Dilema Demokrasi Pemilihan (Catatan Kritis Pemilihan Gubernur Oleh DPRD dalam RUU Pemilukada)

Usulan pemerintah untuk mengembalikan mekanisme pemilihan Gubernur ke DPRD (tidak lagi secara langsung oleh rakyat) dalam draft Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum Kepala Daerah (RUU Pemilukada) perlu didiskusikan secara demokratis. Utamanya menyangkut beragam alasan yang mendasari usulan tersebut yang secara logis dan obyektif patut untuk diperdebatkan. Diantaranya terbatasnya kewenangan gubernur, sehingga tugas-tugas Gubernur dipandang relatif mudah. Karena dalam desain UU No 32/2004 (sebagaimana telah dirubah dengan UU No 12/2008) tentang Pemda, Gubernur merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah pusat. Sementara kewenangan lebih banyak diberikan pada Bupati-Walikota (kabupaten/kota).

Masalah lainnya adalah soal biaya pemilihan Gubernur secara langsung yang dinilai terlalu mahal sementara kewenangan Gubernur terbatas. Tingginya mobilisasi uang, disamping mobilisasi massa selama proses tahapan Pemilukada berlangsung, telah memicu pelanggaran Pemilukada berupa tingginya praktek money politic. Menurut KPU, antara tahun 2010 hingga 2014, Pemilukada bisa menelan biaya hingga Rp 15  triliun. Angka yang sangat fantastis sekaligus kontradiktif ditengah kondisi ekonomi Negara yang masih seret.

Jumlah tersebut baru dari pemerintah. Belum termasuk pengeluaran biaya para kandidat yang ikut berlaga. Meliputi biaya tim sukses, kampanye, dan lain-lain, tidak sedikit yang menembus angka milyaran rupiah. Sehingga tidak jarang kandidat mengadakan “kontrak haram” dengan donator (umumnya dari kalangan pebisnis dan pengusaha) untuk membantu menyokong biaya kampanye dengan iming-iming diberikan kemudahan operasi jika kelak nanti terpilih.

Kondisi ini diperparah dengan kecenderungan kandidat yang menang akan melakukan korupsi untuk mengganti biaya yang keluar selama kampanye. Hal ini dibuktikan dengan keluhan Mendagri Gamawan Fausi beberapa waktu lalu bahwa pihaknya terus menerus mendapatkan laporan permintaan izin pemeriksaan terhadap kepala daerah karena kasus korupsi.

Data dari Depdagri menunjukan bahwa dari 524 daerah, terdapat 158 daerah yang kepala daerahnya telah dikeluarkan izin pemeriksaannya, dan jumlah itu berpotensi akan terus bertambah. Diantara kepala daerah itu ada yang masih berstatus tersangka, terdakwa dan bahkan ada yang sudah vonis alias terpidana. Jelas hal ini telah menghambat jalannya pemerintahan di daerah yang bersangkutan.

Dengan demikian menurut opsi ini, bila pemilihan Gubernur lewat DPRD, maka akan menghemat biaya secara signifikan. Sekaligus menghindarkan para kandidat dari peluang korupsi kelak jika terpilih. Diantaranya pemangkasan biaya-biaya kebutuhan kampanye dan pemungutan suara. Termasuk logistik dan honor petugas. Dan yang utama, meminimalisir (dan kalau bisa) menghilangkan praktek politik uang (money politic) yang selama ini menjadi racun-candu sekaligus pembodohan demokrasi.

Sehaluan dengan hal tersebut, feodalisme politik lokal yang berpadu dengan politik clientalism dan patronisme telah menghambat upaya pencerdasan-kesadaran politik masyarakat. Banyak pasangan calon yang tampil selalu membawa gerbong keluarga, sehingga menumbuhkan dan menguatkan eksistensi dinasi-dinasti lokal. Bisa dibuktikan dengan kasus di beberapa daerah yang pengalihan jabatan politik (Bupati) berada di lingkaran keluarga; isteri, anak, menantu, dan kerabat lainnya. Hal ini menyebabkan putusnya peluang-hak warga Negara yang lain untuk ikut mencalonkan diri.

Kemudian, besarnya potensi konflik dalam Pemilukada juga menjadi alasan utama. Sangat ironis memang ketika konflik, baik ditingkat akar rumput (grass root) maupun konflik di tingkat elit, selalu terjadi dalam setiap momen pemilihan. Dan umumnya yang menjadi korban adalah masyarakat awam yang kesadaran politiknya masih “hijau”.

Rendahnya tingkat kesadaran politik elit dan massa pendukung menjadikan pesta demokrasi selalu berdarah-darah. Gesekan massa antar pendukung pasangan calon kerap terjadi, mulai dari proses kampanye, hingga pada putusan KPU tentang pasangan calon pemenang Pemilukada masih sering terjadi.  KPU sebagai lembaga penyelenggara Pemilukada juga tidak jarang menjadi sasaran amuk massa yang tidak puas dengan hasil pemilihan. Dengan mengusung beragam alasan; politik uang, independensi KPU, dan beragam alasan lainnya. Miris kita mendengar ada kantor KPU yang dibakar massa. Anggota KPU yang sampai lari sembunyi di hutan karena diteror sampai polisi pun harus turun tangan. Bahkan Mahkamah Konstitusi selaku lembaga tinggi Negara yang berwenang memutus hasil Pemilukada pun sering diintervensi melalui aksi demonstrasi. Demokrasi ahirnya hanya menjadi democrazy ketika  simbol-simbol Negara tidak dihargai.

Peluang diJudicial Review

Secara kritis, beragam masalah tersebut cukup logis dan obyektif sebagai alasan pengusulan mekanisme pemilihan Gubernur oleh DPRD, tidak lagi melalui pemilihan langsung oleh rakyat. Namun walupun logis dan obyektif, bukan berarti semua alasan tersebut lantas diterima mentah-mentah. Perlu dikaji dan diperdebatkan secara akademik agar demokrasi pemilihan tidak sekedar menjadi ajang transaksi elit.

Masalahnya adalah, jika pertanyaannya manakah yang lebih demokratis, apakah Gubernur dipilih langsung oleh rakyat, atau dipilih oleh DPRD? Maka bisa jadi jawabannya adalah sama-sama demokratis. Karena sistem demokrasi tidak hanya mengenal demokrasi langsung, tetapi juga demokrasi perwakilan. Namun jika menelisik teori pure demokrasi, bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (from, by and for people) maka jelas demokrasi langsung adalah sistem terbaik. Karena melibatkan masyarakat secara keseluruhan dalam menggunakan hak pilih, termasuk hak untuk dipilih. Dalam konteks ini, doktrin bahwa “demokrasi adalah aspirasi mayoritas” adalah benar adanya.

Selain itu, visi untuk membangun masyarakat yang sadar dan tertib politik juga akan terhambat dengan berlakunya klausul tersebut. Jika Gubernur dipilih melalui DPRD, maka konsekuensi yang akan terjadi, hubungan antara Gubernur sebagai abdi dan rakyat sebagai pihak yang dilayani akan renggang. Rakyat tidak terlalu merasa terikat untuk taat dan patuh kepada apa yang diperintahkan oleh Gubernur. Rakyat lebih “takut” dan “hormat” pada Bupati-Walikota karena dipilih langsung, ketimbang dengan Gubernur. Secara berseloroh, rakyat akan mengatakan “anda kan wakil pemerintah pusat, bukan wakil kami!”

Kemudian, kalaupun toh nanti akhirnya draft tersebut kemudian disetujui dan RUU Pemda disahkan, dengan salah satu klausulnya adalah beralihnya mekanisme pemilihan Gubernur dari pemilihan langsung oleh rakyat menjadi pemilihan oleh DPRD, maka pemerintah bisa dianggap melakukan pelanggaran konstitusional. Terkait penegakan HAM, khususnya pemenuhan hak sipil-politik masyarakat yang sudah dijamin oleh konstitusi (28 UUD 1945) dan UU No 12 Tahun 2005 tentang ratifikasi International Covenan on Civil and Political Rights (ICCPR) atau konvensi internasional tentang hak sipil-politik. Dalam Pasal 25 undang-undang tersebut secara tegas memuat ketentuan tentang “hak untuk berpartisipasi dalam politik, termasuk hak untuk memilih, dipilih dan hak untuk tidak memilih”. Hal ini jelas berseberangan dengan ketentuan tentang pemilihan Gubernur oleh DPRD.

Selain itu, ketentuan itu juga berlawanan dengan makna kedaulatan rakyat sebagaimana tertulis dalam Pasal 2 UUD 1945 bahwa “kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”. Konteks pasal ini jelas, bahwa rakyat sebagai pemegang kedaulatan dalam sebuah Negara yang mengklaim diri sebagai demokratis. Dalam Negara demokratis, rakyat memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak dan kewajiban secara penuh memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan guna mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat. Juga, kata rakyat mewakili person, bukan community. Sehingga model pemilihannya adalah one man one vote.

Justeru, adanya ketentuan ini membuka peluang judicial review pasal tentang pemilihan Gubernur oleh DPRD melalui uji materi di Mahkamah Konstitusi dengan alasan utama pelanggaran Pasal 28 UUD 1945 tentang hak asasi manusia. Dan tidak menutup kemungkinan, bahkan “hampir bisa dipastikan” MK akan mengabulkan permohonan uji materi tersebut. Dengan pertimbangan, kasus serupa mirip dengan Permohonan Pengujian Undang-Undang (PUU) UU No 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, yang diputus MK pada tahun 2009 lalu yang membolehkan penggunaan KTP, KK dan Pasport untuk digunakan sebagai kartu pemilih dalam Pemilu Presiden (Pilpres) 2009 lalu. Hal tersebut merupakan bukti dari jaminan perlindungan terhadap konsep hak asasi manusia, khususnya hak sipil-politik yang dijamin dalam konstitusi namun dibatasi hanya karena carut marut persoalan DPT pada Pemilu Legislatif (Pileg) 2009 lalu.

Nah bagaimana pemerintah mempertanggungjawabkan segala sesuatunya; wibawa, kredebilitas, termasuk biaya yang sudah dikeluarkan terkait draft tersebut, jika toh nantinya ketentuan tersebut hanya bisa bertahan seumur jagung, jika MK mengabulkan permohonan PUU yang diajukan tepat setelah draft RUU Pemda disahkan menjadi UU Pemda yang baru?

 

Tulisan ini juga dimuat di Majalah Konstitusi edisi Februari 2011, diterbitkan oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

 

 

 


[1]  Bekerja sebagai peneliti pada Pusat Kajian Konstitusi (PKK) Unhas

Wiwin Suwandi, S.H., M.H.

Advokat, Pegiat Tata Negara dan Antikorupsi di ACC Sulawesi

You may also like...