Calon Tunggal dan Kartel Parpol

Tampaknya, polemik calon tunggal pada beberapa daerah di tengah persiapan pemilihan kepala daerah (pilkada) Desember 2015 sangat menguras pikiran Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu. Resep ampuh untuk mengatasi hal ini belum juga ditemukan. Opsi penundaan, termasuk dengan penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) sebagai terobosan hukum mengatasi kebuntuan calon tunggal ini, masih dapat diperdebatkan.

Banyak pihak meyakini bahwa calon tunggal pada tujuh daerah terjadi akibat tingginya mahar politik yang diberikan parpol terhadap calon peserta pemilukada. Penilaian ini sulit dibantah jika dikaitkan dengan praktek yang jamak berlaku dalam momen pemilu; baik pemilukada gubernur/bupati/wali kota maupun pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Bak lelang jabatan, siapa meraih poin tertinggi, dia berhak menduduki jabatan tertentu sesuai dengan kompetensinya. Bedanya, dalam pemilukada, siapa yang bisa memberikan mahar tertinggi kepada parpol, dialah yang akan diusung sebagai calon.

Mahar politik ini, selain menutup ruang bagi munculnya calon lain, menciptakan satu praktek KKN baru, sejumlah parpol menyepakati harga agar tidak mengusung calon tandingan. Kesepakatan harga ini melibatkan tiga pihak: calon yang diusung, parpol yang mengusung calon, dan parpol yang tidak mengusung calon. Ketiganya menciptakan “kartel parpol” untuk bersama-sama mengusung satu calon, dan pada saat yang sama juga “membajak demokrasi”.

Menurut Ruud Koole (2004), kartel adalah perkembangan tahap keempat dari partai politik. Pada tahap pertama, yakni abad ke-19, muncul partai elite. Pada tahap kedua, sekitar tahun 1880-1960, hadirlah partai massa. Pada tahap ketiga, setelah tahun 1945, bergulirlah partai yang menghimpun seluruh jenis pengikut (catch-all). Pada tahap keempat, setelah tahun 1970, lahirlah partai kartel yang melakukan penetrasi terhadap partai politik dan negara.

Ruud Koole lupa bahwa di antara parpol juga menciptakan kartel, seperti dalam kasus pilkada ini. Lazimnya, orang hanya mendengar istilah “koalisi” dalam praktek politik an sich. Padahal koalisi hanya soal persamaan kepentingan politik, tapi kartel politik adalah soal kebutuhan politik, yaitu logistik (modal) politik.

Sumber Gambar: indonesianreview.com

Sumber Gambar: indonesianreview.com

Sayangnya, perumus UU Pilkada tidak cermat membaca potensi ini. Euforia multipartai meninabobokan pemerintah dan DPR yang meyakini akan banyak calon muncul dalam pemilukada, mengingat praktek pemilukada lalu. Undang-undang ini tidak mengantisipasi munculnya calon tunggal yang secara bersamaan juga memunculkan kartel parpol.

UU Pilkada memang tidak mengatur perihal mahar politik ini. UU Pilkada hanya mengatur besaran sumbangan terhadap pasangan calon. Perbedaannya, besaran sumbangan ini didapatkan saat kandidat telah menemukan perahu (baca: parpol) yang mengusungnya. Sedangkan mahar politik adalah sejumlah uang yang diberikan kepada parpol untuk mengusung figur tertentu sebagai calon.

Dalam teori pembentukan peraturan perundang-undangan, UU Pilkada menyimpan bahaya laten. UU Pilkada sengaja atau tidak telah memunculkan potensi praktek KKN antara figur tertentu dan parpol. Perdebatan hanya seputar batasan besaran jumlah sumbangan yang diberikan kepada calon, baik sumbangan perorangan maupun korporasi. Kelemahan undang-undang ini menjadi celah tikus yang kemudian disiasati oleh parpol untuk mendapatkan logistik (modal).

Potensi korupsi ke depan cukup besar, bahkan lebih besar daripada biasanya. Sementara dalam praktek sebelumnya mahar politik hanya terjadi di antara partai pengusung dan calon, dalam kasus ini mahar politik juga melibatkan partai lain di luar partai pengusung. Parpol di luar partai pengusung akan meminta sejumlah uang dengan jaminan tidak akan mengusung calon sebagai tandingan. Praktek ini bisa berakibat pada beberapa hal.

Pertama, tidak tercapainya kaderisasi parpol. Mahar politik dalam kasus ini menutup regenerasi kepemimpinan dalam kaderisasi parpol. Dalam UU Parpol, kaderisasi menjadi salah satu fungsi parpol. Namun, akibat praktek kartel parpol, kader parpol tidak mendapat kesempatan untuk berkompetisi secara sehat. Praktek ini telah membuat parpol melenceng dari khitah pendiriannya. Bahkan membuat praktek korupsi menjadi semakin subur.

Kedua, mahar politik dalam kartel ini tidak memunculkan keseimbangan demokrasi di tingkat lokal. Besar kemungkinan tidak akan muncul parpol oposisi yang menyikapi dengan kritis kebijakan pemerintah. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) hanya akan menjadi panggung bisu yang mendukung setiap kebijakan kepala daerah meski kebijakan itu tidak pro-rakyat, hanya melayani kepentingan parpol yang terlibat dalam kartel tadi.

Ketiga, sejalan dengan itu, korupsi semakin merajalela. Kepala daerah akan menjadi “boneka partai”, bukan bertindak sebagai abdi rakyat sebagaimana tertera dalam UU Pilkada dan dalam sumpah jabatan, melainkan hanya akan menjadi pelayan kepentingan parpol dalam kartel tersebut. Komunikasi yang terbangun bukan antara kepala daerah (sebagai abdi) dan rakyat (sebagai pemegang kedaulatan), melainkan antara kepala daerah sebagai pelayan dan parpol sebagai tuannya.

Belum terlambat bagi penegak hukum untuk melacak praktek kartel politik dengan modus mahar politik dalam pemilukada kali ini. PPATK dan penegak hukum bisa menginvestigasi besaran dana dan sumber dana yang dipakai calon. Hal ini penting dilakukan untuk mengantisipasi potensi korupsi di kemudian hari, sekaligus bagi pembelajaran demokrasi di tingkat lokal dan nasional.

Investigasi bisa difokuskan pada daerah yang hanya memiliki calon tunggal. Jangan terjebak pada persepsi dangkal bahwa calon tunggal merupakan kondisi alamiah yang tidak bisa ditolak, seakan-akan masyarakat sendirilah yang menghendakinya. Persepsi itu mendahului proses elektoral yang terjadi berikutnya. Sebab, belum tentu calon tunggal itulah yang disukai rakyat dan memenangi pemilihan.

Jangan menunggu selesai pilkada baru mengusut. Penegak hukum mesti mencuri kesempatan awal dengan melakukan investigasi besaran dan sumber dana yang dipakai. Jika ditemukan, mereka mesti ditindak secara tegas sebagai praktek pidana pemilu. Sekaligus memberikan efek jera bagi parpol dan pembelajaran demokrasi. Sebab, jika tidak, praktek korupsi di daerah tidak akan bisa hilang, dan untuk waktu yang lama, elektoral kita hanya akan hidup di bawah bayang-bayang demokrasi rente. []

Telah Muat di Koran Tempo, 11 Agustus 2015

Wiwin Suwandi, S.H., M.H.

Advokat, Pegiat Tata Negara dan Antikorupsi di ACC Sulawesi

You may also like...