan senjata ke Iran. Isi resolusi juga membekukan aset milik 28 lembaga atau perorangan yang berhubungan dengan program nuklir dan rudal Iran.

     Dewan keamanan PBB memberi batas waktu 60 hari setelah resolusi agar Iran menghentikan program nuklirnya. Jika diabaikan, dewan Keamanan bisa mengambil langkah yang  berupa sanksi ekonomi, bukan militer.

     Iran telah meresmikan pembukaan unit-unit logistik reaktor nuklir Bushehr yang mencakup gedung-gedung untuk mesin pemompa dan gardu listrik dengan tegangan 400 kilowatt. Peresmian ini dihadiri oleh Wakil Presiden Iran Parviz Davoodi dan Ketua Badan Energi Atom Iran Reza Agha-zadeh. Sesuai kesepakatan yang ditandatangani oleh Ketua Badan Federal Atom Rusia Sergei Kirienko dan Ketua Badan Energi Atom Iran Agha-zadeh tanggal 26 September 2006, reaktor nuklir Bushehr akan diuji-operasikan bulan September 2007.

     Reaktor nuklir Bushehr mencakup tiga tahap, pertama pembukaan unit-unit pembantu, pengadaan bahan bakar dan pengoperasian. Menurutnya, tahap awal meliputi pengembangan dan pelaksanaan prose pemutaran bahan bakar nuklir sedangkan tahap kedua adalah pengembangan reaktor..

     Menyusul diratifikasinya resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 1747 tentang sanksi atas Iran, Tehran mengurangi tingkat kerjasamanya dengan IAEA. Belum selesai masa waktu 60 hari sejak Resolusi itu dikeluarkan, Amerika Serikat telah meningkatkan aktivitas militer di kawasan Teluk di dekat perbatasan Iran. Intelijen militer Rusia melaporkan adanya pasukan angkatan bersenjata Amerika Serikat dekat perbatasan Iran. Sebagaimana dilaporkan sejumlah media massa, kapal induk The USS John C. Stennis yang mengangkut 3.200 pasukan dan sekitar 80 pesawat tempur, termasuk pesawat pembom F/A-18 Hornet dan Superhornet, delapan kapal pendukung, dan empat kapal selam nuklir sedang menuju Teluk. Sementara kelompok kapal induk serupa, USS Dwight D. Eisenhower, telah berada di Teluk itu sejak Desember 2006. Amerika Serikat juga sedang mengirimkan sistem anti-rudal Patriot ke kawasan itu. [43]

 

  1. c.    Korea Utara

Korea Utara telah mencoba untuk memperoleh senjata nuklir sejak akhir tahun 1970 – an. Krisis kembali menjadi pembicaraan utama di tahun 2002 setelah Korea utara yang dianggap sebagai ”axis of evil” oleh Amerika Serikat dan setelah Pyongyang mengungkapkan bahwa telah menjalankan suatu program senjata nuklir secara diam – diam yang melanggar Nuclear Non – Proliferation Treaty (NPT) dan pakta nuklir antara Amerika Serikat – Korea Utara. [44]

     Nuclear Non – Proliferation Treaty (NPT) menyebutkan hanya lima ”Negara Senjata Nuklir” ( Nuclear Weapons States/ NWS) yang di ijinkan memiliki senjata nuklir , lima NWS tersebut adalah Amerika Serikat, Inggris, Rusia, Republik Rakyat China, dan Perancis. 188 Negara – negara lain yang menandatangani perjanjian tersebut sama sekali tidak diijinkan memiliki maupun mengembangkan senjata nuklir.

     Korea telah terpecah menjadi dua bagian sejak tahun 1948. Antara Korea Utara dan Korea Selatan secara resmi masih berperang. Penyebaran identitas kedua Amerika Serikat di Semenanjung Korea dan militer Amerika Serikat menimbulkan daerah Korea bebas militer yang harus dihargai oleh Korea Utara sebagai markat angkatan perang. [45]

     Suatu dokumen yang dibocorkan pada maret 2001 memperlihatkan rencana Amerika Serikat akan menggunakan senjata nuklir melawan Korea Utara, sehingga membuat Korea Utara mengajukan usul kepada Amerika Serikat untuk membuat pakta persetujuan non – agresi yang kemudian usul tersebut ditolak oleh Amerika Serikat. Berdasarkan fakta ini, maka Korea Utara merasa perlu membuat program senjata nuklir untuk melawan agresi yang akan dilakukan oleh Amerika Serikat.[46]

     Perhatian fokus pada dua reaktor nuklir yang terdapat di Yongbyon, kedua reaktor merupakan pembangkit yang memiliki daya lemah yang menggunakan Magnox teknologi. Reaktor yang lebih kecil (5MWe) diselesaikan pada tahun 1986 dan sejak saat itu mampu memproduksi dan menyimpan 8000 perangkat bahan bakar. Pembangunan dari reaktor yang lebih besar (50MWe) dibangun pada tahun 1984 tetapi hingga tahun 2003 masih belum diselesaikan.reaktor yang lebih besar ini didasarkan pada cetak biru reaktor tenaga Calder Hall yang digunakan untuk memproduksi plutonium bagi Program Senjata Nuklir Inggris. [47]

     Pada tanggal 12 Maret 1993, Korea Utara menyatakan rencana untuk menarik diri dari perjanjian The Nuclear of Non – Proliferation dan menolak  mengijinkan pengawas mengakses lokasi nuklirnya. Pada tahun 1994, Amerika Serikat meyakini bahwa Korea Utara telah mempunyai cukup plutonium untuk menghasilkan sekitar 10 bom dengan jumlah plutonium yang semakin meningkat. Menghadapi tekanan diplomatik dan ancaman dari penyerangan militer Amerika Serikat terhadap reaktor, Korea Utara setuju untuk membuka program plutoniumnya sebagai bagioan dari kerangka kerjasama dimana Korea Selatan dan Amerika Serikat bersedia menyediakan  Light Water reactors  dan bahan bakar minyak sampai kedua reaktor dapat diselesaikan, [48] dengan penundaan program plutoniumnya, Korea Utara yang diam – diam memulai program untuk membuat sebuah bom yang berbahan dasar Uranium, Pakistan, negara yang mengadakan pengembangan teknologi nuklir, memberikan kunci teknologi dan informasi kepada Korea Utara untuk ditukarkan dengan missil yang akan digunakan dalam konflik India – Pakistan sekitar tahun 1997. Fakta disampaikan oleh kantor mata – mata Amerika. [49]

     Pada Oktober 2002, menurut sumber Amerika Serikat, Korea utara mengakui  mengembangkan program senjata nuklir, hal ini merupakan pelanggaran  perjanjian Nuclear of non – Proliferation Treaty dan pakta  nuklir Amerika Serikat – Korea Utara. [50]

     Akhir desember 2002, Korea Utara mengusir pengawas senjata Perserikatan Bangsa – Bangsa, dan mengumumkan rencana untuk mengaktifkan kembali laboratorium yang memproses bahan bakar nuklir dan tenaga listrik disebelah utara Pyongyang, jika Amerika Serikat tidak menyetujui pakta non – invasion.[51]

     Pada tanggal 10 Januari 2003, Korea Utara menarik diri dari keanggotaan The Nuclear Non – Proliferation Treaty, dan pada tanggal 23 Januari 2003, Korea Utara dan Korea Selatan setuju untuk bekerjasama dalam menemukan solusi terkait dengan krisis nuklir. Tanggal 26 Februari 2003, Korea Utara mengaktifkan kompleks nuklir utamanya. Tanggal 24 April 2003, Amerika Serikat, Republik Rakyat Cina, dan Korea Utara bertemu di Beijing untuk mengadakan diskusi trilateral tentang program senjata nuklir Korea Utara. Tidak ada hasil yang disepakati, dan pertemuan tersebut dilakukan dengan penuh emosional. Amerika Serikat bahkan meningkatkan sanksi kepada Korea Utara dalam kaitan politik berbahaya Pyongyang dimasa lalu. Di masa lalu, Korea menyatakan bahwa sanksi internasional yang diberikan kepadanya merupakan pengumuman pernyataan perang. [52]

     27 April 2003, Korea Selatan mengirimkan delegasi ke Pyongyang untuk memaksa Korea Utara mengakhiri program senjata nuklirnya. 6 Agustus 2003, Korea Utara dan Iran merencanakan untuk membentuk suatu persekutuan untuk mengembangkan proyektil Balistik jangka panjang dengan hulu ledak nuklir. Berdasarkan rencana, Korea Utara akan mengangkut komponen proyektil ke Iran untuk dirakit pada suatu pabrik dekat Tehran, Iran. [53]

     28 Agustus 2003, Korea Utara mengumumkan bahwa kepemilikan senjata nuklir berarti  membawanya dan akan segera menyelesaikan suatu test nuklir untuk mendemonstrasikan kemampuan senjata nuklir. [54]

     Agustus 2004, Kantor Intelejensi Amerika Serikat dan NGO (Non govermental Organisation) yang telah berpengalaman menyimpulkan bahwa usaha diplomatik yang dilakukan untuk mencegah perkembangan senjata nuklir  Iran dan Korea Utara  telah gagal untuk memperlambat perkembangan senjata mereka. [55]

    Ledakan kuat atas uji coba nuklir tersebut diduga terjadi di sebuah fasiltas bawah tanah di Provinsi Hamgyong Utara, Korea Utara. Baik ahli dari Russia maupun Amerika Serikat mengatakan bahwa mereka percaya klaim yang telah diumumkan secara terbuka oleh Korea Utara sangat akurat dan ledakan dahsyat yang terjadi tersebut diperkirakan mempunyai kekuatam sekitar 15 kilo ton TNT, yang dapat dikatakan mendekati dengan kekuatam pada bom Hiroshima di tahun 1945.[56]

       Para pemimpin dunia mengecam tindakan Korea Utara tersebut, karena apa yang telah dilakukannya dianggap telah mengancam perdamaian dan keamanan Internasional. Oleh karena itu, para pemimpin dunia meminta kepada Dewan Kemanan Perserikatan Bangsa – Bangsa agar Korea Utara dijatuhkan sanksi berdasarkan Bab Tujuh dari Piagam Perserikatan Bangsa – Bangsa yang mengatur mengenai “ancaman terhadap ketentraman” dan “tindakan untuk melakukan agresi”.[57]
Perwakilan Energi Atom Internasional (IAEA) melaporkan bahwa uji coba nuklir yang dilakukan oleh Korea Utara telah mengancam rezim anti pengembangan bahan nuklir dan juga telah menciptakan konflik keamanan yang cukup serius, tidak hanya pada kawasan Asia Timur tetapi juga untuk seluruh masyarakat Internasional.

     Pada bulan Juli 2006, Korea Utara juga telah melakukan uji coba tujuh buah misilnya, termasuk satu kali kegagalan terhadap misil jarak jauh Taepodong-2 yang dapat menjangkau wilayah Amerika Serikat. Hal itulah yang menyebabkan mengapa uji coba yang dilakukan oleh Korea Utara dianggap telah menciptakan ancaman sangat serius bagi Amerika Serikat dan sekutunya yang sedang mencoba untuk menguasai negara-negara yang tidak tidak berpihak kepadanya. Akibatnya, petinggi garis keras di Washington telah merencanakan untuk menggunakan “pre-emptive attack” terhadap tempat-tempat pembuatan nuklir di Korea Utara dalam jangka waktu dekat ini jika uji coba tersebut dianggap telah dan akan menimbulkan ancaman.

     Meskipun motif dalam menggunakan “pre-emptive attack” mempunyai tujuan yang mulia, namun tindakan tersebut memberikan legitimasi sebagai hak bagi setiap negara untuk menggunakan “pre-emptive attack” sebagai tindakan membela diri, maka hal tersebut sama saja dengan memberikan perizinan yang pada nantinya tidak mungkin lagi dapat kita dikendalikan. Selain itu, hal tersebut juga akan memberikan kesempatan luas untuk melegitimasi penyerangan yang besar – besaran secara bersama-bersama oleh negara adikuasa guna menghancurkan negara – negara. Tindakan tersebut secara tidak langsung akan pula melanggar ketentuan Piagam Perserikatan Bangsa – Bangsa yang menyatakan bahwa setiap tindakan haruslah terlebih dahulu diputuskan melalui melalui instrumen Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa – Bangsa. Amerika Serikat dan sekutunya di kawasan Asia Timur telah memberikan sanksi dalam waktu yang cukup lama yang akibatnya telah menimbulkan permasalahan utama di bidang ekonomi yang cukup serius yang hingga saat ini masih diderita oleh Korea Utara. Analis dari Seoul, Beijing dan Washington menyakini bahwa kemarahan Pyongyang terhadap sanksi yang telah dijatuhkan kepadanya adalah satu dari sekian alasan utama yang melatarbelakangi uji coba nuklir yang terkesan memberikan satu bentuk perlawanan baru. Para petinggi Pyongyang menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan adalah sebuah puncak selama dua dekade perlawanan Korea Utara terhadap Amerika Serikat, perseteruan terhadap negara yang mempunyai kekuatan ekonomi terkuat di dunia. Oleh karenanya, China dan beberapa negara lainnya merasa enggan untuk memberikan dukungan penuh terhadap sanksi ekonomi kembali yang akan dijatuhkan oleh Perserikatan Bangsa – Bangsa terhadap klaim keberhasilan uji coba nuklir Korea Utara, sebab draft sanksi tersebut sepenuhnya dibuat oleh Amerika Serikat. Mereka tidak mengharapkan Pyongyang akan mengambil langkah keras dengan tindakan balasan yang justu dapat memperburuk hubungan dengan negara-negara disekitarnya apabila sanksi tersebut terkesan dipaksakan.
Berdasarkan sudut pandang yang lain, Taylor Marsh berpendapat bahwa uji coba Korea Utara adalah sebuah bukti lebih lanjut dari kegagalan administrasi dan diplomasi dari Bush, di mana pertama kali dimulai dengan kebijakan politik Bill Clinton dan kemudian diperparah dengan menghina Pyongnyang dengan menghubungkan Korea Utara bersama Iran dan Iraq sebagai bagian dari “Axis of Evil”.[58]

 


[1]       Sudargo Gautama, Contoh-Contoh Kontrak, Rekes & Surat-Surat Berharga (Bandung : Alumni, 1991), hal. 115-129.

[2]       Atiyah, The Law of Contract. 1983, hal. 1.

[3]       Ibid, hal. 5.

[4]       Ibid, hal. 13.

[5]       Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia. Buku ke 5 jilid II. Bagian IV. Bandung : Citra Aditya Bakti, 1992, hal. 4.

[7]  Ibid

[8]  ibid

[12] Ibid

[13]            National Strategy to combat weapons of mass destruction (Dec. 2002), hlm. 1, http://www.whitehouse.gov/news/releases/2002/12/WMDstrategy.pdf

 

[14] Ibid

[15] Ibid, hlm. 2.

[16] Ibid

[17] Ibid, hlm. 3.

[18] Ibid

[19] Ibid

[20] Ibid, hlm. 4

[21] Ibid

[22] Ibid

[23] Ibid, hlm. 5.

[24] Ibid

[25] Ibid

[26]                office of homeland security, The National Strategy fo Homeland Security, July, 2002)

 

[27] Ibid, hlm. xi

[28] Ibid, hlm. 43

[29]            CACI – Proud Partner in Homeland Security; Dr. J. P. London Address to Northern Virginia Technology Council,2/13/02

[30] Ian Williams, October 3, 2003; A Story of Two Speeches : Kofi Annan and George W. Bush

[31] Ibid

[32] An Agenda for The Nuclear Weapons Program; House Policy Committee; Subcommitttee on National Security and Foreign Affairs February 13, 2003

[33]                John A. Hordon, Administrator of the National Nuclear Security Administration (NNSA), Written statement to the Committee on Armed Service, U.S.Senate, February 14,2002.

 

[34] http://www.wordiq.com/defenition_of_Iran_Nuclears_Program.htm di download pada tanggal 2 september 2007

[35] Ibid

[36] Ibid

[37] Ibid

[38] Ibid

[39] Ibid

[40] Ibid

[41] Ibid

[42] Ibid

[43] www.Kompas.com, diakses tanggal 24 Januari 2007

[44] http://www.wordiq.com/defenition_of_North_Korea_Nuclear..htm, di download pada tanggal 2 September 2007

[45] ibid

[46] ibid

[47] ibid

[48] ibid

[49] ibid

[50] ibid

[51] ibid

[52] ibid

[53] ibid

[54] ibid

[55] ibid

[56] Uji Coba Nuklir Korea Utara (Kegagalan Bush), Jawa Pos, 16 oktober 2006

[57] Ibid

[58] Ibid

Maskun S.H. L.L.M

Lahir di Abeli (Kendari) pada tanggal 29 Nopember 1976. Menyelesaikan S1 pada Fakultas Hukum UNHAS tahun 1998, S2 pada university of New South Wales (UNSW) Sydney, Australia tahun 2004 Selain Mengajar, penulis aktif menulis pada beberapa jurnal ilmiah dan surat kabar lokal serta melakukan penelitian baik itu yang dibiayai oleh Lembaga Penelitian UNHAS, Badan perencanaan Pembangunan Daerah Kota Makassar, maupun yang dibiayai oleh institusi lain seperti Institut Pertanian Bogor (2007) dan Pusat Studi Hukum dan Kebijkan Jakarta (2009). Penulis juga terlibat aktif mengikuti beberapa seminar, simposium, kursus singkat, dan workshop yang dilaksanakan dalam dan luar negeri seperti kursus singkat di Jepang (2006 dan 2008), APEC Worksop di Jakarta (2009). Hal lain yang dilakukan penulis di sela-sela kegiatan sebagaimana telah disebutkan, penulis aktif menjadi pembicara pada berbagai forum ilmiah termasuk didalamnya ketiga penulis menjadi Pembicara pada seminar Internasional via teleconference yang dilaksanakan oleh Asean law Students Association (ALSA) UNHAS, Chuo University Jepang dan Chulalakorn University Thailand tahun 2009 dan 2010. Beberapa karya ilmiah dalam bentuk Buku/buku ajar/diktat adalah Hukum Internasional (2008), Filsafat Hukum (2009) Filsafat Hukum (dari rekonstruksi sabda manusia dan pengetahuan hingga keadilan dan kebenaran) – (2010), dan Pengatar Cyber Crime (2011). Editor pada Buku Karangan Prof. A.M. Yunus Wahid (2011).

You may also like...