Pelajaran dari Kasus Ade Armando

Dr. Amir Ilyas, SH., M.H.
DOSEN HUKUM PIDANA UNHAS

Demonstrasi 11 April 2022 yang digelar di depan gedung parleman kemarin, benar-benar menyisakan catatan kelam buat Ade Armando. Ia dikenal sebagai pegiat media sosial yang getol melempar diskursus berbau agama, juga sebagai dosen komunikasi Universitas Indonesia yang kadang berseberangan dengan pendapat publik, harus menelan pil pahit kekerasan dari sekelompok massa yang menghakiminya. Tidak hanya dipukul secara membabi buta, tetapi juga mendapat perlakuan tidak manusiawi, ditelanjangi hingga diseret ke tengah jalanan beraspal.

Apapun alasannya, tidak ada celah untuk membenarkan perlakuan kekerasan terhadap Ade Armando. Kita begitu perih menyaksikan reaksi sejumlah netizen di media sosial, tidak kurang yang melampiaskan kepuasannya, seolah mendapatkan kemenangan dengan kekerasan yang menimpa Ade Armando. Mereka bagaikan suporter sepak bola yang sedang merayakan kegemberiaan karena klub kesayangannya sedang meraih kemenangan.

Mari kita berhenti sejenak dengan kekerasan yang menimpa Ade Armando, hingga gara-gara pengeroyokan kepadanya itu berbuah derita dan menjadi penghuni rumah sakit. Pertanyaannya, mengapa sejumlah orang yang terduga pelaku kekerasan itu memiliki keberanian melakukan penganiayaan secara bersama-sama kepada Ade Armando, padahal lokasinya di tempat umum yang mudah disorot oleh kameramen, wartawan, dan cukup diawasi oleh aparat penegak hukum kepolisian? Mengapa pula banyak pihak, kalangan dari media sosial yang turut memberikan dukungan seolah-olah membenarkan pengoroyokan untuk dan kepada Ade Armando?

Pertama-tama, kasus Ade Armando tidak berdiri sendiri sebagai kekerasan yang muncul begitu saja. Tetapi semua itu tidak terlepas dari aktivitas Ade Armando yang kadang menyindir kelompok pemeluk agama dengan alasan semua bentuk-bentuk keyakinan demikian masih multitafsir. Sederet tindakan kontroversialnya itu, seperti: menuliskan cuitan di akun twitternya “Allah kan bukan orang Arab, tentu Allah senang kalau ayat-ayatnya dibaca dengan gaya Minang, Ambon, Cina, Hip Hop, Blues.” Dalam pernyataan lain ia juga pernah menyatakan bahwa “azan itu tidak suci.” Bahkan yang tak disangka di balik sikapnya itu, ia yang nyata-nyata beragama Islam, pernah menyatakan LGBT itu bawaan lahir, Alqur’an tidak pernah melarang perilaku homoseksual, yang dilarang adalah perilaku seks sodomi.”

Cukup dimafhumi bersama, bahwa berbagai pernyataan Ade Armando untuk dan bagi mereka yang berada dalam kelompok pemikir, hal mana setiap bentuk ritual keyakinan dan syariat perlu dilogikakan, mungkin tidak ada masalah. Persoalannya, setiap pernyataannya itu yang dituliskan melalui media sosial segala kalangan bisa membacanya. Baik dari kalangan yang sering distigma sebagai kelompok fundamentalis maupun dari kelompok ekstrimis.

Pada konteks ini, cukup disayangkan untuk setiap kasus yang menyeret Ade Armando sebagai terlapor dalam kasus dugaan penghinaan atau penodaan terhadap agama, kepolisian kerap tidak transparan ke publik sebab dan alasan kasusnya dihentikan. Pada titik-titik tertentu, saya tidak menyalahkan penghentian kasusnya itu, tetapi mengapa pihak kepolisian yang sudah berkali-kali menerima laporan atas nama Ade Armando, tidak ditindaklanjuti dengan tindakan preventif dengan memberi peringatan atau pemamahan kepada Ade Armando mengenai dampak yang akan timbul dari pernyataan-pernyataannya, karena secara kasat mata mengandung ujaran kebencian.

Demikian pelajaran pertama yang harus diambil dari kasus ini, bahwa kepolisian harus mengaktifkan fungsi pencegahannya sekaitan dengan tindakan Ade Armando yang berpotensi sebagai ujaran kebencian. Sebagaimana hal itu tertuang dalam Surat Edaran Kepolisian NRI Nomor: SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech).

Dan selanjutnya, masuk pada pelaku yang terlibat dalam pengeroyokan terhadap Ade Armando. Hal yang harus pula menjadi pelajaran, terutama bagi aparat penegak hukum kepolisian, yaitu terkait dengan penyebaran foto-foto dan identitas terduga pelaku kekerasan terhadap Ade Armando. Seharusnya identitas terduga pelaku itu tidak perlu disebarkan melalui media cetak, media sosial, karena dibalik pengungkapan terduga pelaku ada hal-hal yang terkait dengan perlindungan data pribadi sebagaimana diatur dalam Pasal 26 UU Informasi dan Transaksi Elektronik.

Sekarang, masalahnya sudah menjadi runyam, karena ternyata ada seorang terduga pelaku yang sudah tersebar fotonya, tetapi kemudian diakui sendiri oleh pihak kepolisian kalau yang bersangkutan tidak terlibat dalam kasus kekerasan itu. Ini belum menyangkut dengan hak bagi orang yang salah teridentifikasi, berupa hak untuk meminta nama-nama dan identitasnya dihapus di berbagai pemberitaan, terutama pada media online. Kepada siapa dibebani pertanggungjawaban untuk menghapus nama-nama dan identitas tersebut, sebagai cara untuk merehabilitasi nama baik dia.

Patut kita mendukung agar aparat penegak hukum agar cepat menuntaskan kasus kekerasan yang menimpa Ade Armando. Dan saat yang sama pekerjaan rumah yang terbengkalai dahulu, menyadarkan Ade Armando untuk menghentikan pernyataan kontroversialnya yang potensial memicu ujaran kebencian segera didudukkan dalam satu meja, guna merajut persatuan dan damai dalam kebhinekaan.

Oleh:

Amir Ilyas
Dosen Ilmu Hukum Unhas

Sumber: Sindo Makassar, 18 April 2022

You may also like...