Bagaimana KPK Menyikapi Putusan Praperadilan?

Nurul Ghufron: Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember (Koran Sindo)

RES judicata pro veritate habetur. Apa yang telah diputus oleh hakim harus dianggap benar. Merespon putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan soal kasus bailout Bank Century yang memerintahkan termohon Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melanjutkan penyidikan dan menetapkan Boediono sebagai tersangka, banyak pihak yang berbeda pendapat.

Perbedaan pandangan itu wajar, bahkan seandainya 1.000 ahli hukum pun boleh berpendapat 1001 dari berbagai sudut pandang, apalagi jika dikaitkan dengan aspek sosial dan politik. Namun, bagaimanapun pemutusnya adalah hakim. Ruang perdebatan baik di ranah publik maupun di ruang akademis tetaplah sebagai pandangan sementara.

Putusan hakim adalah hukum dalam arti konkret. Putusan hakim apa pun harus dipandang sebagai benar dan berlaku sebagai hukum. Itulah konsekuensi kita sebagai bangsa memilih negara berdasarkan hukum. Putusan praperadilan adalah putusan akhir yang tidak bisa diupayakan hukum banding (Pasal 83 KUHAP). Bahkan Mahkamah Agung (MA) tak dapat melakukan Peninjauan Kembali (Pasal 3 Perma RI Nomor 4/ 2016).

Karenanya, putusan praperadilan adalah putusan yang incracht. KPK sebagai penegak hukum, maka dedikasi dan komitmen yang utama di pundaknya adalah menegakkan hukum. Sebagai penegak hukum KPK harus menegakkan putusan praperadilan sebagai sebuah hukum. Berdasarkan Pasal 17 huruf c UU Nomor 30 /2014 tentang Administrasi Pemerintahan, pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dipandang telah bertindak sewenang-wenang. Bertindak sewenang-wenang artinya telah meninggalkan akal sehat dan keluar dari norma. Ini adalah hal yang sangat ironis jika sampai terjadi, penegak hukum tidak lagi dalam rule of law.

Bukan Putusan Pertama

Bunyi putusan praperadilan pada 10 April 2018 adalah, “Memerintahkan termohon untuk melakukan proses hukum selanjutnya sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku atas dugaan tindak pidana korupsi Bank Century dalam bentuk melakukan penyidikan dan menetapkan tersangka terhadap Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede dkk (sebagaimana tertuang dalam surat dakwaan atas nama terdakwa Budi Mulya) atau melimpahkannya kepada kepolisian dan atau kejaksaan untuk dilanjutkan dengan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam proses persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.”

Putusan praperadilan ini bukan putusan yang pertama. Sudah kali keempat pemohon mengajukan permohonan yang sama. Putusan praperadilan Nomor 12/Pid.Pra/2016/PN.Jaksel sebelumnya telah memutuskan yang amarnya “Memerintahkan termohon untuk melakukan proses hukum selanjutnya sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang ber­laku atas dugaan tindak pidana korupsi Bank Century dalam bentuk melakukan penyelidikan dan/atau penyidikan.” Namun, perintah putusan praperadilan itu tidak kunjung dilaksanakan sampai putusan kasasi Budi Mulya turun.

Dengan begitu, putusan pra­peradilan 2018 ini harus dibaca sebagai pemenuhan harapan pencari keadilan akan tidak kunjung dipenuhinya perintah hukum oleh penegak hukum. Pengadilan tidak mungkin hanya akan terus memerintahkan pada perintah yang sama dengan putusan sebelumnya tanpa berkesudahan sampai praperadilan ke sekian kalinya.

Publik perlu mengapresiasi keberanian hakim untuk menghentikan ketidakpastian hukum ini yang dapat dinilai bahwa tidak ada iktikad baik untuk melanjutkan penanganan perkara bailout  Bank Century pada nama yang lain. Keengganan untuk melanjutkan penyidikan pada nama lainnya tersebut dapat dinilai sebagai keputusan fiksi negatif (menolak melanjutkan) penyidikan kepada nama lainnya. Ketidak­pastian hukum yang diputus oleh hakim.

Konsekuensi Dakwaan KPK

Sorotan banyak pihak hanya fokus pada soal mengapa hakim “memerintahkan meneta­kan sebagai tersangka”. Publik juga harus tahu bahwa hal ini merupakan konsekuensi dari dakwaan jaksa: bahwa terdakwa Budi Mulya…bersama-sama Boediono, Miranda S Gultom, Siti C Fajriyah, Budi Rohadi, Muliaman D hadad, Hartadi Agus, Ardhayadi M, dan Raden Pardede telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai perbuatan berlanjut….”

Konsekuensi didakwanya Budi Mulya melakukan tindak pidana bersama-sama dengan beberapa orang (deelneming) berdasarkan Pasal 55 ayat (1) KUHP tersebut mengandung perintah setiap peserta dalam tindak pidana tersebut harus diperlakukan sama sebagai pelaku atas tindak pidana yang didakwakan.

Bahkan jika sampai hukum memutus berbeda antarpara peserta delneeming  dimaksud, hal itu bisa menjadi pintu peninjauan kembali, yang salah satu alasannya  yakni, “Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain,”  demikian Pasal 67 UU Nomor 5/2004 tentang Mahkamah Agung.  Inilah kepentingan hukum untuk menghukumi secara sama pihak-pihak yang turut serta.

Apalagi dalam kasus bailout  Bank Century ini kapasitas Budi Mulya hanyalah deputi gubernur Bank Indonesia Bidang 4, Pengelolaan Moneter dan Devisa dan Kantor Perwakilan (KPW). Posisinya bukan kunci, sementara yang disebut dalam dakwaan lain tersebut Gubernur BI Boediono, Deputi Gubernur Senior Miranda Goeltom, Deputi Gubernur Bidang Kebijakan Perbankan/Stabilitas Sistem Keuangan Muliaman Hadad, dkk. Pihak-pihak inilah yang memiliki posisi lebih kunci dalam pengambilan keputusan mengeluarkan kebijakan bailout  Bank Century.

Dalam penegakan hukumnya, Budi Mulya telah berproses hukum sampai kasasi, tetapi nama-nama yang tersebut dalam dakwaan KPK itu oleh KPK malah tidak kunjung disidik. Ini ketidakadilan yang nyata, minimal secara formal diperlakukan dalam proses hukum. Karena itu, hilang alasan KPK untuk berdalih masih mencari alat bukti, karena dakwaan “bersama-sama melakukan tindak pidana” itu dari jaksa KPK.

KPK pun tak dapat berdalih bahwa itu merupakan dakwaan produk sebelumnya. KPK adalah penegak hukum, karenanya pandangan hukumnya secara kelembagaan haruslah konsisten. Tidak karena perubahan struktur KPK lalu mengubah pandangan hukumnya.

Jangan Mengulang Kesalahan

KPK lahir didedikasikan salah satunya untuk “memperbaiki” proses penegakan hukum tindak pidana korupsi yang berlarut-larut tanpa ada kejelasan waktu penanganan dan tak dapat dipertanggungjawabkan. Atas dasar itu KPK dalam rangka supervisi diberi kewenangan untuk mengambil alih penanganan korupsi dari institusi penyidik atau penuntut lain.

Harapannya, KPK memberikan harapan indah tentang kepastian hukum waktu penangan korupsi. Sangat disayangkan jika harapan ini tinggal harapan dan penangan korupsi di KPK dengan alasan yang sama, bahwa masih dicari alat buktinya tidak berkejelasan.

Sejauh ini SOP penangan perkara di KPK belum memberikan kepastian soal waktu, sehingga sulit diharapkan KPK mampu memberi harapan kepastian waktu penanganan perkara. KPK harus sadar bahwa ia lahir dalam semangat reformasi yang diharapkan membawa perubahan penegakan hukum yang berkepastian hukum, terbuka, akuntabel, demi kepentingan umum dan proporsional (Pasal 5 UU KPK).

KPK jikalau tak mampu mengubah kepastian hukum dalam penegakan korupsi maka sesungguhnya ia telah kehilangan ruh kelembagaan sebagai lembaga penegak hukum era reformasi. Indonesia mendambakan penegak hukum yang pasti berkeadilan dalam menegakkan hukum. Ini tantangan KPK.

Oleh:

Nurul Ghufron

Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember

Koran Sindo, 19 April 2018

You may also like...