Dilema Menjerat Prostitusi Online

Wacana tentang prostitusi kembali menyeruak, meskipun sebenarnya prostitusi adalah cerita lama. Namun menjadi menarik karena metodenya disesuaikan dengan perkembangan teknologi dan kembali melibatkan kalangan artis sebagai “penyedia jasanya”. Prostitusi online menjadi wahana baru untuk mempromosikan bagi para konsumen lelaki berhidung belang. Kisah terbunuhnya pekerja seks online Tata Chubby dan merebaknya isu artis sebagai penyedia jasa seksual menjadi kisah pembuka tentang tema prostitusi online di tahun ini.

Ada “tanya” tersirat; mengapa prostitusi dapat hidup dan beradaptasi sesuai dengan perkembangan zaman? Padahal prostitusi adalah “kegiatan haram” yang dikutuk oleh budaya timur kita. Pranata hukum sepertinya tertatih membendung derasnya arus prostitusi.

Sumber gambar: tsquirrel.com

Sumber gambar: tsquirrel.com

Prostitusi Online

Media sosial menjadi tempat alternatif marketing untuk menggaet konsumen lelaki keranjang sampah kendati kerap pula digunakan untuk menggaet konsumen kelas kakap dengan menggunakan gerakan “bawah tanah”. Promosi prostitusi dalam bentuk tulisan maupun gambar dapat dikategorikan sebagai informasi elektronik yang bermuatan melanggar kesusilaan.

Perbuatan promosi prostitusi online ini dapat dijerat melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE), Pasal 27 ayat 1 UUITE menegaskan “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan

Ketentuan ini tidak menjelaskan secara detail apa yang dimaksud dengan “muatan yang melanggar kesusilaan”. Namun promosi prostitusi online adalah hal yang melanggar kesusilaan dan kepatutan. Sehingga mengacu pada ketentuan ini maka siapapun yang membuat status, menyediakan link atau meng-upload informasi elektronik berupa tulisan, gambar, audio atau video mengenai promosi prostitusi maka dapat dijerat tindak pidana Pasal 45 juncto Pasal 27 ayat 1 UUITE.

Penegak hukum jika serius ingin memusnahkan segala bentuk prostitusi online kiranya dapat menerapkan pasal dalam UU ITE. Dengan kewenangannya para penegak hukum dapat meminta untuk dilakukan pemblokiran terhadap media sosial atau situs prostitusi online.

Metode Menjerat

Skema prostitusi setidaknya melibatkan tiga pihak yaitu Mucikari, Wanita Penyedia Jasa dan Lelaki “penikmat” Jasa. Karenanya untuk memberantas prostitusi, hukum harus memberikan perhatian kepada ketiga pihak ini.

Kondisi kekinian, hanya memungkinkan mucikari, lebih mudah dijerat dan memiliki sanksi pidana yang cukup menjerakan. Sementara untuk wanita penyedia jasa dan lelaki “penikmat” yang sama-sama dewasa masih sulit dijerat dengan menggunakan hukum pidana. Kecuali jika wanita penyedia jasanya kategori anak maka dapat dijerat dijerat si penikmat.

Jaring hukum yang dapat menjerat pihak yang terlibat dalam prostitusi hanya dapat terjerat dalam beberapa peristiwa hukum. Diantaranya: Pertama, Mucikari atau Germo, adalah orang yang menyediakan wanita penyedia jasa dalam prostitusi. Mayoritas penegak hukum menggunakan Pasal 296 KUHPidana untuk menyeret para mucikari ini. Pasal 296 menegaskan “barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.”

Sesungguhnya ketentuan di atas tidaklah memberikan efek jera karena sanksi pidana yang cukup ringan. Sehingga Penegak hukum dapat menggunakan ketentuan yang lebih khusus untuk memberikan efek jera melalui UU No 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang. Dalam UU a quo Pasal 2 menegaskan “Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).”

Kedua, untuk penyedia jasa dan penikmat yang sudah dewasa tidak dapat begitu saja dijerat oleh hukum. Pasal KUHPidana 284 menegaskan “(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan: 1.a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya, 1.b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya; 2.a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin; 2.b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya. (2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga.”

Berdasarkan ketentuan a quo syarat untuk menjerat keduanya: salah satunya harus terikat atau mengetahui ada ikatan perkawinan; harus ada aduan dari suami wanita penyedia jasa atau istri dari lelaki penikmat jasa; dapat dibuktikan terjadi hubungan suami istri antara penyedia dan penikmat jasa. Inilah dilema prostitusi karena syarat-syarat yang cukup menyulitkan untuk menjerat lelaki hidung belang penikmat jasa seks dan wanita penyedia jasa seks. Perbuatan keduanya baru dapat diproses oleh penegak hukum jika istrinya yang datang mengadukan perbuatannya ke polisi. Tentu pengaduan pasangan sangat sulit mengingat si hidung belang selalu berselingkuh tersamar dan tersembunyi. Pun jika istri mengetahui, biasanya “takut” untuk melaporkan sendiri suaminya.

Ketiga, jika wanita penyedia jasanya masih dibawah umur maka lelaki penikmat jasa terjerat dengan pidana dalam UU Perlindungan Anak, meskipun tidak ada pengaduan dari istrinya. Tindak pidana dalam UU Perlindungan Anak adalah delik biasa, bukan delik aduan seperti Pasal 284 KUHPidana.

Maksim lex reformanda menghendaki “hukum tidak boleh tertatih mengejar ketertinggalan zaman” sementara prostistusi sudah bermetamorfosa melebur sesuai bentuk zamannya. Prostitusi ditolak oleh adat ketimuran kita, namun “dilegalkan” oleh KUHPidana yang bercita rasa budaya barat. Sudah saatnya RUU KUHP dimasa yang akan datang “mengharamkan” praktik prostitusi dengan kaidah dan sanksi yang menjerakan.*

Muhammad Nursal Ns

Praktisi Hukum Makassar

You may also like...