Beda Identitas dalam Pecalonan Kepala Daerah

Baron Harahap, S.H., M.H.

Sepekan terakhir, identitas calon Bupati di kabupaten yang menghelat pemilihan kepala daerah tahun 2020 (Pilkada) disoal publik. Musababnya, calon Bupati teridentifikasi memiliki nama berbeda yang termuat dalam syarat mencalon kepala daerah.

Kasus ini terjadi pada 2 (dua) kabupaten gelaran Pilkada di Sulawesi Tenggara, yakni Kabupaten Muna dan Kabupaten Kolaka Timur. Menariknya, calon Bupati yang tersangkut adalah calon petahana, dan keduanya telah dinyatakan lolos memenuhi syarat mencalon Bupati.

Calon petahana yang berkontestasi Pilkada Kabupaten Muna memiliki “nama” berbeda pada kartu tanda penduduk eletronik (KTP-el) dengan “nama” pada ijazah terakhirnya. Di KTP-el atas nama “Laode Rusman Emba”, sedangkan  ijazahnya tertera “Laode Rusman Untung”.

Berbeda dengan Muna, di  Kolaka Timur perbedaan ‘nama’ bukan pada KTP-el dan Ijazah, melainkan KTP-el dengan surat dukungan partai politik (B.1-KWK Parpol). Di KTP-el tercatat nama “Tony Herbiansah”, sedangkan B.1-KWK Parpol termuat “Toni Herbiansyah Andrey dan Toni Herbiansyah”.

Akibat perbedaan identitas tersebut, KPU Muna dan KPU Kolaka Timur masing-masing telah dilaporkan ke Bawaslu setempat. Pelapor meminta Bawaslu mengkualifikasikannya sebagai pelanggaran pemilihan, yang ujungnya KPU Kabupaten diharapkan menganulir keterpenuhan syarat calon/pencalonan menjadi “tidak memenuhi syarat.”

Problem perbedaan identitas “nama” menjadi menarik, sebab jika tak hati-hati mendudukannya secara hukum, penyelenggara pemilu (KPU Kabupaten dan Bawaslu Kabupaten) potensial memberi ketidakpastian hukum pencalonan Pilkada, dan bahkan dapat mengebiri hak untuk mencalon.

Secara hukum, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menerbitkan beleidsregel sebagai pedoman tekhnis pencalonan Pilkada yakni Keputusan KPU No. 394/PL.02.2-Kpt/06/KPU/VIII/2020 tentang Pedoman Teknis Pendaftaran, Penelitian dan Perbaikan Dokumen Persyaratan, Penetapan, Serta Pengundian Nomor Urut Pasangan Calon Dalam Pemilihan Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Dan/Atau Walikota Dan Wakil Walikota (Juknis KPU). Keberadaan Juknis KPU menjadi acuan KPU Provinsi/Kota/Kabupaten menyelenggarakan tahapan pencalonan.

Namun, disayangkan Juknis KPU dimaksud kurang lengkap mengatur hal-hal hukum yang predictiable terjadi pada masa pencalonan, dan konten Juknis KPU mengandung ketidakharmonisan substantif dengan UU 24/2013 sebagaimana perubahan atas UU 23/2006 (UU Administrasi Kependudukan).

Identitas Tunggal

Sistem administrasi kependudukan kita menganut identitas tunggal (single identity). Sejak tahun 2019, single identity menjadi fokus pemerintah untuk semua sektor. KTP-el sebagai wujud sistem identitas tunggal.

Tersirat, UU Administrasi Kependudukan mengkehendaki seluruh sendi interaksi kewarganegaraan yang membutuhkan identitas kependudukan, menggunakan KTP-el. Misalnya, data pajak, data kepegawaian dan tak terkecuali dalam pemilihan, semuanya menggunakan KTP-el.

Dalam UU 10/2016 (UU Pemilihan), mereka yang dijamin hak pilih (right to vote) dan hak mencalon (right to be candidate), disyaratkan pertama kali adalah “warga negara Indonesia”. Bukti kewarganegaraannya yakni tercatat memiliki nomor induk kependudukan, termuat dalam KTP-el.

Khusus mengenai hak mencalon, diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU 10/2016 (UU Pemilihan), yang menegaskan “setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama untuk mencalonkan diri dan dicalonkan sebagai calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota”. Pemenuhan syarat dimaksud, tak lain adalah KTP-el.

Setelah syarat KTP-el, barulah disebutkan syarat lainnya, misalnya minimum pendidikan paling rendah sekolah lanjutan atas yang dibuktikan dengan Ijazah, dan seterusnya. Termasuk syarat pencalonan yakni surat dukungan Partai Politik (B.1-KWK Parpol) harus sesuai dengan identitas yang tercantum dalam KTP.

Mengapa KTP-el secara hirarkies memiliki kedudukan paling “atas dan awal” disebutkan dalam syarat mencalon pilkada di UU Pemilihan? Sebab KTP-el mencatumkan elemen data penduduk, sehingga identitas yang termuat dalam KTP-el menjadi verifikator atas identitas yang termuat dalam turunan syarat calon dan pencalonan yang lain.

Identitas yang termuat dalam KTP-el harus sama-identik dengan identitas yang termuat dalam syarat calon dan pencalonan lainnya, termasuk ijazah dan B.1-KWK Parpol.

Bagaimana jika terjadi perbedaan antara nama pada KTP-el dan Ijazah, misalnya secara faktual terjadi di Muna?, Juknis KPU telah mengaturnya. Harus dilakukan klarifikasi pada institusi pendidikan penerbit ijazah. Apakah orang yang sama atau sebaliknya.

Hasil klarifikasi KPU Kabupaten kepada institusi penerbit ijazah dituangkan dalam bentuk bentuk berita acara klarifikasi. Jika hasil klarifikasi adalah “orang yang sama”, maka syarat tersebut diaggap memenuhi syarat (MS), sedangkan jika sebaliknya maka syarat calon dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS).

Selajutnya, bagaimana dalam hal terdapat perbedaan nama pada KTP-el dengan nama yang tertuang dalam B.1-KWK Parpol?. Disinilah problem hukumnya. Tidak termuat dalam Juknis KPU. Terjadi kekosongan hukum (recht vacuum). Dugaan penulis, KPU tidak memprediksi hal tersebut akan terjadi, sehingga luput diatur dalam Juknis KPU.

Idealnya, jika hal perbedaan nama antara KTP dengan B.1-KWK Parpol, maka surat dukungan partai politik tersebut haruslah ditolak, lalu dimintakan kepada Partai Politik memperbaiki B.1-KWK dengan menyesuaikan identitas nama yang termuat dalam KTP-el.

Koreksi

Terdapat kekurangan substansi yuridis dalam Juknis KPU berkait perbedaan nama dalam KTP-el dengan nama yang termuat dalam dokumen syarat calon dan pencalonan lainnya. Kekurangan substantif akan nampak jika disandingkan dengan regulasi administrasi kependudukan.

Secara khusus, jika terjadi perubahan nama seseorang, UU Administrasi Kependudukan telah mengaturnya. Pasal 52 telah melimitasi bahwa perubahan nama dilaksanakan berdasarkan putusan pengadilan. Selanjutnya untuk pencatatan perubahan nama, maka yang bersangkutan melaporkannya kepada instansi pencatatan sipil dalam rangka menerbitkan akta pencatatan sipil, dan dalam tempo paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya penetapan Pengadilan, Pejabat pencatatan sipil lalu membuat catatan pinggir pada regis akta pencatatan sipil dan kutipan pencatatan sipil.

Berkaca pada ketentuan tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa institusi pencatatan Sipil yang memiliki kewenangan pertama kali untuk memberikan penjelasan berkaitan dengan pencatatan perubahan nama penduduk.

Oleh sebab itu, jika dalam praktik pencalonan KPU Kabupaten menemukan perbedaan nama, baik perbedaannya antara nama pada Ijazah dan KTP-el, ataupun nama pada B.1-KWK Parpol, maka verfikasi pertama kali untuk menentukan validitas nama yang bersangkutan benar secara hukum, adalah melalui instansi pencatatan sipil. Baru setelahnya dilakukan verifikasi kepada institusi pendidikan atau partai politik yang menerbitkan surat dukungannya.

Pada titik inilah, seyogyanya KPU perlu mengharmonisasi beleid regel yang dibentuknya, agar isi Juknis KPU sesuai dengan UU yang secara spesialis mengaturnya, UU Administrasi Kependudukan.

Boleh saja KPU beranggapan bahwa jika terjadi perbedaan nama seseorang pada KTP-El dan Ijazahnya, maka barang tentu prosesnya telah melalui penetapan Pengadilan dan telah menyampaikan perihal tersebut kepada institusi pendidikan yang menerbitkan ijazahnya. Namun, bagaimana jika perubahan namanya dilakukan tanpa melalui penetapan pengadilan? Tentu saja perubahan nama tersebut menjadi illegal, tidak berdasar hukum.

Atau bagaimana jika yang bersangkutan mengubah nama melalui penetapan Pengadilan, namun lalai melaporkannya kepada institusi pendidikan yang menerbitkan ijazahnya? Dalam batas nalar yang umum, dapat dipastikan institusi pendidikan tidak mempunyai dasar untuk memvalidasinya.

Penulis yakin, hasil validasi demikian yang tanpa didukung oleh dokumen penetapan pengadilan, atau setidak-tidaknya pemberitahuan dari institusi pencatatan sipil, maka hasil validasinya subjektif-diragukan, dan potensial mengandung cacat meteriil.

Di masa mendatang, Juknis KPU secara substansi perlu koreksi, ditata kembali. Khusus berkait “perubahan nama”, maka harus melampirkan penetapan pengadilan yang dilengkapi dengan catatan dari insitusi pencatatan sipil perihal telah dicatatnya perubahan nama tersebut. Ini menjadi penting, agar tidak menjadi “gorengan” yang merugikan kontestan, dan proses mencalon Pilkada menjadi lebih pasti dan terukur.

Berlaku sama kepada para kontestan Pilkada, jika anda mengubah nama anda sebaiknya ubahlah dengan prosedur hukum yang baku, yakni melalui penetapan pengadilan dan melaporkannya kepada institusi pencatatan sipil untuk mendapatkan pencatatannya.

Sebab perubahan nama tanpa dasar, sama dengan mengubah elemen kependudukan. Dan perubahan elemen kependudukan, berkonsekuensi pidana dengan ancaman 2 (dua) tahun penjara. Demikian Pasal  94 UU Administrasi kependudukan menegaskannya.

Artikel Ini Sebelumnya Telah Muat di Harian Berita Kota Kendari, 6 Oktober 2020

Oleh:

Baron Harahap

Praktisi Hukum/Alumni FH Univ. Haluoleo

You may also like...