Eksistensi Anak Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Judicial Review Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Akhirnya, majelis Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Pasal 43 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan inkonstitusional bersyarat. Pasal ini diuji oleh artis dangdut Machica Mochtar. Dia mempersoalkan Pasal 43 ayat (1) yang mengatur bahwa status anak luar kawin hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya.

Dalam amar putusannya, Mahkamah menyatakan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan dengan laki-laki yang dapat dibuktikan ilmu pengetahuan dan teknologi dan atau alat bukti lain ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.

“Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga pasal itu harus dibaca, ‘anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya’,” kata Ketua Majelis MK, Moh Mahfud MD saat membacakan putusan. Berangkat dari putusan MK diatas maka saya mencoba membahas mengenai “Nasab anak luar Nikah perspektif Hukum Islam dan Hukum Perkawinan Nasional”. 

Pendahuluan

Keberadaan anak dalam keluarga merupakan sesuatu yang sangat berarti. Anak  memiliki arti yang berbeda-beda bagi setiap orang. Anak merupakan penyambung  keturunan, sebagai investasi masa depan, dan anak merupakan harapan untuk menjadi sandaran di kala usia lanjut. Ia dianggap sebagai modal untuk meninggkatkan peringkat hidup sehingga dapat mengontrol status social orang tua.

Anak merupakan pemegang keistimewaan orang tua, waktu orang tua masih  hidup, anak sebagai penenang dan sewaktu orang tua telah meninggal, anak adalah lambang penerus dan lambang keabadian. Anak mewarisi tanda-tanda kesamaan dengan  orang tuanya, termasuk ciri khas, baik maupun buruk, tinggi, maupun rendah. Anak adalah belahan jiwa dan potongan daging orang tuanya. Begitu  pentingnya eksistensi anak dalam kehidupan manusia, maka Allah SWT  mensyari’atkan adanya perkawinan.Pensyari’atan perkawinan memiliki tujuan antara lain untuk berketurunan (memiliki anak) yang baik, memelihara nasab, menghindarkan diri dari  penyakit dan menciptakan kaluarga yang sakinah.

Sebagaimana Firman ALLAH SWT.,dalam surat al-Rum ayat 21:

“Dan diantara tanda-tanda kekuasaannya adalah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendri supaya kamu cendrung dan merasa tentram kepdanya, dan  dijadikannya diantara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikin itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”

Oleh karena itu agama Islam melarang perzinaan. Hukum Islam memberi sanksi yang berat terhadap perbuatan zina. Karena zina dapat mengakibatkan ketidakjelasan keturunan. Sehingga ketika lahir anak sebagai akibat dari perbuatan zina, maka akan ada keraguan tentang siapa bapaknya. Dengan adanya perkawinan setiap anak yang lahir dari  tempat tidur suami, mutlak menjadi anak dari suami itu, tanpa memerlukan pengakuannya darinya. Hal ini diungkapkan dalam al-Qur’an surat al-Isra’ : 32:

Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan keji. Dan suatu jalan yang buruk”.

Hadist Nabi, dari Abu Hurairah r.a. berkata : Rasulullah SAW bersabda :  “Anak itu adalah untuk pemilik  tilam dan bagi pezina adalah hukuman rajam”

Pergaulan bebas antara muda-mudi yang banyak terjadi sekarang ini, seringkali membawa kepada hal-hal yang negatif yang tidak dikehendaki, seperti hubungan sex luar nikah dan hamil luar nikah.  Hal ini disebabkan oleh adanya pergesekan budaya, sehingga pada saat ini menggejala dimasyarakat adanya hidup bersama antara seorang pria dan wanita tanpa adanya ikatan perkawinan.  Anak yang lahir di luar nikah mendapatkan julukan dalam masyarakat sebagai anak haram, hal ini menimbulkan gangguan psikologis bagi anak, walaupun secara hukum anak tersebut tidak mempunyai akibat hukum dari perbuatan orang tuanya, namun banyak persoalan yang muncul akibat hamil luar nikah tersebut, seperti hubungan nasab antara anak dengan bapak biologisnya, dan lain sebagainya dari berbagai perspektif hukum.

Nasab Dalam Hukum Islam.

Nasab dalam doktrinal Islam merupakan sesuatu yang sangat penting, hal ini  dapat dilihat dalan sejarah Islam, ketika Nabi Muhammad SAW mengangkat seorang anak yang bernama Zaid bin Haritsah. Kemudian oleh orang-orang dinasabkan kepada  Nabi, mendapatkan keteguran dari Allah SWT.  Dalam al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 4-5 yang mengatur: Allah sekali-sekali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam  rongganya; dan dia tidak menjadikan isteri-isterimu yang kamu dzibar itu sebagai ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak-anak kandungmua  (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulut saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya. Dan dia  menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka maka (panggillah) mereka sebagai) saudara-sauadaramu seagama  dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf kepadanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah maha pengampun lagi maha penyayang”.

 Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa anak angkat tidak dapat menjadi anak kandung, ini dipahami dari lafaz wa maja‟ala ad‟iya-akum abna-akum. Dan kemudian dijelaskan bahwa anak angkat tetap dinasabkan kepada ayah kandungnya, bukan kepada bapak angkatnya. Ini dipahami dari lafaz ud‟u-hum li abaihim Dalam sebuah hadist Nabi Muhammad SAW bersabda: “barang siapa menisbahkan dirinya kepada selain ayah kandungnya padahal ia mengetahui bahwa itu bukanlah ayah kandungnya, maka diharamkan baginya surga” Dalam hadist di  atas dijelaskan bahwa, seseorang tidak boleh menasabkan dirinya kepada selain ayah kandunganya, apabila ia tahu siapa ayahnya. Hal ini dipahami dari lafaz fal jannatu „alaihi haramum. Orang tidak boleh masuk surga adalah orang yang berdosa. Jadi apabila seseorang menasabkan dirinya kepada selain ayah kandungnya, sedangkan dia tahu bahwa itu bukan ayahnya maka dia termasuk orang yang berdosa. Nasab merupakan nikmat yang palingh besar yang diturunkan oleh Allah SWT kepada hamba-Nya, sebagaimana firman dalam surat al-Furqan ayat 54 yang berbunyi: “Dan dia pula yang menciptakan manusia dari air, lalu dia jadikan manusia itu (punya) keturunan mushaharah (hubungan kekeluargaan yang berasal dari perkawinan) dan adalah tuhanmu yang maha kuasa.

Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa nasab merupakan sesuatu nikamat yang  berasal dari allah. Hal ini dipahami dari lafaz fa ja‟alahu nasabaa. Dan nasab juga merupakan salah satu dari lima maqasid al-syariah.

Pengertian nasab 

Istilah nasab secara bahasa diartikan dengan kerabat, keturunan atau menetapkan keturanan Sedangkan menurut istilah ada beberpa definisi tentang nasab, diantaranya yaitu :

  1. nasab adalah keturunan ahli waris atau keluarga yang berhak menerima harta warisan karena adanya pertalian darah atau keturunan.
  2. Nasab adalah pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah sebagai salah satu akibat dari perkawinan yang sah. Dan nasab merupakan salah satu fondasi yang kokoh dalam membinan suatu kehidupan rumah  tangga yang bisa mengikat pribadi berdasarkan kesatuan darah.
  3. Sedangkan menurut Wahbah al-Zuhaili nasab didefinisikan sebagai suatu sandaran yang kokoh untuk meletakkan suatu hubungan kekeluargaan berdasarkan  kesatuan darah atau pertibangan bahwa yang satu adalah bagian dari yang lain. Misalnya seorang anak adalah bagian dari ayahnya, dan seorang ayah adalah bagian dari kakeknya. Dengan demikian orang-orang yang serumpun nasab adalah orang-orang yang satu pertalian darah.
  4. Sedangkan menurut Ibn Arabi nasab didefinisikan sebaga ibarat dari hasil percampuran air antara seorang laki-laki dengan seorang wanita menurut keturunan-keturunan syar’i.

Dari beberapa definisi tentang nasab di atas dapat diambil kesimpulan bahwa nasab adalah legalitas hubungan kekeluargaan yang berdasarkan tali darah, sebagai salah satu akibat dari pernikahan yang sah, atau nikah fasid, atau senggama subhat. Nasab merupakan sebuah pengakuan syara’ bagi hubungan seorang anak dengan garis keturunan ayahnya sehingga dengan itu anak tersebut menjadi salah seorang anggota keluarga dari keturunan itu dan dengan demikian anak itu berhak mendapatkan hak-hak sebagai akibat adanya hubungan nasab.

Dasar-dasar nasab menurut fiqh Islam

Para ulama sepakat bahwa nasab seseorang kepada ibunya terjadi disebabkan karena kehamilan disebabkan karena adanya hubungan seksual yang dilakukan dengan seorang laki-laki, baik hubungan itu dilakukan berdasarkan akad nikah maupun melalui perzinaan. Adapun dasar-dasar tetapnya nasab dari seorang anak kepada bapaknya, bisa  terjadi dikarenakan oleh beberapa hal yaitu :

Melalui pernikahan yang sah

Para ulama fiqh sepakat bahwa para wanita yang bersuami dengan akad yang sah apabila melahirkan maka anaknya itu dinasabkan kepada suaminya itu. Mereka berdasarkan pendapat tersebut antara lain pada hadist :

 anak-anak yang dilahirkan adalah untuk laki-laki yang punya isteri (yang melahirkan anak itu ) dan bagi pezina adalah rajam”.

  Anak yang dilahirkan itu dinasabkan kepada suami ibu yang melahirkan dengan syarat antara lain :

Menurut kalangan hanafiyah

Anak itu dilahirkan enam bulan setelah Perkawinan. Dan jumhur ulama menambahkan dengan syarat suami isteri itu telah melakukan senggama. Jika kelahiran itu kurang dari enam bulan, maka anak itu dapat dinasabkan kepada suami si wanita. Batasan enam bulan ini didasarkan pada kesepakatan para ulama, bahwa masa minimal kehamilan adalah enam bulan. Kesimpulan ini mereka ambil dari pemahaman beberapa ayat al-Qur’an, di antaranya fiirman Allah SWT dalam surat al-Ahqaf ayat 15 yang berbunyi: Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkan dengan susah payah pula, mengandung sampai menyapihnya adalah selama tiga puluh bulan sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo‟a : ya Tuhanku , tunjukilah aku  untuk mensyukuri nikmat engkau yang telah  engau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya akau dapat berbuat amal sholeh yang engkau ridhai; berikanlah kebaikan kepadaku denagan memberikan kebaikan kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada engkau dan sesungguhnya ajau termasuk orang-orang yang berserah diri.

Dan firman Allah SWT dalam surat Luqman ayat 4 yang berbunyi: Dan kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya selama dua tahun”

Dalam surat al-Ahqaf ayat dijelaskan  bahwa masa kehamilan dan menyusui adalah 30 bulan, tanpa ada perincian berapa masa menyusui dan berpa masa kehamilan. Surat luqman ayat 14 menjelaskan masa menyusuai adalah 2 tahun atau 24 (dua puluh empat)  bulan. Dari ini dapat dipahami masa minimal kehamilan adalah enam bulan. Pada masa Khalifah Usman Bin Affan pernah terjadi suatu peristiwa seorang wanita setelah enam bulan menikah, dia melahirkan. Suaminya merasa curiga dan melapor kepada Usman bin Affan. Dan Usaman bin Affan berencana merajamnya, karena diduga si wanita telah melakukan perzinahan dengan laki-laki lain. Masalahnya ini diketahui oleh Ibnu Abbas, kemudian dia berkata : “sesungguhnya jika wanita ini membela dirinya dengan memakai kitab allah (al-Qur’an), niscaya kalian akan terkalahkan”. Kemudian Ibnu Abbas menyampaikan ayat di atas dengan menyimpulkannya bahwa masa minimal kehamilan bagi seorang wanita adala enam bulan.

  1. Laki-laki yang menjadi suami wanita tersebut haruslah seseorang yang memungkinkan memberikan berketurunan, yang menurut kesepakatan ulama adalah laki-laki  yang sudah baligh. Oleh karena itu, anak yang dilahitkan oleh seorang wanita dengan suami yang masih kecil, yang menurut kebiasaan belum bisa berketurunan, atau yang tidak bisa melakukan senggama tidak bisa dinasabkan kepada suaminya, meskipun anak itu lahir setelah enam bulan dari perkawinan.
  2. Suami isteri pernah bertemu minimal satu kali setelah akad nikah. Hal ini disepakati oleh  ulama. Namun mereka berbeda dalam mengartikan kemungkinan bertemu, apakah pertemuan tersebut bersifat lahiriyah atau bersifat perkiraan. Ulama hanafiyah berpendapat bahwa pertemuan berdasarkan perkiraan menurut logika bisa terjadi. Oleh sebab itu,  apabila wanita itu hamil selama enam bulan sejak ia diperkirakan bertemu dengan suaminya, maka anak yang lahir dari kandungannya itu dinasabkan kepada suaminya. Namun argumentasi ini ditolah oleh jumhhur ulama.

 Nasab yang ditetapkan melalui pernikahan fasid

Pernikahan fasid adalah pernikahan yang dilangsungkan dalam keadaan cacat syarat sahnya. Misalnya menikahi wanita yang masih dalam masa iddah. Menurut kesepakatan ulama fdiqh penetapan nasab anak yang lahir dalam pernikahan fasid sama dengan penetapan nasab anak dalam pernikahan yang sah. Akan tetapi ulama fiqh mengemukakan tiga syarat dalam penetapan nasab anak anak dalam pernikaha fasid tersebut :

  1. suami punya kemampuan menjadikan isterinya hamil, yaitu seorang yang baligh dan tidak memiliki satu penyakit yang bisa menyebabkan isterinya tidak hamil.
  2. hubungan senggama bisa dilaksakan.
  3. anak dilahirkan dalam waktu enam bulan atau lebih setelah terjadinya akad fasid (menurut jumhur ulama) dan sejak hubungan senggama (menurut ulama hanafiyah).

Apabila anak itu lahir sebelum waktu enam bulan setelah akad nikah atau melakukan hubungan senggama, maka anak itu tidak bisa dinasabkan kepada suami wanita tersebut. Apabila anak lahir setelah pasangan suami isteri melakukan senggama dan berpisah, dan anak itu lahir sebelum masa maksimal masa kehamilan, maka anak itu dinasabkan kepada suami wanita tersebut. Namun jika anak itu lahir setelah masa maksimal kehamilan, maka anak itu tidak bisa dinasabkan kepada suami wanita tersebut.

Nasab yang disebabkan karena senggama subhat

Senggama subhat maksudnya terjadinya hubungan seksual antara seorang laki-laki dengan seorang wanita yang dalam keyakinannya adalah isterinya. Nasab disini menjadi diakui bukan karena terjadinya pernikahan yang sah dan bukan pula karena adanya senggama dalam akad nikah yang fasid dan bukan pula dari perbutana zina, tetapi karena telah terjadi kesalahdugaan. Misalnya; dalam keadaan malam yang gelap seorang laki-laki menyenggamai seorang wanita didalam kamarnya yang menurut keyakinannya adalah isterinya. Dalam kasus seperti ini jika wanita itu hamil dam melahirkan setelah enam bulan sejak terjadinya senggama subhat dan sebelum masa maksimal kehamilan, maka anak yang lahir itu dinasabkan kepada laki-laki yang menyenggamainya. Akan tetapi jika anak itu lahir setelah masa maksimal masa kehamilan maka  anak itu tidak dapat dinasabkan kepada laki-laki itu.

Status Anak Luar Nikah Menurut Hukum Islam

Mengenai status anak luar nihah, para ulama sepakat bahwa anak itu tetap punya hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Tanggung jawab atas segala keperluannya, baik materiil maupun spirituil adalah ibunya dan keluarga ibunya. Demikian pulanya dengan hak waris-mewaris. Dalam hal anak diluar nikah ini, penulis membagi ke dalam dua kategori :

Anak yang dibuahi tidak dalam pernikahan yang sah, namun dilahirkan dalam pernikahan yang sah.

Menurut Imam Malik dan imam Syafi’i, anak yang lahir setelah enam bulan dari perkawinan ibu dan bapaknya, anak itu dinasabkan kepada bapaknya. Jika anak itu dilahirkan sebelum enam bulan, maka anak itu dinasabkan kepada ibunya. Berbeda dengan pendapat itu, menurut Imam Abu Hanifah bahwa anak di luar nikah itu tetap dinasabkan kepada bapaknya sebagai anak yang sah. Perbedaan pendapat  ini disebabkan karena terjadinya perbedaan ulama dalam mengartikan lafaz fiarsy, dalam hadist nabi :  “anak itu bagi pemilik tilam dan bagi pezina adalah hukum rajam”.

Mayoritas ulama mengartikan lafadz firasy menunjukkan kepada perempuan, yang diambilkan ibarat dari tingkah iftirasy (duduk berlutut). Namun ada juga ulama yang mengartikan kepada laki-laki (bapak).

Anak yang dibuahi dan dilahirkan diluar pernikahan yang sah

Status anak diluar nikah dalam kategiri yang kedua, disamakan statusnya dengan anak zina dan anak li‟an, oleh karena itu maka mempunyai akibat hukum sebagai berikut:

  1. Tidak ada hubungan nasab dengan bapaknya. Anak itu hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya. Bapaknya tidak wajib memebrikan nafkah kepada anak itu, namun secara biologis ia tetap anaknya. Jadi hubungan yang timbul  hanyalah secara manusiawi, bukan secara hukum.
  2. Tidak ada saling mewaris dengan bapaknya, karena hubungan nasab merupakan salah satu penyebab kerwarisan.
  3. Bapak tidak dapat menjadi wali bagi anak diluar nikah. Apabila anak diluar nikah itu kebetulan seorang perempuan dan sudah dewasa lalu akan menikah, maka ia tidak berhak dinikahkan oleh bapak biologisnya.

Rahmat Hidayat, S.H. M.H

Kepala Program Studi Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo

You may also like...