Berlomba Membela Koruptor

Sumber Gambar:kabartimurnews.com

Di tengah kesulitan rakyat di banyak daerah mendapatkan minyak goreng, para koruptor di negeri ini justru berjoget ria di bawah tenda pesta. Mereka satu dalam orkestrasi licik elite penegak hukum yang membela para koruptor penggasak uang rakyat. Ini yang diperlihatkan Mahkamah Agung dalam putusannya pada 7 Maret 2022.

MA memotong hukuman bekas Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dari sembilan tahun penjara yang diputuskan di tingkat banding menjadi hanya lima tahun. Haknya untuk dipilih dalam jabatan publik juga dikorting dari tiga tahun menjadi dua tahun.

Yang bikin kita geleng-geleng kepala, diskon hukuman itu diberikan karena Edhy dianggap berkinerja baik dengan mencabut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56/PERMEN-KP/2016 tanggal 23 Desember 2016, dan menggantinya dengan Permen Kelautan dan Perikanan Nomor 12/PERMEN-KP/2020, yang membolehkan kembali ekspor benih lobster atau benur dari nelayan.

Prestasi baik itulah yang mendorong si penerima suap 77.000 dollar AS dan Rp 24.625.587.250 dari pengusaha ini diganjar pemotongan hukuman oleh majelis hakim.

*Mencabik marwah hukum*

Rasionalitas putusan itu jelas mencabik jubah dan marwah hukum. Seorang koruptor yang jelas-jelas menggerogoti uang negara dan menggerus hak ekonomi serta keadilan rakyat justru dipuja-puji di ujung palu hakim.

Dalam perspektif etika administrasi negara dan korupsi, setidaknya ada tiga kealpaan yang dipraktikkan para hakim MA dalam vonis delinkuen terhadap Edhy. Pertama, mereka lupa, megakorupsi tersebut dilakukan oleh seorang pejabat yang di dalam dirinya melekat prominensi moral untuk melindungi dan melayani kepentingan rakyat, terutama di tengah pandemi.

Menurut Susan Hayden (2013), megakorupsi (grand corruption) merupakan skala korupsi level tinggi karena: 1) perampasan kekayaan negara justru dilakukan oleh pemimpin negara, 2) terjadi pada level tertinggi pemerintah, 3) pemimpin atau kleptokrat menganggap sektor pemerintah merupakan kepemilikan personal, dan 4) sering melibatkan eksploitasi sumber daya alam.

Variabel itu sudah cukup untuk mendefinisikan secara jernih bahwa kejahatan korupsi merupakan habitus yang layak diganjar hukuman berat dan setimpal. Dalam jiwa hakim mestinya melekat kuat teori etika deontologis bahwa perbuatan korupsi adalah perbuatan buruk apa pun akibatnya.

Perbuatan korupsi oleh siapa pun yang melakukannya akan berkonsekuensi buruk bagi etika, moral, dan tatanan kehidupan suatu negara. Karena itu, tak ada satu pun ruang bagi pemaafan terhadap praktik sadis tersebut.

Kedua, korupsi dilakukan penuh kalkulasi (Klitgard, 2013). Artinya, ketika seorang menunjukkan perilaku dan kinerja yang baik, kemungkinan untuk memperoleh kompensasi dari perbuatan baiknya dalam korupsi juga akan terbuka lebar. Tak ada intensi dan ”motif baik” di dalam perbuatan yang merusak (corumpere).

Sama ketika oknum tertentu mengeluarkan uang yang banyak untuk menjadi penyelenggara negara, maka uang itu akan dituntut kembali lewat quid pro quo ’balik modal’.

Ketiga, korupsi dapat diwujudkan dalam bentuk promosi integritas dengan penonjolan hak istimewa, kelakuan baik, demi mendapatkan justifikasi pembenaran dari publik (Arifianto, 2007; Deni, 2010).

Argumentasi menjadikan kinerja Edhy untuk mengaktualisasikan kebaikan hati MA kepadanya memperlihatkan rasionalitas yang rapuh dan gampang ditebak, bahwa para penegak hukum tersebut sedang mengamuflase kepentingan subyektif-transaksionalitasnya dalam jubah kerahiman penegakan hukum yang sejatinya lusuh dan terhina.

*Normalisasi korupsi*

Ketiga aspek itu nyatanya diabaikan para hakim sehingga semakin mengukuhkan dalil bahwa nilai dan praktik korupsi sejatinya sedang dinormalisasi di dalam kuasa institusi hukum (Ashforth dan Anand, 2003).

Secara umum, korupsi di Indonesia terjadi bukan hanya karena defisit moral, melainkan juga masalah sosial-politik yang tersosialisasi ke dalam sistem negara. Eskalasi hukuman ringan terhadap aktor korupsi kontemporer yang meruntuhkan jera dan rasa adil publik mengonfimasi hal tersebut.

Selain fenomena obral remisi, pemberian fasilitas mewah penjara alias ”surga” bagi koruptor, hingga permainan diksi-diksi eufemisme terhadap perilaku korupsi, seperti ”penyintas korupsi”, telah ikut menggerus iman dan persepsi moral terhadap laku kejahiliahan korupsi.

Perilaku negara (hukum) yang seakan berlomba membela koruptor sejauh ini memperlihatkan masih main-main dan hipokritnya apparatus kita dalam eliminasi korupsi. Edhy satu dari sekian koruptor yang ”sumringah” di balik vonis problematis MA.

Sepanjang 2019-2020, ada 22 narapidana korupsi yang diguyur bonus korting hukuman penjara oleh MA. Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah membuat kajian korelasi hukuman koruptor dengan pengurangan korupsi dengan menelisik vonis oleh hakim di Pengadilan Tipikor, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung terhadap para koruptor.

Ternyata mayoritas vonis yang diberikan sangat ringan. Sepanjang tahun 2020, rata-rata vonis terhadap terdakwa perkara korupsi hanya tiga tahun dan satu bulan. Sebanyak 760 terdakwa korupsi divonis di bawah empat tahun. Vonis berat di atas sepuluh tahun penjara hanya dijatuhkan kepada 18 terdakwa.

Kita tentu masih ingat kasus Jaksa Pinangki Sirna Malasari dalam kasus buron Djoko S Tjandra yang diberikan diskon hukuman dari vonis 10 tahun penjara, menjadi hanya empat tahun, atau kasus Billy Sindoro terkait pembangunan Meikarta yang divonis dua tahun dari sebelumnya tiga tahun enam bulan. Juga pengacara OC Kaligis dalam kasus suap PTUN Medan yang divonis tujuh tahun dari sepuluh tahun.

Fakta tersebut menandakan negara diwakili institusi hukum telah ikut mereproduksi para elite pejabat, politikus ”komorbid” (dengan cacat integritas bawaan) yang berpotensi mengorupsi dan membangkrutkan bangunan hukum serta keadilan bagi rakyat.

Jelas akan makin terjal dan mengerikan jalan peperangan korupsi yang dilalui oleh bangsa ini jika para politikus nagras, pemimpin jahiliah nan korup, dibiarkan berkorporasi dengan penegak hukum, termasuk kekuatan oligarki predatorik.

Merekalah yang akan menciptakan ”negara korup” di dalam negara, sebagai tempat para koruptor berpesta, termasuk mengendalikan organ-organ negara dan kekuatan demokrasi supaya kompromi dan permisif terhadap koruptor.

 

Oleh:

UMBU TW PARIANGU

Dosen Administrasi Negara Universitas Nusa Cendana, Kupang

KOMPAS, 19 Maret 2022

 

Sumber : https://www.kompas.id/baca/artikel-opini/2022/03/18/berlomba-membela-koruptor

You may also like...