Absurditas Diskon Hukuman Edhy Prabowo dari MA

Sumber Gambar: kompas.com

Hobi Mahkamah Agung (MA) untuk menyunat vonis koruptor nampaknya masih terus berlanjut. Kini giliran mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo yang dipangkas hukumannya menjadi 5 tahun penjara dan denda Rp400 juta subsider 6 bulan kurungan.

Vonis di tingkat kasasi yang diberikan oleh MA ini jauh lebih ringan ketimbang dengan vonis Pengadilan Tinggi DKI yang menjatuhkan hukuman penjara selama 9 tahun. Sebuah akrobat hukum yang bisa dianggap sebagai pengangkangan terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di negeri ini.

Bukan kali ini saja, MA memberikan diskon kepada koruptor. Hal ini sudah berulang kali terjadi. Seperti data yang diungkapkan Indonesia Corruption Watch bahwa sepanjang 2019 dan 2020, setidaknya ada 22 narapidana korupsi yang dipangkas hukuman penjaranya oleh Mahkamah Agung.

Contohnya, hukuman terhadap pengacara OC Kaligis yang dari sebelumnya 10 tahun menjadi tujuh tahun penjara. Begitupun dengan vonis mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum yang menjadi delapan tahun dari sebelumnya 14 tahun penjara. Kemudian ada juga vonis kepada mantan Ketua Dewan Perwakilan Daerah Irman Gusman yang dipangkas menjadi tiga tahun dari sebelumnya 4,5 tahun penjara. Ketiga pemangkasan vonis korputpr tersebut semuanya melalui mekanisme peninjauan kembali yang merupakan kewenangan MA

Data ini jelas menambah catatan buruk vonis ringan koruptor yang ada di seluruh tingkat peradilan di negeri ini. Juga dalam catatan ICW , mayoritas vonis yang diberikan kepada koruptor itu sangat ringan. ICW menyebutkan bahwa sepanjang 2020, rata-rata vonis terhadap terdakwa perkara korupsi hanya 3 tahun 1 bulan.

Kembali pada Edhy Prabowo, MA mengurangi hukuman penjara mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo yang terbukti menerima suap US$77 ribu dan Rp24.625.587.250 dari pengusaha terkait ekspor benih lobster atau benur.

MA memotong lama waktu hukuman pidana terhadap Edhy menjadi 5 tahun dari 9 tahun penjara. Selain itu, Edhy dikenai denda Rp400 juta yang bila tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan. Selain itu, pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 3 tahun dikurangi menjadi 2 tahun.

Putusan kasasi pada 7 Maret 2022 diambil oleh majelis yang terdiri atas 3 anggota yaitu Sofyan Sitompul selaku ketua majelis, Gazalba Saleh, dan Sinintha Yuliansih Sibarani. Dalam pertimbangan majelis hakum dalam memotong vonis itu, Edhy Prabowo sudah bekerja dengan baik dan memberi harapan besar kepada masyarakat khususnya nelayan.

Menurut hakim, Edhy Prabowo mencabut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56/PERMEN-KP/2016 tanggal 23 Desember 2016 dan menggantinya dengan Permen Kelautan dan Perikanan Nomor 12/PERMEN-KP/2020. Lebih lanjut dalam pertimbangannya, hakim kasasi menyebut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12/PERMEN-KP/2020 mensyaratkan pengekspor mendapat benur dari nelayan kecil. Sehingga, perbuatan terdakwa tersebut untuk menyejahterakan masyarakat khususnya nelayan kecil.

Dalam kasus itu, jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Edhy Prabowo divonis 5 tahun penjara dan denda Rp400 juta subsider 6 bulan kurungan.

Majelis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada 15 Juli 2021 menjatuhkan vonis yang sama dengan tuntutan, yaitu 5 tahun penjara ditambah denda Rp400 juta subsider 6 bulan kurungan ditambah kewajiban membayar uang pengganti dan pencabutan hak dipilih selama 2 tahun.

Namun, pada 21 Oktober 2021, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat vonis Edhy menjadi 9 tahun penjara ditambah denda sebesar Rp400 juta subsider 6 bulan kurungan, membayar uang pengganti sejumlah Rp9.687.457.219 dan US$77 ribu serta pencabutan untuk dipilih dalam jabatan publik selama 3 tahun.

Atas putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tersebut maka Edhy Prabowo mengajukan kasasi pada 18 Januari 2022.

Menurut peneliti ICW Kurnia Ramadhana, Edhy pantas dihukum maksimal 20 tahun penjara. Hal ini disampaikan Kurnia pada tahun lalu, usai putusan tingkat banding terhadap kasus Edhy. Kurnia menyebut ada tiga hal yang membuat Edhy layak dihukum maksimal.

Pertama, korupsi dilakukan oleh Edhy ketika menduduki jabatan publik yaitu sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Kedua, praktik korupsi suap ekspor benih lobster ini terjadi saat Indonesia sedang dilanda pandemi Covid. Dan yang ketiga, Edhy tidak pernah mengakui perbuatannya.

Majelis hakim kasasi dalam pertimbangan mereka menilai Edhy Prabowo telah berbuat baik selama menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Di mana, Edhy mencabut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56/PERMEN-KP/2016 tanggal 23 Desember 2016 dan menggantinya dengan Permen Kelautan dan Perikanan Nomor 12/PERMEN-KP/2020. Lebih lanjut dalam pertimbangannya, hakim kasasi menyebut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12/PERMEN-KP/2020 mensyaratkan pengekspor mendapat benur dari nelayan kecil. Sehingga, perbuatan terdakwa tersebut untuk menyejahterakan masyarakat khususnya nelayan kecil.

Akan tetapi, bukankah urusan ekspor benih lobster inilah yang membuat Edhy Prabowo terjerat dalam pusaran korupsi? Edhy Prabowo dinyatakan terbukti bersalah menerima uang suap yang totalnya mencapai Rp25,7 miliar dari pengusaha eksportir benih bening lobster (BBL) atau benur.

Mungkin benar kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana bahwa pertimbangan majelis hakim kasasi MA cukup absurd. Sebab, jika ia sudah baik bekerja dan telah memberi harapan kepada masyarakat, tentu Edhy tidak diproses hukum oleh KPK.

Tak hanya ICW yang mengecam. Komisi Pemberantasan Korupsi mengaku kecewa dengan diskon hukuman Edhy Prabowo. Menurut KPK, vonis kasasi terhadap Edhy diyakini tidak memberikan efek jera terhadap tindak pidana korupsi.

“Karena pemberian efek jera merupakan salah satu esensi penegakan hukum tindak pidana korupsi yang bisa berupa besarnya putusan pidana pokok atau badan, serta pidana tambahan seperti uang pengganti ataupun pencabutan hak politik,” kata pelaksana tugas Juru Bicara bidang Penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi Ali Fikri seperti dikutip mediaindonesia.com.

Mestinya, menurut KPK, majelis kasasi mempertimbangkan tindakan suap Edhy sebagai kejahatan luar biasa. Putusan itu diyakini tidak sepadan dengan derita rakyat.

Tak salah jika kejengkelan lembaga lain dan publik langsung mengarah kepada lembaga peradilan tertinggi tersebut, bagaimana sesungguhnya komitmen MA dalam upaya pemberantasan korupsi

Publik tentu tidak ingin putusan nyeleneh itu kemudian berdampak melemahkan semangat aparat penegak hukum dalam melawan kejahatan korupsi. Juga semangat kita, rakyat, yang selama ini setia ikut mengawal dan berjuang dalam pemberantasan kejahatan luar biasa tersebut.

Apakah MA selama ini menaruh rasa kasihan kepada koruptor? Bukannya memperberat hukuman, MA sekarang justru mengobral vonis ringan. Apakah karena korupsi dianggap bukan kejahatan keji?

Korupsi itu kejahatan keji. Karena tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Bukan satu atau dua orang yang menjadi korban, tetapi seluruh rakyat Indonesia.

Oleh:

AKHMAD MUSTAIN

Jurnalis Media Indonesia

MEDIA INDONESIA, 11 Maret 2022

 

Sumber: https://mediaindonesia.com/opini/477286/absurditas-diskon-hukuman-edhy-prabowo-dari-ma

You may also like...