Bentuk-bentuk Sanksi Pidana Pelaku Pembantu Kejahatan Oleh Kaisaruddin Kamaruddin

“TIDAK SELALU BAHWA SANKSI PIDANA TERHADAP ORANG YANG MEMBANTU MELAKUKAN TINDAK PIDANA LEBIH RINGAN DARI PADA PELAKU, BISA JADI SAMA, BAHKAN BISA JADI SANKSINYA LEBIH BERAT”

https://www.facebook.com/kaisar.kaisar.374549?pnref=story

https://www.facebook.com/kaisar.kaisar.374549?pnref=story

Jika dicermati beberapa ketentuan perundang undangan pidana, maka Terdapat lima kategori pemidanaan bagi orang yang MEMBANTU melakukan “TINDAK PIDANA”, yaitu:

  1. Pembantu “TIDAK DIPIDANA;”
  2. Pembantu “PIDANANYA DIKURANGI SEPERTIGA” dari pidana pokok yang diancamkan atas kejahatan;”
  3. Pembantu “DIPIDANA PENJARA SELAMA-LAMANYA 15 TAHUN;”
  4. Pembantu “DIPIDANA SAMA DENGAN PELAKU;”
  5. Pembantu “DIPIDANA LEBIH BERAT DARI PADA PELAKU.”

Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, “PEMBANTUAN DALAM TINDAK PIDANA,” dikenal dengan istilah “MEDEPLICHTIGHEID” atau “GEHILFE” atau “ACCOMPLICE”,

Jika kita berbicara pembantuan, maka tentunya terdapat “ORANG YANG DIBANTU = PELAKU TINDAK PIDANA” (PLEGER) dan “ORANG YANG MEMBERIKAN BANTUAN ATAS TERWUJUDNYA TINDAK PIDANA = PEMBANTU” (MEDEPLICHTIG).

Pelaku adalah orang yang dengan sendirian mewujudkan seluruh unsur tindak pidana. Sedangkan Pembantu adalah orang yang memberikan dukungan/bantuan atas terlaksananya tindak pidana. Berbeda halnya dengan Pelaku, Seorang pembantu sama sekali tidak punya kepentingan terhadap terwujudnya Tindak pidana, dia hanya memberikan bantuan semata. Jadi kesengajaannya hanya tertuju pada pemberian bantuan.

Ketentuan umum mengenai pembantuan diatur dalam Pasal 56 KUHP, sebagai berikut:

  1. Dihukum sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan:
    Orang yang dengan sengaja membantu pada waktu “kejahatan” itu dilakukan.
  2. Orang yang dengan sengaja memberi kesempatan, ikhtiar atau keterangan untuk melakukan”kejahatan” itu.

Bertolak dari Pasal 56 KUHP tersebut di atas, maka dapat dilihat bahwa ketentuan tersebut menggunakan istilah KEJAHATAN. (Tidak menggunakan istilah TINDAK PIDANA), dan sebagaimana diketahui bahwa Tindak pidana itu terdiri atas dua macam yakni KEJAHATAN dan PELANGGARAN.

KEJAHATAN yang juga disebut juga dengan istilah DELIK HUKUM (RECHTS DELICTEN) yakni perbuatan yang meskipun undang-undang tidak merumuskan sebagai suatu perbuatan terlarang, masyarakat memandang bahwa perbuatan tersebut memang pantas untuk dihukum, atau perbuatan tersebut dipandang sebagai perbuatan yang melawan hukum. Misalnya Pencurian, Pembunuhan, Pemerkosaan dan sebagainya. Sedangkan PELANGGARAN atau yang disebut juga dengan istilah DELIK UNDANG-UNDANG (WETSDELICTEN) adalah perbuatan yang baru dirasakan sebagai sesuatu yang dapat dihukum setelah diatur dalam undang-undang sebagai perbuatan terlarang. Misalnya Tidak menggunakan helem bagi pengendara sepeda motor atau pelanggaran lalu lintas lainnya.
KUHP menempatkan kejahatan dalam Buku II dan Pelanggaran dalam Buku III.
Pasal 56 KUHP TIDAK MENGANCAM PIDANA TERHADAP PEMBANTU DALAM HAL MELAKUKAN PELANGGARAN (hanya terhadap PEMBANTU MELAKUKAN KEJAHATAN saja). Hal ini dipertegas kembali dalam Pasal 60 KUHP yang menentukan bahwa MEMBANTU MELAKUKAN PELANGGARAN, TIDAK DIPIDANA.

  1. Dalam Pasal 56 KUHP, Pembantuan itu terdiri atas dua, yaitu:
    Pembantuan PADA SAAT KEJAHATAN DILAKUKAN dengan daya upaya yang tidak dibatasi bentuknya (dapat berupa apa saja).
  2. Pembantuan SEBELUM KEJAHATAN DILAKUKAN dengan daya upaya yang dibatasi (tertentu) yakni kesempatan, sarana atau keterangan.

S.R. Sianturi (2012:373) memberikan contoh pembantuan pada saat kejahatan dilakukan:

Pada saat D melarikan seorang wanita sebagaimana dilarang oleh Pasal 332 KUHP, ia bertemu dengan P yang sedang mengemudikan mobil. D minta tolong kepada P untuk mengantar D bersama wanita itu, setelah D memberikan penjelasan tentang maksudnya mengenai wanita itu. Kemudian permintaan D dikabulkan dengan mengantarnya ke suatu tempat, dan setelah itu ia (P) pergi.

Contoh pembantuan sebelum kejahatan dilakukan: C berniat mencuri di rumah majikan B. Untuk melaksanakan niat tersebut, ia telah meminta keterangan keterangan kepada B mengenai situasi rumah tersebut, antara lain: kapan rumah itu sepi, dimana letak barang-barang berharga, bagaimana cara untuk mencurinya. Kemudian B memberikan penjelasan sesuai permintaan C, dan pada malam harinya C melakukan pencurian.

  1. Secara umum (lex generale) SANKSI PIDANA TERHADAP SEORANG PEMBANTU DALAM HAL MELAKUKAN “KEJAHATAN”, diatur dalam Pasal 57 KUHP:Maksimum pidana pokok yang diancamkan atas kejahatan, DIKURANGI SEPERTIGA.
  2. Jika kejahatan itu dapat dipidana dengan pidana mati atau dengan pidana penjara seumur hidup, maka dijatuhkan pidana PENJARA SELAMA-LAMANYA LIMA BELAS TAHUN.

Selain ketentuan umum Pasal 57 KUHP tersebut, terdapat juga ketentuan khusus (lex specialis) yang berlaku untuk tindak pidana tertentu saja dalam KUHP yang menentukan bahwa PEMBANTU DIANCAM PIDANA SAMA DENGAN PELAKU. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam Pasal 333 KUHP yakni ORANG YANG DENGAN SENGAJA MEMBERIKAN TEMPAT kepada pelaku merampasan kemerdekaan (melakukan penyekapan/ penahanan) orang lain secara melawan hukum. Orang yang menyediakan tempat adalah Pembantu, dan orang yang menyekap adalah pelaku.

Terdapat pula beberapa ketentuan khusus (lex speciale) di luar KUHP yang mengancam sanksi PEMBANTU SAMA DENGAN SANKSI PELAKU TINDAK PIDANA, antara lain adalah Pada tindak pidana korupsi, Tindak Pidana Pencucian Uang, dan Tindak Pidana Terorisme.

Pasal 15, 16 UU. No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI.
Pasal 15, rumusannya yaitu: “Setiap orang yang melakukan percobaan, PEMBANTUAN, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, DIPIDANA DENGAN PIDANA YANG SAMA sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.

Pasal 16 Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang MEMBERIKAN BANTUAN, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadi` tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.

CONTOH SEDERHANA PEMBERIAN BANTUAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI ADALAH SEORANG PEMILIK TOKO YANG MEMINJAMKAN STEMPEL (TANPA IMBALAN) UNTUK PEMBUATAN PERTANGGUNGJAWABAN FIKTIF YANG MERUGIKAN KEUANGAN NEGARA.

Demikian pula dalam Pasal 10 Nomor 8 Tahun 2010 Tentang PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG, bahwa Setiap Orang yang berada di dalam atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang turut serta melakukan percobaan, PEMBANTUAN, atau Permufakatan Jahat untuk melakukan tindak pidana Pencucian Uang dipidana dengan PIDANA YANG SAMA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5.

Dalam TINDAK PIDANA TERORISME, PEMBANTU JUGA DIPIDANA SAMA DENGAN PELAKU. Hal ini dapat dijumpai pengaturannya dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-Undang jo. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme bahwa Setiap orang yang melakukan permufakatan jahat, percobaan, atau PEMBANTUAN UNTUK MELAKUKAN TINDAK PIDANA TERORISME sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 DIPIDANA DENGAN PIDANA YANG SAMA SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANANYA.

Selanjutnya terdapat juga SANKSI SEORANG PEMBANTU YANG LEBIH BERAT DARI PADA PELAKU

Hal ini dapat dilihat dari rumusan pasal-pasal tertentu dalam KUHP. misalnya Pasal 231 ayat (3) KUHP yakni si Penyimpan membantu menyembunyikan barang titipan hakim, sanksinya maksimal 5 tahun Penjara. Sedangkan Pelaku yang menyembunyikan hanya diancam maksimal 4 tahun penjara.

Contoh lain adalah seorang dokter yang membantu dalam menggugurkan kandungan seorang wanita sebagaimana diatur dalam Pasal 349 KUHP, Pidananya ditambah sepertiga dari ancaman pidana yang terdapat dalam Pasal 346, 347 dan 348 KUHP. Dengan kata lain bahwa Dokter yang membantu pengguguran kandungan lebih berat hukumannya dibanding wanita (pelaku) yang menggugurkan kandungannya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tidak selalu sanksi seorang yang membantu melakukan tindak pidana itu lebih ringan dari pada seorang pelaku, karena terdapat juga ancaman sanksi bagi seorang pembantu yang sama atau bahkan lebih berat dibanding dengan sanksi bagi seorang pelaku tindak pidana.

Meskipun dalam Pasal 103 KUHP mengatakan bahwa semua ketentuan perundang-undangan pidana tunduk pada ketentuan umum (Buku I) KUHP, tetapi dalam pasal itu juga memberikan jalan pengecualian jika terdapat aturan khusus. Hal tersebut sejalan dengan asas hukum Lex specialis derogat legi generale.

Semoga tulisan singkat ini bermanfaat, terutama untuk adik-adik yang baru belajar hukum pidana.

You may also like...