Keadilan Premeditatus (In)Directus

Opini Harian Fajar Makassar, 15 Juni 2020

RIBUAN tahun silam, hukum Canoniek menoreh asas, versanti in re illicita imputantur omnia, quae sequuntur ex delicto. Prinsip ini sepadan dengan credo dalam Code Penal Prancis, versari in re illicita. Yang kesemuanya bermakna, perbuatan terlarang dipertanggungjawabkan karena akibatnya.
Sederhananya, kaidah ini menekankan perbuatan terlarang harus dihukum setimpal dengan “akibatnya.” Tak peduli apakah akibat itu dikehendaki atau tidak dikehendaki, tetaplah dihukum berdasarkan akibat yang terjadi.
Diskursus hukum kemudian mengemuka, sebagian ahli berpendapat, tidak boleh disamakan, hukuman antara perbuatan pidana yang disengaja tetapi akibat tidak dikehendaki, dengan perbuatan pidana disengaja yang akibatnya memang dikehendaki.
Demi keadilan, dinamika itu memantik doktrin hukum pidana untuk membagi dolus dalam corak indirectus dan directus. Dolus indirectus berarti perbuatannya disengaja tetapi akibatnya tidak dikehendaki. Karena itu hukumannya harus lebih ringan dibanding dengan dolus directus. Semisal, Si Ari sengaja mendorong Didi, tetapi ia tidak (bisa) menyadari atau memperkirakan dorongannya itu membuat didi jatuh di got dan menderita patah tangan (Luka berat). Perbuatan mendorong itu disengaja tetapi si Ari tidak pernah menghendaki/memperkirakan akibatnya akan mematahkan tangan Didi.
Sedangkan dolus directus berarti perbuatannya disengaja dan akibatnya dikehendaki. Oleh karena itu, hukumannya harus lebih berat dari dolus indirectus. Semisal Ari sengaja mendorong dan memukul Didi dengan maksud agar tangannya memang patah. Perbuatan dan akibat patah tangannya memang dikehendaki.
Dolus (In) directus
Dakwaan kasus Novel Baswedan memuat Pasal 355 ayat 1 dan Pasal 353 ayat 2 KUHP. Kedua pasal ini memiliki pokok elemen, sengaja dengan perencanaan dan berakibat luka berat.
Literatur hukum pidana menggelari sengaja dengan perencanaan disebut dolus premiditatus. Jadi keduanya, baik Pasal 355 ayat 1 maupun Pasal 353 ayat 2 KUHP adalah dolus premiditatus.
Karena memiliki 2 element yang subtansinya sama, sekilas antara Pasal 355 ayat 1 dan 353 ayat 2 KUHP tidak ada perbedaan. Namun jika diurai lebih jauh, sesungguhnya Pasal 355 ayat 1 bermakna perbuatan (penganiayaan) sengaja dilakukan dan akibat luka berat dikehendaki oleh pelaku. Oleh sebab itu, Pasal 355 ayat 1 juga terkualifisir sebagai dolus directus. Makanya, hukumannya agak berat, maksimal penjara 12 tahun. Sedangkan Pasal 353 ayat 2 bermakna perbuatan (penganiayaan) disengaja tetapi akibat luka beratnya tidak dikehendaki. Sehingga Pasal 353 ayat 2 terkategori dolus indirectus. Dan hukumannya lebih ringan, maksimal penjara 7 tahun.
Dengan demikian dalam Pasal 355 ayat 1 mengandung dua corak dolus yaitu premiditatus dan directus (yang selanjutnya disebut premiditatus directus). Sedangkan Pasal 353 ayat 2 pun berisi dua ragam dolus yaitu premiditatus dan indirectus (selanjutnya disebut premiditatus indirectus). Dalam literatur tidak pernah diketemukan kedua jenis delik ini sebagai penggabungan yang didasarkan pada sasarannya. Pasal 335 ayat 2 dan Pasal 355 ayat 1 KUHP yang membuka tirai perihal corak dolus semacam itu.
Kasus Novel
Bagaimana dengan kasus penganiayaan Novel Baswedan. Apakah peristiwa itu dolus premiditatus directus sebagaimana Pasal 355 ayat 1 ataukah dolus premiditatus indirectus dalam Pasal 353 ayat 2 KUHP?
Tergantung fakta. Jika pelaku RB dan AKM memang menghendaki dari awal Novel itu terluka berat (Vide: Pasal 90 KUHP), misalnya dari awal menargetkan matanya buta. Maka ia terjerat Pasal 355 ayat 1. Begitu pun sebaliknya, bila pelaku hanya berencana menganiaya tetapi akibat luka beratnya (buta mata) tidak pernah dikehendaki atau tidak bisa diprediksi/disadari kalau perbuatan penganiayaannya itu akan mengakibatkan luka berat, maka ia terkualifisir dalam Pasal 353 ayat 2.
Lalu bagaimana menentukan apakah pelaku dari awal berkehendak untuk melukai berat ataukah hanya untuk menganiaya saja tapi tidak berkehendak melukai berat? Berdasarkan asas intention mea imponit nomen operi meo (niat seseorang tercerminkan pada perbuatannya). Maka harus dilihat dari rentetan peristiwa, cara menganiaya, dan instrumen yang digunakan.
Jika instrumen kejahatannya air keras. Umumnya air keras jika disiramkan ke bagian tubuh manapun (apalagi di wajah) sangat berpotensi menimbulkan salah satu luka berat. Itu pengetahuan umum. Sehingga jika dari awal perencanaan penganiayaan adalah menyiramkan air keras, maka dapat disimpulkan pelaku punya kehendak dan menyadari dari awal perbuatan aniayanya akan melukai berat.
In casu, Jaksa lebih memilih Pasal 353 ayat 2 yang terbukti. Itu berarti jaksa menganggap peristiwa yang terjadi adalah dolus premeditatus indirectus. Akibat penganiayaan, yaitu kebutaan yang dialami oleh Novel tak dikehendaki/tak terprediksi oleh pelaku. Tuntutannya juga hanya setahun penjara.
Dan tuntutan Jaksa setahun itu, sebenarnya tidak melanggar KUHP. Karena pasal 253 ayat 2 hukuman maksimalnya 7 tahun. Jaksa/hakim boleh memilih berapa tahun tuntutan atau putusan sepanjang tidak melebihi 7 tahun.
Kasus ini belum final. Masih menunggu putusan hakim. Jaksa boleh menuntut dengan Pasal 353 ayat 2 dengan tuntutan 1 tahun penjara. Tetapi hakim tidak terikat dengan keinginan Jaksa tersebut. Para hakim hanya terikat dakwaan. Mereka masih bisa bebas memilih pasal mana dari dakwaan (Pasal 355 ayat 1 atau Pasal 353 ayat 2) yang dianggap terbukti.*

Oleh:

Muh. Nursal NS

Praktisi Hukum

Artikel ini Telah Muat Sebelumnya di Harian Fajar Makassar, Edisi Cetak 15 Juni 2020

You may also like...