Daya Mengikat Hukum Internasional

Apabila eksistensi hukum internasional tidak perlu diragukan lagi, muncul persoalan selanjutnya, yakni, tentang daya mengikat dan hukum internasional itu sendiri. Persoalannya adalah, mengapa hukum internasional itu mengikat masyarakat internasional pada umumnya, negara­-negara pada khususnya? Atau dengan rumusan lain, mengapa masyarakat internasional, khususnya negara-negara bersedia untuk terikat atau tunduk pada hukum inter­nasional? Seperti tetah dikemukakan oleh banyak sarjana, jawaban atas pertanyaan ini dapat di jumpai dalam dua aliran atau mazhab hukum terkemuka yang pernah berpengaruh di dunia ilmu hukum pada zamannya masing-masing. Kedua aliran atau mazhab hukum tersebut adalah aliran hukum alam dan aliran hukum positif.

Menurut aliran hukum alam (natural law), hukum itu berasal dan alam dan diturunkan oleh alam kepada manusia melalui akal atau rasionya. Hukum dipandang memiliki sifat universal, abadi, tidak berubah-ubah, sama dimana-mana, seperti halnya dengan alam itu sendiri yang juga universal, abadi dan tidak berubah-ubah, jadi dimanapun juga sama saja. Aliran hukum alam, memandang hukum itu demikian abstrak dan tinggi serta hanya mengakui satu macam hukum yang berlaku di seluruh dunia, yakni, hukum alam itu sendiri. Masyarakat atau manusia dipandang hanya sebagai penerima yang pasif. Sekitar Abad Pertengahan, sesuai dengan situasi dan kondisi pada masa itu, yakni berkem­bangnya pengaruh ajaran Ketuhanan, aliran hukum alam inipun tidak luput dari pengaruh Ketuhanan sehingga menampakkan cini-ciri keagamaan Ketuhanan yang sangat kuat. Hukum alam tidak lagi dipandang berasal dan alam, melainkan berasal dan Tuhan. Tuhanlah yang menurun­kannya kepada manusia melalui alam. Hukum alam berasal dan bersumber dan Tuhan14.

Namun, karena semakin surutnya pengaruh Gereja Ketuhanan yakni pada masa-masa akhir Abad Pertengahan (sekitar abad ke 16 dan sesudahnya), maka surut pula pengaruh ajaran Ketuhanan terhadap aliran hukum alam. Oleh para pengikut aliran hukum alam pada masa itu, hukum alam mulai dibersihkan atau dimurnikan dari unsure-­unsur Ketuhanan. Aliran hukum alam yang pada masa Abad Pertengahan sangat kental dipengaruhi oleh ajaran Ketuhanan, mulai dibersihkan atau dimurnikan dengan menghapuskan hal­-hal yang berbau dan bercorak Ketuhanan. Dengan kata lain, aliran hukum alam mulai di sekulerisasikan. Adapun orang yang berhasil mensekulerkannya adalah Hugo de Groot atau yang juga dikenal dengan nama Latinnya, Grotius, seorang jurist terkemuka berkebangsaan Belanda.15

Secara garis besarnya, Grotius menyatakan, bahwa hukum alam tidak ada hubungannya dengan Tuhan. Adanya hukum alam tidak tergantung pada ada atau tidaknya Tuhan. Andaikata Tuhan tidak ada, hukum alam tetap ada. Dalam hubungannya dengan hukum internasional, para pengikut aliran hukum alam memandang, bahwa hukum internasional hanyalah bagian dan hukum alam, yakni hukum alam yang berlaku dalam masyarakat bangsa-bangsa atau masyarakat internasional. Oleh karena itu, hukum internasional-pun juga mempunyai sifat dan kekuatan mengikat yang sama seperti hukum alam.

Kelemahan aliran hukum alam adalah, bahwa ide ataupun konsepsi dan apa yang disebut dengan hukum alam tersebut ternyata sangat abstrak, samar-samar, serta meng­awang-awang. Hukum yang dikatakan berasal dari alam, sama saja artinya dengan menjauhkan hukum dari masyarakat, sebagai tempat atau sasaran berlakunya hukum itu sendiri. Sebagai konsekuensi dari pandangan aliran hukum alam yang demikian abstrak, samar-samar, dan mengawang-awang, maka penafsiran tentang isi atau substansi yang sebenamya dan hukum alam itu sendiri juga menjadi samar-samar, tidak jelas, sehingga pada akhirnya sangat tergantung pada pendapat dan penafsiran subyektif dari pengikutnya masing­-masing. Misalnya, konsep aliran hukum alam tentang hukum yang adil tidak akan pemah dapat diberikan arti atau substansi yang sama, abadi, dan universal, siapapun yang menafsir­kannya. Apa yang dipandang adil oleh seseorang, atau sekelompok masyarakat, belum tentu dipandang adil oleh seseorang atau kelompok masyarakat yang lain. Hal ini menunjukkan, bahwa para pengikut aliran hukum alam itu sendiri tidak berpijak pada dasar yang riil, yakni masyarakat tempat berlakunya hukum itu.

Namun, terlepas dari kelemahannya seperti telah diuraikan di atas, satu sumbangan dari aliran hukum alam yang tak ternilai yakni, aliran hukum alam telah berjasa meletakkan landasan yang ideal bagi norma hukum pada umumnya. Dasar atau landasan ideal ini dapat ditunjukkan pada adanya pengakuan dan penerimaan umat manusia atas nilai-nilai hukum dan kemanusiaan yang bersifat universal dan abadi, seperti tentang hak-hak asasi manusia, kesamaan derajat semua umat manusia, maupun kesamaan derajat negara-negara, perlakuan sama bagi setiap orang di hadapan hukum, dan lain sebagainya.

Ketidakmampuan aliran hukum alam menjawab pelbagai masalah serta mulai timbulnya perubahan orientasi berpikir para sarjana, mengakibatkan aliran hukum alam mulai ditinggalkan. Orang tidak lagi berorientasi pada hal­hal yang ideal dan abstrak dalam memecahkan masalah­-masalah hukum dan kemasyarakatan, melainkan pada hal­hal yang lebih nyata yang terdapat atau terjadi dalam masyarakat. Perubahan sikap dari orientasi ini sekaligus merupakan reaksi atas aliran hukum alam yang abstrak, samar-samar, dan perubahan sikap dan orientasi pemikiran atas hukum dan masyarakat ini melahirkan aliran hukum baru yang disebut aliran hukum positif.

Aliran hukum positif tidak memandang hukum berasal dan alam ataupun dari Tuhan, melainkan hukum dibuat oleh manusia atau masyarakat, tumbuh, hidup, berlaku, dan berkembang dalam masyarakat. Mengingat sistem sosial budaya antara kelompok masyarakat yang satu dan yang lainnya berbeda dan berubah-ubah dari waktu ke waktu, sudah tentu pula hukum sebagai produk dan bagian dari kehidupan masyarakat itu sendiri juga berbeda-beda dan berubah-ubah. Jadi, tidak ada hukum yang abadi dan berlaku universal, atau yang tidak berubah-ubah. Hukum itu berbeda-beda sesuai dengan masyarakat tempat berlakunya, dan berubah-ubah sesuai dengan waktunya.

Menurut aliran hukum positif, hukum itu mengikat masyarakat atau masyarakat tunduk pada hukum, disebab­kan karena masyarakat itu sendirilah yang membutuhkan hukum tersebut untuk mengatur kehidupannya. Jika pandangan aliran hukum positif ini dihubungkan dengan hukum internasional, maka hukum internasional berlaku dan mengikat masyarakat internasional, disebabkan karena masyarakat internasional itu sendirilah yang membutuhkan dan menghendaki untuk tunduk dan terikat pada hukum internasional. Jadi ada faktor kehendak negara (state will) yang menyebabkan masyarakat internasional, khususnya negara-negara untuk tunduk dan terikat pada hukum internasional. Hanya saja yang masih menjadi persoalan adalah tentang apa yang dimaksud dengan kehendak negara? Apakah kehendak negara secara individual ataukah kehendak negara secara bersama?

Seorang penganut aliran hukum positif, George Jellinek, yang juga dikenal sebagai penganut teori kedaulatan negara (state sovereignty), berpendapat, bahwa negara-negara sebagai pribadi hukum yang memiliki kedaulatan bersedia untuk tunduk dan terikat pada hukum internasional, oleh karena negara-negara itu sendirilah yang menghendakinya. Ini merupakan manifestasi dari kedaulatannya. Sebaliknya, jika pada suatu waktu nanti, negara atau negara-negara memandang tidak ada manfaatnya lagi untuk tunduk dan terikat pada hukum internasional, negara-negara itupun memiliki kehendak bebas untuk tidak mau lagi terikat pada hukum internasional. Jadi berdasarkan kehendaknya itu, negara-negara bebas untuk menyatakan dan untuk tunduk dan terikat ataukah tidak pada hukum internasional. Apabila suatu negara memandang perlu untuk tunduk dan terikat pada hukum internasional, negara itu bisa saja menyatakan dirinya bersedia untuk terikat. Jadi negara bersedia secara sukarela untuk dibatasi oleh hukum internasional. Sebaliknya, jika pada suatu waktu kemudian, negara yang bersangkutan memandang tidak perlu lagi untuk terikat, maka negara itupun bisa saja sewaktu-waktu menyatakan dirinya tidak mau lagi terikat pada hukum internasional. Hal ini berarti, George Jellinek menempatkan kedaulatan negara (state sovereignty) dalam kedudukan yang lebih tinggi daripada hukum internasional. Pandangan George Jellinek ini dikenal pula dengan teori pembatasan diri sendiri (self limitation theory).

Apabila pandangan George Jellinek ini diterapkan secara konsekuen, jelas akan menimbulkan akibat yang fatal. Jika daya mengikat hukum internasional digantungkan pada kehendak negara, baik secara individual maupun secara bersama-sama, akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Ketidakpastian hukum dalam pengertian yang paling ekstrim, sama saja dengan kekacauan, dan kekacauan yang paling kacau adalah keadaan tanpa hukum, dimana setiap pihak merasa memiliki kebebasan yang tanpa batas. lnilah yang disebut anarkisme.

Penganut aliran hukum positif yang lainnya, yang mencoba menjawab persoalan tentang hakekat dan daya mengikat hukum internasional adalah Zorn, Anzilloti, dan Triepel, yang pandangannya dapat digolongkan sebagai teori kehendak atau persetujuan bersama (common will atau common consent theory)16. Menurut mereka, hakekat dan daya mengikat hukum internasional tidak terletak pada kehendak sepihak negara-negara, melainkan pada kehendak besama negara-negara. Jika negara-negara tunduk pada hukum internasional, disebabkan karena terdapat kehendak bersama dan negara-negara untuk tunduk dan terikat pada hukum internasional. Jadi ada kesamaaan kehendak dari negara-negara. Jika pada suatu waktu ada satu atau beberapa negara tidak lagi bersedia untuk tunduk dan terikat pada hukum internasional, dan bermaksud untuk menarik diri, maka negara itu tidak dapat menarik diri secara sepihak, melainkan harus mendapat persetujuan bersama dari negara­-negara lainnya. Persetujuan inipun juga merupakan manifestasi dan kehendak bersama negara-negara.

Meskipun teori kehendak bersama ini lebih ideal dibandingkan dengan teori kehendak sepihak negara yang dikemukakan oleh George Jellinek, tetapi tetap masih ada kelemahannya. Dalam beberapa hal, kehendak bersama itu seringkali tidak mudah untuk diketemukan. Mungkin untuk perjanjian-perjanjian internasional, seperti konvensi, traktat, charter, agreement dan lain-lain, teori kehendak bersama ini mengandung kebenaran, sebab dalam perjanjian internasional, kehendak negara untuk membuat, tunduk, dan terikat pada penjanjian internasional, secara jelas dan tegas dapat diketahui. Akan tetapi, jika menyangkut hukum kebiasaan internasional (international customary law), agak sukar untuk menjelaskan, bahwa tunduk dan terikatnya negara-negara pada hukum kebiasaan internasional disebabkan karena ada kehendak bersama untuk tunduk dan terikat. Negara-negara tidak pernah menyatakan kehendaknya secara tegas untuk tunduk dan terikat pada hukum kebiasaan internasional. Dalam kenyataannya, negara-negara, misalnya negara-negara yang baru merdeka, tidak pernah terlebih dahulu menyatakan kehendak untuk tunduk dan terikat pada hukum kebiasaan internasional. Mereka tunduk dan terikat dengan sendirinya. Terhadap sanggahan ini, teori kehendak bersama ini menjawab, bahwa tunduk dan terikatnya negara-negara pada hukum kebiasaan internasional, di dalamnya terkandung suatu persetujuan atau kehendak bersama secara diam-diam (implied or tacit consent)17. Akan tetapi teori kehendak bersama ini tidak bisa menjelaskan tentang bagaimana terjadinya persetujuan atau kehendak bersama secara diam-diam itu.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa teori kehendak bersama tampak berat sebelah. Teori ini terlalu menitikberatkan hukum internasional pada perjanjian­-perjanjian internasional, padahal selain dari perjanjian internasional, masih ada bentuk-bentuk hukum internasional lain seperti hukum kebiasaan internasional yang berlaku dan mengikat terhadap negara-negara tanpa didahului dengan persetujuan atau kehendak bersama.

Selanjutnya, baiklah ditinjau pandangan dan penganut aliran hukum positif yang lain yaitu Hans Kelsen yang lebih dikenal sebagai pelopor Mashab Wina (Austria). Hans Kelsen yang terkenal dengan teori Grundnorm (Grundnorm theory), berpendapat bahwa hukum nasional dan hukum internasional hanyalah bagian-bagian saja dan satu kesatuan hukum yang lebih besar yakni hukum pada umumnya. Berlaku atau daya mengikat dari suatu kaidah hokum sebenarnya dapat dikembalikan kepada dasar atau tingkatannya yang lebih tinggi, dan demikian seterusnya sampai pada yang tertinggi. Yang tertinggi inilah yang merupakan norma dasar atau grundnorm.

Sesuai dengan pandangannya tentang hukum pada umumnya, maka hukum nasional dan hukum internasional tidak berbeda secara tegas, sebab keduanya hanyalah merupakan bagian saja dan hukum pada umumnya. Menurut Hans Kelsen, hukum itu mengikat terhadap individu-individu baik individu-individu yang hidup dalam suatu negara maupun individu-individu yang hidup berorganisasi dalam bentuk suatu negara. Pandangan Hans Kelsen ini didasari oleh anggapannya, bahwa negara dan individu adalah sama saja. Negara. sebenarnya adalah kumpulan individu-individu. Apabila negara tunduk pada hukum internasional, sebenamya yang tunduk pada hukum internasional adalah individu-individu itu sendiri yang hidup berkumpul membentuk sebuah negara. Dengan demikian, menurut Hans Kelsen, subyek hukum internasional sama saja dengan subyek hukum nasional, yakni individu.

Apabila teori Hans Kelsen ini ditelusuri dengan seksama, sebenarnya teorinya ini cukup logis. Hanya saja Hans Kelsen berhenti begitu saja pada grundnorm sebagai norma dasar tertinggi, tanpa di analisis lebih lanjut atau secara lebih mendalam, mengapa grundnorm itu sendiri bisa menjadi dasar dan norma hukum serta mempunyai kekuatan mengikat. Oleh karena itu, apa yang dinamakan grundnorm tidak lebih dari pada suatu hipotesis belaka yang kebenarannya sendiri masih harus dibuktikan. Jadi, jika hakekat dan daya mengikat suatu kaidah hukum didasarkan pada sesuatu yang abstrak dan masih merupakan hipotesis, sama artinya dengan sikap meragukan hakekat dan daya mengikat dari hukum (termasuk hukum internasional) itu sendiri. Dengan menempatkan grundnorm sebagai suatu kaidah yang tertinggi dan hakekat dan daya mengikat hukum, termasuk hukum internasional, yang pada akhirnya menjadi sangat abstrak dan mengawang-awang, menunjukkan bahwa Hans Kelsen seperti hendak berpaling kembali kepada aliran hukum alam yang sebenarnya sudah lama ditinggalkan.

Sebuah teori lain, yaitu Mashab Perancis, dengan penganut-penganutnya Fauchille, Scene, dan Duguit, mencoba menjawab tentang hakekat dan daya mengikat hukum (termasuk hukum internasional) dengan menekan­kan pada faktor sosiologis18. Daya mengikat dan hukum pada umumnya, dicari pada manusia itu sendiri, yang di samping sebagai mahluk biologis, juga sebagai mahluk sosial. Sebagai mahluk biologis, manusia memiliki berbagai kebutuhan biologis, demikian Pula sebagai mahluk sosial, manusia juga memiliki kebutuhan sosial. Kedua macam kebutuhan itu tidak dapat dipenuhinya sendiri-sendiri, melainkan hanya dapat dipenuhi dalam keterkaitan dan keterhubungan antara sesamanya, Hal ini menunjukkan, bahwa manusia dalam menjalankan kehidupannya, harus memenuhi kebutuhan­-kebutuhan maupun kepentingan-kepentingannya. Dalam usaha untuk memenuhinya itu, supaya tidak saling bertentangan atau bertabrakan antara satu dengan yang lainnya, mereka membutuhkan pengaturan-pengaturan yang berupa kaidah-kaidah hukum, supaya terwujud kehidupan sosial yang aman, damai, adil, dan tenteram. jika semua itu tidak diatur sedemikian rupa, maka tidak akan terwujud kehidupan bersama seperti yang mereka inginkan.

Berdasarkan uraian di atas, menurut mashab sosiologis, manusia atau masyarakat tunduk pada hukum sebab manusia atau masyarakat itu sendiri yang membutuhkan hukum. Berbeda dengan masyarakat internasional yang tunduk pada hukum internasional, masalahnya juga tidak berbeda dengan masyarakat pada umumnya, bahwa masyarakat internasional, khususnya negara-negara itu sendiri memang membutuhkan hukum internasional untuk mengatur kehidupannya

Prof. Dr. S.M. Noor, S.H., M.H.

Lahir di Bulukumba 2 Juli 1955, Menamatkan S1, S2 dan Program Doktor PPS Unhas 2003- 2008. Adalah Professor Hukum yang suka Sastra terbukti sudah tiga novel yang telah terbit dari buah tangannya: “Putri Bawakaraeng” (Novel) Lephas Unhas 2003; “Pelarian” (Novel) Yayasan Pena (1999); “Perang Bugis Makassar, (Novel) Penerbit Kompas (2011). Selain sebagai Staf Pengajar pada Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Unhas, Golongan IV B, 1998 hingga sekarang, juga menjabat sebagai Ketua Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Unhas; Dosen Luar Biasa Pada Fakultas Syariah IAIN Alauddin, Makassar 1990-2003; Dosen Luar Biasa Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Unhas untuk mata kuliah Politik dan Kebijaksanaan Luar Negeri Cina serta Hukum Internasional 2002 – sekarang. Beberapa buku yang telah dipublikasikan antara lain “Sengketa Asia Timur” Lephas-Unhas 2000. Tulisannya juga dapat ditemui dalam beberapa Harian: Pedoman Rakyat (kolumnis masalah-masalah internasional), pernah dimuat tulisannya di Harian: Fajar dan Kompas semenjak mahasiswa; menulis pada beberapa jurnal diantaranya Amannagappa, Jurisdictionary dan Jurnal Ilmiah Nasional Prisma. Kegiatan lain diantaranya: narasumber diberbagai kesempatan internasional dan nasional, Narasumber Pada Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) Jakarta 1987; Narasumber pada Overseas Study On Comparative Culture And Government Tokyo (Jepang) 1994; Shourt Course Hubungan Internasional PAU Universitas Gajah Mada Yogayakarta 1990; Seminar Hukum Internasional Publik Universitas Padjajaran Bandung 1992; Seminar Hukum dan Hubungan Internasional Departemen Luar Negeri RI Jakarta 2004. Juga pernah melakukan penelitian pada berbagai kesempatan antara lain: Penelitian Tentang Masalah Pelintas Batas Di Wilayah Perairan Perbatasan Indonesia-Australia Di Pantai Utara Australia dan Kepualauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara Tahun 1989; Penelitian Tentang Masalah Alur Selat Makassar dalam Perspektif Pertahanan dan Keamanan Nasional Indonesia. Gelar guru besar dalam Bidang Hukum Internasional Pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin telah dipertahankan Di Depan Rapat Senat Terbuka Luar Biasa Universitas Hasanuddin “Perang Makassar (Studi Modern Awal Kebiasaan dalam Hukum Perang)” pada hari Selasa 2 November 2010 (Makassar).

You may also like...