Senjakala Komisi Negara

Agus Riewanto: Dosen FH dan Pascasarjana Ilmu Hukum UNS

MAHKAMAHKonstitusi (MK) mengeluarkan Putusan No 36-37-40/PUU-XV/2017 yang dibacakan pada 8 Februari 2018 dalam sidang terbuka yang dihadairi 9 hakim MK RI. Dalam amar putusannya, MK menyatakan bahwa uji materi (judicial review) yang diajukan oleh Harun Al Rasyid, Hotman Tambunan, Yadyn, dan Lakso Anindito yang mendalilkan bahwa ketentuan Pasal 79 Ayat (3) UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) bertentangan dengan UUD 1945. (Suara Merdeka, 9 Februari 2018).

Lima hakim dari sembilan hakim menyatakan menolak uji materi itu, dan menyatakan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah objek hak angket DPR, karena KPK adalah bagian dari unsur pemerintah dan dibuat berdasarkan undang-undang.

Empat hakim MK lainnya menyatakan dissenting opinion (pendapat yang berbeda) yakni KPK bukan objek hak angket DPR karena KPK adalah bukan bagian dari pemerintah, melainkan bagain dari aparatur penegak hukum.

Putusan MK ini tidak konsisten dengan putusan-putusan sebelumnya yang menyatakan bahwa KPK adalah bagian dari penegak hukum yang harus tunduk pada ketentuan norma besar Pasal 24 UUD 1945.

Oleh karenanya KPK adalah lembaga independen, bukan bagian dari pemerintah. Beberapa putusan MK yang menyatakan demikian paling tidak terdapat empat putusan, yaitu: Pertama, Putusan MK No 012-016-019/PUU-IV/2006 dikeluarkan pada 19 Desember 2006.

Kedua, Putusan MK No 19/PUU-V/2007 dikeluarkan pada 13 November 2007. Ketiga, Putusan MK No 37-39/PUU-VII/2010 dikelurakan pada 15 Oktober 2010. Keempat, Putusan MK No 5/PUU-IX/2011 dikeluarkan pada 20 Juni 2011.

Dalam empat putusan MK sebelumnya ini, MK membuat amar putusan bahwa KPK adalah lembaga independen yang tidak dapat diintervensi oleh lembaga apa pun, sebagaimana asas ini melekat dalam asas kekuasaan yudikatif di mana kinerja lembaga-lembaga penegak hukum, antara lain hakim, jaksa, polisi dan KPK adalah lembaga negara yang tidak bisa diintervensi oleh DPR dan pemerintah sebagai upaya menyempurnakan konsep saling kontrol antarlembaga negara (checks and balances).

Hal ini untuk mewujudkan desain ketatanegaraan yang kuat dan tak menumpuk pada salah satu cabang kekuasaan negara. Itulah sebabnya KPK merupakan lembaga yang didirikan khusus berdasarkan ketentuan UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK untuk memberantas korupsi sebagai bagian dari aparatur kekuasaan peradilan yang kinerjanya hanya tunduk pada ketentuan perundang-undangan.

Lain halnya, jika kini KPK dianggap oleh MK sebagai bagian dari objek hak angket DPR, maka berarti KPK kini merupakan bagian dari penyelenggara kekuasaan pemerintah yang boleh saja kinerjanya dikontrol oleh DPR dan pemerintah, jika kinerjanya tak relevan dengan keinginan dan kemauan politik DPR dan pemerintah.

Akibat Putusan MK

Putusan MK yang baru ini akan menjadikan KPK dalam tawanan kekuasaan DPR dan pemerintah yang berpotensi menjadikan KPK sebagai lembaga nonstruktural di bawah bayang-bayang kekuasaan politik, bukan kekuasaan hukum dan negara.

Jika dibaca dalam batas penalaran yang wajar hadirnya putusan MK baru ini yang menyatakan KPK adalah objek hak angket DPR mencerminkan beberapa hal: Pertama, di sinilah relevansinya sulit untuk tidak dinyatakan, bahwa lahirnya putusan MK ini sangat terkait dengan posisi dugaan lobi-lobi antara petinggi MK dengan DPR dalam bursa memperpanjang masa jabatan salah seorang hakim MK yang akhir-akhir ini marak disuarakan oleh publik, seperti yang dilakukan oleh 54 profesor atau guru besar PTN/PTS baru-baru ini. (Suara Merdeka, 10 Februari 2018). Kedua, putusan MK ini akan mengakibatkan senjakala bagi komisi-komisi negara, karena akan melahirkan kian menguatnya konsep trias politica.

Padahal konsep trias politica ini telah nyata sangat kaku dalam penegakan hukum tak berjalan efektif. Itulah sebabnya kemudian lahir lembaga baru dalam desain ketatanegaraan modern yang dikenal dengan konsep Auxialary State Agenncies atau komisi-komisi negara, yang bukan bagian dari eksekutif, yudikatif ataupun legislatif, melainkan lembaga yang yang di dalam memiliki cakupan ketiganya.

Itulah sebabnya pada saat melakukan amandemen terhadap UUD 1945 pada tahun 1999-2002 diperkenalkan aneka Komisi Negara di Indonesia, termasuk KPK. Di dalam diri lembaga quasi negara (state auxialary agencies) ini memiki kewenangan untuk membuat peraturan sendiri, membuat perencanaan anggaran sendiri, bahkan dalam batas-batas tertentu memiliki peran-peran yudisial dalam bentuk penyedikan, penyelidikan dan penuntutan.

Namun dengan putusan MK terbaru yang menempatkan KPK adalah objek hak angket DPR, maka berkonsekuensi pada kembalinya konsep trias politica. Padahal kelahiran KPK dalam konteks ketatanegaraan modern sesungguhnya mencerminkan tak relevannya lagi. Ke depan pemberantasan korupsi akan dengan mudah diintervensi oleh DPR dan pemerintah.

Lebih dari itu, putusan MK terbaru ini akan berpotensi merembet pada ambisi DPR untuk menggunakan hak angket pada semua komisi negara, seperti Komisi Yudisial, KPU, KPPU, KPI, Ombudsman, Komnas HAM, KIP, dan lain-lain karena putusan MK ini akan dapat menjadi amunisi sekaligus yurisprudensi legitimasi DPR untuk menyerang dan melemahkan pemberantasan korupsi dan membonsai kinerja komisi-komisi negara yang lain, jika kinerjanya bertentangan dengan haluan politik DPR dan pemerintah. Maka ke depan kita akan menyaksikan senjalaka dan meredupnya peran komisi-komisi negara di Indonesia.

Oleh: Agus Riewanto

Dosen FH dan Pascasarjana Ilmu Hukum UNS

SUARA MERDEKA, 13 Februari 2018

You may also like...