Asas Praduga Tak Bersalah

Herbert L. Packer dalam bukunya yang terkenal The Limits of the Criminal Sanction (1968: 197); mengemukakan bahwa ada dua model dalam Sistem Peradilan Pidana, yaitu Crime Control Model (CCM), dan Due Process Model (DPM).

Dalam praktiknya, pertama, crime control model lebih mengutamakan profesionalisme pada aparat penegak hukum untuk menyingkap, mencari dan menemukan pelaku tindak pidana. Profesional yang merupakan sifatnya, maka peraturan yang bersifat formal sering dilanggar, dan kadang-kadang untuk mendapatkan barang bukti, para profesionalis ini memaksakan cara-cara ilegal untuk tujuan cepat dan effisiensi. Sehingga untuk menghindari hambatan dari proses pidana itu maka kewenangan kebijakan dari penegak hukum itu seringkali diperluas. Dan dalam kenyataannya bahwa Crime Control Model ini sering dipertentangkan sebagai kurang manusiawi dan tidak menghormati Hak Asasi Manusia.

Kemudian model yang kedua yakni due process model dengan ciri-ciri selalu menganggap penting adanya refresif kejahatan, yaitu tahap ajudicatif (dalam sidang pengadilan harus ditentukan salah tidaknya tersangka), atas dasar legal guilt.

Kemudian selalu mengadakan chek and recheck (obstacle couse) dan hal ini harus diuji menurut peraturan. Ciri berikutnya adalah menghormati undang-undang. Kemudian menempatkan kedudukan yang sama bagi setiap orang di depan hukum (quality control). Sehingga model ini dikatakan orang lebih manusiawi dan menghormati Hak Asasi Manusia.

Dapat dikatakan dari sinilah, model sistem peradilan, due proces model, due proces of law ada implementasi unsur Hak Asasi Manusia dalam Hukum Acara Pidana. Dan memang asas praduga tak bersalah oleh berbagai penulis seperti Harahap (2002a), dan Hamzah (2006) mencantumkan serta menguraikan prinsip-prinsip KUHAP sebagai salah satu penghormatan hak asasi, mesti ada prinsip  praduga tak bersalah pada orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana.

Asas hukum praduga tak bersalah, sejak abad ke 11 dikenal di dalam sistem hukum Common Law, khususnya di Inggris, dalam Bill of Rights (1648). Asas hukum ini dilatarbelakangi oleh pemikiran individualistik – liberalistik yang berkembang sejak pertengahan abad ke 19 sampai saat ini.

Hak seseorang tersangka untuk tidak dianggap bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan sebaliknya (praduga tak bersalah) sesungguhnya juga bukan hak yang bersifat absolut, baik dari sisi formil maupun sisi materiel, karena hak ini tidak termasuk non-derogable rights seperti halnya hak untuk hidup atau hak untuk tidak dituntut dengan hukum yang berlaku surut (non-retroaktif).

Bahkan UUD 1945 dan Perubahannya, sama sekali tidak memuat hak, praduga tak bersalah, asas ini hanya dimuat dalam Pasal 8 UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan di dalam Penjelasan Umum UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.

Rumusan kalimat dalam Pasal 8 UU Kekuasaan Kehakiman (2004), dan Penjelasan Umum KUHAP adalah Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/ atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya, dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.

Rumusan kalimat tersebut di atas, berbeda maknanya secara signifikan dengan rumusan asas praduga tak bersalah di dalam Pasal 14 Pasal 2, Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik (1966), yang dirumuskan dengan kalimat singkat: ”Everyone charged with criminal offence shall have the right to be presumed innocent until proved guilty according to law”.

Menurut Romli Atmasasmita (http://arisirawan. WordPress.com/2010/05/23/) untuk mencegah tafsir hukum yang berbeda-beda di atas, tampaknya solusi realistik telah diberikan oleh Kovenan, yaitu dengan merinci luas lingkup atas tafsir hukum ”hak untuk dianggap tidak bersalah” yang meliputi 8 (delapan) hak, yaitu:

  1. Hak untuk diberitahukan jenis kejahatan yang didakwakan.
  2. Hak untuk disediakan waktu yang cukup dalam mempersiapkan pembelaannya dan berkomunikasi dengan penasehat hukum yang bersangkutan.
  3.  Hak untuk diadili tanpa ditunda-tunda.
  4. Hak untuk diadili yang dihadiri oleh yang bersangkutan.
  5. Hak untuk didampingi penasehat hukum jika yang bersangkutan tidak mampu.
  6.  Hak untuk diperiksa dan memeriksa saksi-saksi yang berlawan dengan yang bersangkutan.
  7.  Hak untuk memperoleh penerjemah jika diperlukan oleh yang bersangkutan.
  8. Hak untuk tidak memberikan keterangan yang merugikan dirinya atau hak untuk tidak dipaksa mengakui perbuatannya.

Sejalan dengan Konvenan tersebut, asas praduga tak bersalah harus diartikan, bahwa selama terhadap seorang tersangka/ terdakwa diberikan secara penuh hak-hak hukum sebagaimana dirinci dalam konvenan tersebut, maka selama itu pula perlindungan atas asas praduga tak bersalah, telah selesai dipenuhi oleh lembaga penegak hukum.

Jika Packer (1968)  dan Friedman (1994) mengemukakan bahwa dasar yang memotivasi perancang Undang-Undang KUHAP adalah due process of law, maka lain halnya dengan Harahap (2002a: 40) justru melihat dari adanya penekanan prinsip accusatoir (accusatory procedure), yang menempatkan kedudukan tersangka dalam setiap tingkat pemeriksaan:

  1. Adalah subjek, bukan sebagai objek pemeriksaan, karena itu tersangka harus didudukan dan diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat dan martabat harga diri.
  2. Yang menjadi objek pemeriksaan  dalam prinsip accusatoir adalah kesalahan tindak pidana, yang dilakukan tersangka. Karena itulah pemeriksan ditujukan

Olehnya itu, karena menempatkan tersangka bukan lagi sebagai objek yang terperiksa (accusatoir), maka dengan mengacu pada penjelasan umum butir 3 huruf c, asas presumption of innocent telah menjadi landasan dalam penerbitan KUHAP. Bahkan hak tersangka selama pemeriksaan  telah ditegaskan dalam KUHAP yang harus dihormati dan diperhatikan oleh penyidik sebagai berikut:

  1. Hak untuk memberikan keterangan secara bebas tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun (Pasal 117 ayat 1 KUHAP).
  2. Hak untuk dicatat keterangan yang diberikannya dengan seteliti-telitinya sesuai dengan kata-kata yang dipergunakan oleh tersangka sendiri (Pasal 117 ayat 2 KUHAP).
  3. Hak untuk meneliti dan membaca kembali hasil pemeriksaan sebelum tersangka menandatanganinya (Pasal 118 ayat 1 KUHAP).

Jaminan asas praduga tak bersalah dan prinsip pemeriksaan  accusatoir ditegakkan dalam segala tingkat pemeriksaan. Untuk menopang asas praduga tak bersalah dan prinsip accusatoir dalam penegakan hukum. KUHAP telah memberi perisai kepada tersangka/ terdakwa berupa seperangkat hak-hak kemanusiaan yang wajib dihormati dan dilindungi oleh aparat penegak hukum.

Dengan perisai hak-hak yang diakui oleh hukum , secara teoritis sejak semula tahap pemeriksaan, tersangka/ terdakwa sudah mempunyai posisi yang setaraf dengan pejabat pemeriksa dalam kedudukan hukum, berhak menuntut perlakukan yang ditegaskan dalam KUHAP:

  1. Segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya ditujukan kepada penuntut umum (Pasal 50 ayat 1).
  2. Segera diajukan ke pengadilan dan segera diadili oleh pengadilan (Pasal 50 ayat 2 dan 3).
  3. Tersangka berhak untuk diberitahu dengan jelas dengan bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai (Pasal 51 ayat 1).
  4. Berhak untuk diberitahu dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang didakwakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai (Pasal 51 ayat 2).
  5. Berhak memberi keterangan secara bebas baik kepada penyidik pada taraf penyidikan maupun pada proses pemeriksaan di sidang pengadilan (Pasal 52).
  6. Berhak untuk setiap waktu mendapat bantuan, juru bahasa pada setiap tingkat pemeriksaan, jika tersangka/ terdakwa tidak mengerti bahasa Indonesia (Pasal 53 ayat 1 jo. Pasal 177 ayat 1).
  7. Berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan (Pasal 54).
  8. Berhak memilih sendiri penasihat hukum yang disukainya (Pasal 55).
  9. Berhak mengunjungi dan dikunjungi dokter pribadinya selama ia dalam tahanan (Pasal 58).
  10. Berhak untuk diberitahukan kepada keluarganya atau orang yang  serumah dengan dia atas penahanan yang dilakukan terhadap dirinya. Pemberitahuan itu dilakukan oleh pejabat yang bersangkutan (Pasal 59).
  11. Berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan artau orang lain guna mendapatkan jaminan atas penangguhan penahanan atau bantuan hukum (Pasal 60).
  12. Berhak secara langsung atau dengan perantaraan penasihat hukumnya untuk menghubungi dan menerima kunjungan atas sanak keluarga, sekalipun hal itu tidak ada sangkutpautnya dengan kepentingan tersangka/ terdakwa (Pasal 61)
  13. Berhak mengirim surat dan menerima surat setiap kali diperlukannya yaitu kepada dan dari penasihat hukum dan sanak kelurganya (Pasal 62 ayat 1).
  14. Surat menyurat ini tidak boleh diperiksa oleh aparat penegak hukum, kecuali jika terdapat cukup alasan  untuk menduga adanya penyalahgunaan surat menyurat tersebut (Pasal 62 ayat 2 ).
  15. Terdakwa berhak untuk diadili dalam sidang pengadilan yang terbuka untuk umum (Pasal 64).
  16. Berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan bagi dirinya, saksi a de charge (Pasal 65).
  17. Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian (Pasal 66).
  18. Berhak menuntut ganti rugi dan rehabilitasi atas setiap tindakan dan perlakukan, penagkapan, penahanan, dan penuntutan yang tidak sah atau yang bertentangan degan hukum (Pasal 68). (Lih, Harahap, 2002a: 41 – 42, bandingkan juga dengan Yesmil Anwar dan Adang, 2009: 294 – 296)

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa ada dua yang mendasari sehingga presumption of innocenct eksis dalam KUHAP, yakni due process of model dan prinsip aqusatoir,  semua itu dirangkai oleh penghargaan dan penghornatan terhadap Hak Asasi Manusia.

Terlepas dari asas praduga tak bersalah yang terkesan individualis, hanya mengutamakan hak tersangka, lalu melupakan hak atas kepentingan umum (public interest). Tidaklah menjadi alasan, oleh karena KUHAP juga menganut prinsip kebenaran sejati alias materil. Bahkan dalam penekanan hak asasi yang lebih jauh, sudah mejadi kewajiban untuk mengutamakan hak-hak seorang tersangka sebelum pemeriksaan dengan penerapan prinsip Miranda Rule (a right to remaint silent,  a right to the presence of an attorney or the right counsil).

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...