Delik Makar, Perspektif Teoretis dan Praktik Empiris

Sumber Gambar: inilah.com

MESKIPUN telah me­rampungkan rekapitulasi nasional pi­l­pres dan pileg, tidak dimungkiri bahwa pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 juga menghasilkan residu demokrasi. Itu berupa kritikan terhadap penyelenggaraan dan ketidakpuasan terhadap hasil pemilu ataupun berbagai tindakan dan aksi massa lainnya.

Fenomena aksi massa yang terjadi beberapa hari terakhir, seakan-akan kontradiksi dengan kesuksesan penyelenggaraan pemilu dengan tingkat partisipasi pemilih sekitar 81,97%, yang melampaui target RPJMN 2015-2019 sebesar 77,5%.

Pada sisi yang lain, aparat penegak hukum telah melakukan proses hukum terhadap mereka yang diduga melakukan makar ataupun tindakan anarkistis lainnya. Sedikitnya, Kejaksaan telah menerima 29 SPDP terkait dengan dugaan makar. Dengan menggunakan pasal-pasal yang terdapat dalam Buku II Bab I KUHP tentang Kejahatan terhadap Keamanan Negara.

Pertanyaannya, apakah sudah tepat penggunaan pasal-pasal makar dan kejahatan terhadap keamanan negara diterapkan terhadap para tersangka. Apakah sangkaan delik makar yang dilakukan penyidik Polri merupakan bentuk primum remedium yang menjadikan hukum positif dalam KUHP sebagai bagian untuk melindungi kepentingan hukum masyarakat dan kepentingan hukum negara.

Terminologi Makar

Pada hakikatnya, KUHP merumuskan perbuatan-perbuatan yang dilarang dan diancam dengan sanksi pidana sebagai reaksi terhadap mereka yang melakukan tindak pidana.
Formulasi delik yang terdapat dalam KUHP, sejatinya ditujukan untuk melindungi kepentingan hukum perorangan atau individu (individuale bela­ngen), masyarakat (sociale bela­ngen), serta kepentingan hukum negara (staat belangen).

Salah satu bentuk perlindungan terhadap kepentingan hukum negara, antara lain diwujudkan dalam berbagai rumusan delik tentang kejahatan terhadap keamanan negara. Rumusan-rumusan delik tersebut dimaksudkan untuk melindungi serangan individu maupun kelompok yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksakan kehendaknya terhadap negara, berupa makar maupun penyebaran ajaran yang bertentangan dengan ideologi Pancasila.

Sebagai hukum pidana materiel yang merupakan umbrella act dari hukum pidana nasional, tampaknya KUHP tidak memberikan batasan pengertian secara rinci tentang delik makar. Hanya, dalam ketentuan Pasal 87 KUHP menyebutkan, “Dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan apabila ada niat, untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan seperti disebut Pasal 53 KUHP”.

Atas dasar hal itulah, sebagian akademisi berpendapat bahwa frasa ‘makar’ yang terdapat dalam Pasal 104 KUHP berasal dari frasa aanslag (Belanda) ataupun attempt (Inggris), yang lazim diterjemahkan sebagai delik percobaan.

Menurut pakar hukum pidana Noyon dan Langemeijer, bahwa aanslag merupakan sebagian dari tindak pidana yang ingin dilakukan orang, baik tindak pidana itu telah selesai dilakukan maupun tidak.

Meskipun disepadankan dengan frasa aanslag ataupun attempt, delik makar tidak harus memenuhi seluruh syarat-syarat dalam delik percobaan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP. Hal itu karena delik makar hanya memiliki dua unsur utama, yaitu niat dan permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering) sehingga acap kali disebut percobaan tidak lengkap.

Pemahaman terhadap delik makar sebagai percobaan tidak lengkap, sejalan pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan MK No 7/PUU-XV/2017 tanggal 31 Januari 2018, yang menolak permohon­an judicial review atas Pasal 87, 104, 106, 107, 108, 139a, 140 KUHP, antara lain menyatakan, pertama, delik makar cukup disyaratkan adanya niat dan perbuatan permulaan pelaksanaan. Dengan terpenuhinya syarat itu terhadap pelaku telah dapat dilakukan tindakan penegakan hukum oleh penegak hukum.

Kedua, delik makar tidak perlu selesai, seperti pemerintah terguling atau presiden mangkat. Apabila ada niat dan permulaan perbuatan, orang tersebut dapat dipidana.
Kedua pertimbangan Majelis Hakim MK itu semakin mempertegas pendapat bahwa pelaku tetap dapat dituntut dan dipidana menurut ketentuan Pasal 104 KUHP, walaupun perbuatannya tidak mengakibatkan hilangnya nyawa presiden dan wakil presiden.

Begitu halnya ketika kepala negara atau wakil kepala negara masih tetap memerintah, tidak menjadikan hapusnya tuntutan tehadap pelaku makar. Intinya, untuk adanya makar, terletak pada adanya suatu permulaan pelaksanaan.

Mencermati terminologi delik makar sebagaimana yang telah diuraikan di atas, perbuatannya tidak selalu diwujudkan dalam bentuk perbuatan fisik atau pengerahan kekuatan senjata. Apabila ada suatu niat yang diikuti dengan permulaan pelaksanaan yang mengancam kemerdekaan pemerintah, menggulingkan pemerintah (omwenteling) ataupun bermaksud untuk memisahkan wilayah negara, telah memenuhi kualifikasi delik makar.

Hal itu merupakan pengejewantahan adagium felonia implicatur in quolibet proditione, yang menunjukkan delik makar sebagai tindak pidana yang tergolong berat. Oleh karenanya, rumusan delik makar pada hakikatnya merupakan kepentingan dari negara yang harus dilindungi hukum pidana dari perbuatan yang hendak memerkosanya.

Merujuk ketentuan Pasal 87, 104, 106, dan Pasal 107 KUHP, setidaknya delik makar dapat dibagi dalam tiga kategori. Pertama, makar terhadap presiden dan wakil presiden, yang dimaksudkan untuk melindunginya dari ancaman yang dapat membunuh, merampas kemerdekaan, ataupun meniadakan kemampuannya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.

Mengingat delik makar sebagai delik percobaan tidak lengkap, maka ancaman terhadap nyawa, kemerdekaan, ataupun kemampuan presiden dan wakil presiden sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 104 KUHP tidak harus dalam bentuk ancaman secara fisik dengan mengacung-acungkan senjata. Akan tetapi, dapat pula berupa perbuatan-perbuatan yang dimaksudkan untuk itu.

Kedua, makar terhadap keutuh­an wilayah NKRI yang dimaksudkan melindungi keutuhan negara dari perbuatan-perbuatan yang dapat menjadikan seluruh atau sebagian wilayah jatuh ke tangan musuh ataupun memisahkan sebagian wilayah NKRI.

Oleh karenanya, ketika ada perbuatan sementara pihak yang mencoba dan mengancam keutuh­an wilayah NKRI dapat dituduh telah melakukan delik makar, yang memenuhi unsur utama (bestanddelen delict) dari Pasal 106 KUHP.

Ketiga, makar terhadap pemerintahan. Berbeda dengan ketentuan Pasal 104 KUHP, rumusan delik makar terhadap pemerintahan ini tertuju pada perbuatan-perbuatan yang ingin menggulingkan pemerintahan. Itu menunjukkan bahwa delik makar sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 107 KUHP tertuju pada pemerintah sebagai suatu institusi kenegaraan, dengan maksud untuk melindunginya dari perbuatan-perbuatan yang akan menggulingkannya.

Di samping itu, Buku II Bab I KUHP juga memuat rumusan pasal-pasal yang terkait dengan ancaman fisik dan pengerahan senjata. Dengan tujuan utamanya untuk melawan atau menggulingkan pemerintahan yang sah. Adapun rumusan delik makar dimaksud, antara lain delik sabotase dan delik pemberontakan (opstan).

Praktik Empiris Penegakan  Hukum

Dalam praktik penegakan hukum di Indonesia, penerapan pasal-pasal makar yang terjadi pada masa pemerintahan Soekarno disangkakan terhadap Daniel Maukar, yang mengendarai pesawat tempur sendiri menyerang Istana Negara.

Atas perbuat­annnya itu, Daniel Maukar diadili atas tindakan makar terhadap negara dan presiden yang dijatuhi dengan hukuman mati, meski akhirnya diampuni dan hanya menjalani pidana penjara selama 8 tahun.

Sementara itu, pada saat pemerintahan Orde Baru, penerapan delik makar dengan menggunakan Penetapan Presiden No 11 Tahun 1963 jo UU No 5 Tahun 1969 tentang Pemberantasan Subversi. Namun seiring dengan perubahan kehidupan berkebangsaan, kemudian Undang-Undang Pemberantasan Subversi dicabut melalui Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1999 tentang Antisubversi.

Setelah dicabutnya Undang-Undang Pemberantasan Subversi, maka pada saat reformasi kembali menggunakan pasal-pasal makar yang terdapat dalam KUHP. Setidaknya terdapat beberapa perkara makar sebagaimana di­atur dalam KUHP, antara lain dalam perkara atas nama terpidana Obeth Kosay, Teobaga Kilungga, Wombi Tabuni, Wiki Meaga, Pdt Ali Jikwa, dan Meki Tabuni, yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana makar secara bersama-sama sebagaimana di­atur pada pasal 106 KUHP.

Oleh karenanya, putusan Pengadilan Negeri Wamena Nomor 38/Pid.B/2011/PN.Wmn tanggal 10 Agustus 2011 telah memvonis tiap-tiap terdakwa dengan pidana penjara selama 8 tahun. Dalam perkara a quo, Majelis Hakim memandang bahwa niat dan permulaan pelaksanaan telah ada yang diwujudkan dalam pembentukan Tim 1000 TPM/OPM pimpinan Dani Tani Tabuni yang bertujuan ke Jakarta guna bertemu presiden untuk meminta merdeka dan memisahkan diri dari NKRI.

Perkara delik makar lainnya di­terapkan terhadap warga negara Polandia, Jakub Fabian Skrzypski, yang menjadi warga asing pertama yang mendapat dihukum dan dipenjara di Papua. Pada 2 Mei 2019, Majelis Hakim PN Wamena, menjatuhkan vonis pidana terhadap Jakub Fabian Skrzypski selama 5 tahun penjara karena telah melanggar Pasal 106 KUHP.

Majelis Hakim memandang Jakub memiliki niat melakukan kampanye untuk Papua Merdeka serta telah melakukan percakapan melalui internet dengan aktivis Komite Nasional Papua Barat Simon Magal, yang dianggap sebagai permulaan pelaksanaan makar.

Kesimpulan

Mencermati konsepsi teoretis dan pertimbangan Majelis Hakim serta praktik penegakan hukum, maka dapat disimpulkan sebagai berikut ini: (a) Delik makar sebagai bagian dari kejahatan terhadap keamanan negara yang diatur dalam Pasal 87 KUHP, 104 KUHP, 106 KUHP, dan 107 KUHP. Itu merupakan delik percobaan yang tidak lengkap terkait dengan keamanan negara yang menyangkut keselamatan presiden dan wakil presiden, me­rongrong terhadap pemerintahan yang sah dan kedaulatan wilayah negara; (b) Berbeda halnya dengan delik percobaan yang diatur dalam Pasal 53 KUHP, delik makar telah terjadi (voltooid) apabila memenuhi unsur utama (bestanddelen delict), berupa niat dan perbuatan pelaksanaan sehingga merupakan delik formal yang tidak mensyaratkan terjadinya akibat berupa terganggu atau tergulingnya pemerintahan yang sah; (c) Delik makar tidak semata-mata berbentuk serangan fisik atau pengerahan kekuatan senjata, tetapi juga dapat berupa ancaman keberlangsungan pemerintahan dan kedaulatan negara sebagai implementasi dari fungsi hukum pidana sebagai primum remedium untuk melindungi kepentingan hukum masyarakat (sociale belangen) dan kepentingan hukum negara (staat belangen).

Oleh:

Asep N Mulyana

Tenaga Pengajar Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia

Opini Media Indonesia, 28 Mei 2019

You may also like...