Alat Bukti Surat.
Surat atau keterangan tertulis yang diatur dalam KUHAP berbeda dengan keterangan surat yang diatur dalam hukum perdata formil (RIB). Dalam hukum acara perdata ada pembagian tegas alat bukti surat. Yakni akta otentik dan akta di bawah tangan. Sedangkan dalam hukum pidana formil tidak mempersoalkan bagaimana kekuatan pembuktian akta/ surat di bawah tangan. Lebih jelasnya, pengaturan tentang keterangan surat ditegaskan dalam Pasal 187:
- Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau yang dialaminya sendiri disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu.
- Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian suatu hal atau suatu keadaan.
- Surat keterangan dari seoarang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau keadaan yang diminta secara resmi dari padanya.
- Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya isi dari alat pembuktian yang lain.
Dari uraian Pasal tersebut di atas. Tidak ada penegasan yang jelas perihal surat yang tidak otentik, tidak dapat menjadi alat bukti, terlebih lagi dalam Pasal 187 ayat 4 membuka celah untuk penggunaan keterangan yang tidak dibuat oleh pejabat yang berwenang atau akta itu disebut akta otentik. Terlepas dari permasalahan tersebut, adalah diserahkan kepada pertimbangan hakim. Hakim bebas menilai kekuatannya dan kebenarannya. Kebenaran itu dapat ditinjau dari beberapa alasan. Boleh dari segi asas kebenaran sejati, atas keyakinan hakim maupun dari sudut batas minimun pembuktian.