Boediono dan Gratifikasi Jabatan

MEMASUKI periode dua tahun Abraham Samad menahkodai KPK Jilid III, kembali seluruh masyarakat Indonesia menagih janji-janji penuntasan sejumlah kasus megakorupsi. Dan salah satu kasus paling disorot banyak kalangan adalah penanganan kasus century. Megakorupsi paling menyita perhatian masyarakat karena diduga melibatkan peran Boediono, kala menjabat Gubernur Bank Indonesia.

Selama century diambil alih KPK, sejumlah saksi telah diperiksa guna membuat terang_benderang perkara tindak pidana korupsi. Langkah mempercepat penuntasan kasus pun diambil para pimpinan KPK jilid III dengan memeriksa saksi-saksi dibeberapa tempat berbeda. Mulai dari pemeriksaan saksi di Amerika Serikat, Australia dan terakhir pemeriksaan Boediono di kantor Istana Wakil Presiden.

Diperiksanya Boediono sebagai saksi tersangka Budi Mulya di tingkat penyidikan, melahirkan wacana penonaktifan dari jabatan Wakil Presiden. Penonaktifan dilontarkan sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat guna mempermudah pemeriksaan penyidik KPK dalam mengungkap aktor-aktor dibalik pengucuran dana 6,7 triliun untuk Bank Century. Disaat yang sama Fahri Hamzah menegaskan Boediono berpeluang dimakzulkan dari jabatan Wakil Presiden, bila KPK secara resmi menyampaikan kepada DPR bahwa status Boediono sudah masuk dalam penyidikan.

Sumber: mikekono.wordpress.com

Sumber: mikekono.wordpress.com

Terkait wacana penghentian Wakil Presiden ini, hemat Penulis penonaktifan memang lebih masuk akal untuk diambil daripada langkah pemberhentian Wakil Presiden melalui pemakzulan (impeachment). Alasannya karena berdasarkan Pasal 7A UUD 1945 yang pada intinya menegaskan penghentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat dilakukan dalam masa jabatannya bila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Salah satu unsur pasal ini yang sangat penting adalah unsur bila terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa tindak pidana korupsi. Dimana seseorang dinyatakan “telah terbukti” melakukan tindak pidana bila telah diputus oleh Hakim bersalah dan inkract. Artinya kembali ke status hukum Boediono saat ini dalam penuntasan kasus century, ia masih berstatus saksi.

Atau dengan kata lain, kalau toh kemudian status hukum Boediono di tingkat penyidikan menjadi tersangka. Tetap saja langkah pemakzulan akan sia-sia saja, karena sekali lagi penghentian Wakil Presiden lewat impeachment bisa ketika Hakim menyatakan ia terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi serta telah berkekuatan hukum tetap.

Gratifikasi Jabatan     

Selain bergulirnya wacana penghentian Wakil Presiden Boedino ikut mengiringi pengungkapan kasus century. Muncul pula spekulasi dugaan praktik gratifikasi jabatan. Mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli menegaskan jabatan wakil presiden yang diduduki Boediono merupakan gratifikasi dari bailout Bank Century. Begitu PBI tentang CAR diturunkan supaya Bank Century bisa bailout, Boediono langsung muncul sebagai calon wakil presiden.

Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memang mengatur terkait gratifikasi. Penjelasan Pasal 12B ayat 1 menyatakan gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discout), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Memang bila melihat penjelasan Pasal 12B UU Nomor 20 Tahun 2001, wujud gratifikasi lebih berbentuk uang atau sesuatu yang bernilai ekonomis. Akan tetapi tidak dengan serta merta kita menafikkan bentuk gratifikasi lain seperti pelayanan seks dan jabatan. Oleh karena itu seorang hakim harus mampu melakukan penemuan hukum (rechtvinding). Hal ini sejalan dengan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

Salah satu bentuk penemuan hukum oleh Hakim yang bisa digunakan pula terhadap “wujud gratifikasi” adalah bentuk penafsiran ekstentif. Metode penafsiran ekstentif yaitu penafsiran dengan cara memperluas arti kata-kata yang dalam undang-undang sehingga suatu peristiwa dapat dimasukkan kedalamnya.

Penafsiran secara ekstentif pernah digunakan dalam kasus menyambung atau menyadap aliran listrik. Kala itu digunakan pasal pencurian dimana salah satu unsur pasal pencurian ada kata “barang”. Barang tentu saja adalah sesuatu berbentuk, tetapi aliran listrik tidak berbentuk. Akan tetapi hakim memperluas unsur barang (benda) menjadi sesuatu yang bernilai ekonomis sehingga terpenuhi Pasal 362 KUHP. Dan sampai sekarang yurisprudensi di Belanda ini berlaku di Indonesia sampai sekarang.

Sehingga bila kita kembali ke penanganan kasus century, tidak ada alasan bagi KPK untuk tidak menjerat pelaku meskipun itu berupa wujud gratifikasi baru. Apalagi citra KPK sangat tergantung pada penuntasan kasus ini. Oleh karena itu kita tunggu keberanian pimpinan KPK Jilid III.

Salam antikorupsi***

Jupri, S.H

Lahir di Jeneponto (Sulsel) dari keluarga sederhana. sementara aktif mengajar di Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo. selain memberi kuliah untuk mahasiswa fakultas hukum juga aktif menulis di www.negarahukum.com dan koran lokal seperti Fajar Pos (Makassar, Sulsel), Gorontalo Post dan Manado Post..Motto Manusia bisa mati, tetapi pemikiran akan selalu hidup..

You may also like...