Elit Suka-suka Wacanakan Penundaan Pemilu, Demi Siapa?

Sumber Gambar: zonautara.com

PADA Selasa, 22 Februari 2022, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menggelar seremoni peluncuran hari pemungutan suara Pemilu Serentak 2024. Kegiatan tersebut dimaksudkan oleh KPU sebagai bagian dari sosialisasi dan publikasi kepada masyarakat atas telah ditetapkannya hari pemungutan suara yang dilakukan secara serentak dan sekaligus untuk kali pertama model itu dilaksanakan di era reformasi.

Hal itu juga telah dituangkan dalam keputusan KPU No. 21 Tahun 2022 tentang hari dan tanggal pemungutan suara pada pemilu presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, anggota DPD, anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

Sosialisasi tersebut sekaligus sebagai langkah awal KPU untuk mewujudkan pemilu serentak yang berkualitas dan demokratis. Dengan begitu partai politik (parpol) dan mungkin bakal calon presiden, dan figur-figur lain yang ingin berkompetisi membidik kursi Dewan serta bakal calon kepala daerah dan DPD bisa fokus pada kerja-kerja politik.

Namun apa lacur, selang sehari, tepatnya pada 23 Februari 2022, publik dikejutkan dengan usulan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang juga Wakil Ketua DPR RI Muhaimin Iskandar yang menginginkan jadwal Pemilu Serentak 2024 untuk diundur satu hingga dua tahun.

Ada tiga alasan yang disodorkan pria yang kerap disapa Cak Imin. Pertama, pandemi covid-19 yang terjadi selama dua tahun belakangan ini mengakibatkan stagnasi bahkan penurunan laju perekonomian nasional. Namun, dalam beberapa waktu belakangan ini kondisi perekonomian mulai tampak ada tren perbaikan memasuki 2022.

Para pelaku bisnis baik itu UMKM, analis ekonomi dari berbagai perbankan dan masyarakat pada umumnya yang diklaim Cak Imin menginginkan momentum ini harus bisa diambil. Caranya, dengan menunda pemilu serentak yang rencananya digelar pada 14 Februari 2024.
Pemilu serentak dikhawatirkan dalam dua tahun lagi itu akan mengganggu prospek ekonomi nasional yang sudah berlangsung cukup baik ini.

Alasan kedua, transisi kekuasaan dan pemerintahan biasanya mengakibatkan ketidakpastian ekonomi sehingga pelaksanaan Pemilu 2024 dapat mengganggu suasana dan momentum perbaikan ekonomi yang sudah bagus ini. Alasan berikutnya, Pemilu 2024 dikhawatirkan bisa terjadi eksploitasi ancaman konflik.

Gayung pun bersambut. Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan menyatakan partai yang dipimpinnya setuju dengan usulan Muhaimin Iskandar. Kesetujuannya itu setelah mempertimbangkan masukan dari masyarakat. Alasan serupa, situasi pandemi covid-19 yang belum berakhir sehingga memerlukan keseriusan untuk menanganinya.

Kedua, kondisi perekonomian yang belum stabil dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 3 sampai dengan 3,5% memerlukan pemulihan untuk bangkit. Untuk itu masih butuh waktu, tidak cukup dua tahun, agar pemerintah dan masyarakat fokus terlebih dahulu dalam kegiatan ekonomi.

Usulan senapas disodorkan oleh Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto yakni tentang perpanjangan masa jabatan presiden. Menteri Koordinator Perekonomian ini mengaku menerima aspirasi dari masyarakat petani sawit saat kunjungan kerjanya di Kabupaten Siak Provinsi Riau, yang menginginkan agar ada keberlanjutan pemerintahan. Kebijakan Presiden Jokowi dinilai telah meningkatkan taraf hidup petani sawit.

Airlangga pun berjanji akan membicarakannya usulan itu dengan pemimpin parpol lain. Dalam kacamata Airlangga, aspirasi masyarakat yang dia jumpai adalah aspirasi partai.

Usul yang muncul ibarat segendang sepenarian itu tentunya tidak main-main. Apalagi, usul itu diajukan oleh tiga parpol peraih kursi di DPR. Bila diakumulasi, jumlah kursi dari tiga parpol itu mencapai 187 kursi. Adapun amendemen konstitusi dapat diagendakan dalam Sidang MPR bila diusulkan oleh 1/3 anggota MPR, yakni setara dengan 237 anggota MPR dari 575 anggota DPR dan 136 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Orkestra usulan penundaan Pemilu 2024 tersebut tidak butuh banyak waktu mendapat reaksi keras dari para akademisi, pakar hukum tata negara, aktivis prodemokrasi bahkan pimpinan parpol yang tidak sepaham dengan ‘ide nyeleneh’ dari ketiga parpol tersebut.

Mereka menilai apa yang dilontarkan tentang penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden adalah sesuatu yang dipaksakan dan inkonstitusional. Pasalnya, keduanya sudah diatur dalam UUD dan UU Pemilu dengan tegas dan jelas.

Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra mempertanyakan kepada Cak Imin soal siapa lembaga yang berwenang menunda pemilu. Bahkan Yusril khawatir munculnya konflik politik jika Pemilu 2024 ditunda.

Menurut Yusril, penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan presiden tidak bisa dilakukan sembarangan. Ketiadaan landasan hukum akan membuat krisis legitimasi yang dampaknya akan merembet kemana-mana jika diabaikan.

Usulan tersebut hanya bisa dilaksanakan dengan mengamendemen UUD. Dan itu secara etis tidak elok jika amendemen hanya dilakukan hanya untuk mengubah dua materi saja. Belum lagi pada kehidupan perpolitikan nasional ke depan akan membawa dampak yang sulit untuk diterapkan.

Yusril mengingatkan sudah ada konstitusi UUD 1945 mengamanatkan pemilu digelar 5 tahun sekali dan masa periode presiden-wakil presiden dibatasi dua kali. Apa sulitnya tinggal melaksanakannya dan kepastian bernegara akan bisa berjalan lebih tertib.

Usulan ketiga parpol tersebut sepertinya sulit diterima nalar dan menyesatkan. Secara etis juga buruk bagi pendidikan politik masyarakat. Indonesia sebagai negara hukum sudah sepatutnya mematuhi aturan konstitusi dan undang-undang yang telah ada.

Ditolak

Ibarat menanam bunga, usulan penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden tersebut layu sebelum berkembang. Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh pun dengan tegas menyampaikan ketidaksetujuan. Mereka menginginkan agar dalam bernegara ini semua pihak menghormati konstitusi dan UU yang sudah disepakati bersama. Tidak ‘semau gue’ dengan mengatasnamakan rakyat dalam berpolitik.

Pertanyaan lain juga muncul. Apakah elite parpol pengusung penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden tersebut tidak mengerti konstitusi dan mencampakkan UU Pemilu yang mereka buat sendiri? Banyak yang bilang dari situ sesungguhnya tercermin masalah integritas mereka.

Ada yang berpendapat upaya menurunkan presiden di tengah jalan adalah makar karena melanggar konstitusi. Lantas apa bedanya dengan upaya memperpanjang jabatan presiden, bukankah itu juga melanggar konstitusi. Di sisi lain, suasana kebangsaan saat ini tidak dalam kondisi darurat sebagai salah satu syarat dilakukan upaya amendemen UUD.

Sebagai pejabat negara dan pemimpin parpol, mereka seharusnya mengetahui konstitusi dan etika berpolitik. Tidak salah jika ada yang menghubungkan usulan tersebut terkandung maksud terselubung untuk kepentingan pragmatis mereka atau partainya, bahkan dengan sengaja ingin menjatuhkan kredibilitas Presiden Jokowi di tengah publik saat ini.

Tabiat politik pragmatis itu juga diduga muncul karena selama mereka tergabung dalam koalisi pemerintahan saat ini berada di zona nyaman. Banyak meneguk keuntungan ekonomi dan masalah hukum, daripada berkeringat membantu pemerintahan Jokowi.

Publik tentu juga masih ingat, manuver semacam itu pernah disampaikan oleh Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, belum lama ini. Dengan alasan dunia usaha menginginkan perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi atas nama pemulihan ekonomi pascapandemi. Hal senada sebelumnya juga pernah dilontarkan Ketua MPR Bambang Soesatyo.

Waktu itu Presiden Jokowi dengan tegas menjawab bahwa ada tiga makna di balik usulan perpanjangan masa jabatan presiden. Pertama ‘menampar muka Presiden. Kedua ingin cari muka dan yang ketiga ingin menjerumuskan Presiden.

Sikap Presiden Jokowi sudah jelas dan tegas. Hal itu dilandasi oleh pemahamannya yang dalam tentang konstitusi dan komitmennya terkait demokrasi.

Para elite kiranya sadar bahwa rakyat kian cerdas dalam membaca fenomena politik. Rakyat tidak mudah percaya begitu saja dengan orkestra para elite yang mengusung ide penundaan Pemilu 2024 dengan alasan yang dikarang-karang tadi.

Sikap elite parpol yang setuju penundaan pemilu oleh sebagian pihak dinilai juga sangat mencurigakan karena gerakannya terkonsolidasi dengan teratur. Setelah usulan penundaan Pemilu 2024 kandas diamuk massa, samar terdengar, mereka bersekongkol dengan orang kuat di pemerintahan yang mengatasnamakan Presiden Jokowi untuk mengucapkan usulan yang sulit diterima nalar, melecehkan hak politik masyarakat, dan menabrak konstitusi itu.

Isu tentang dalang di balik itu semua santer terdengar. Untuk mencegah rumor liar dan tidak bertanggung jawab itu, sebaiknya ‘orang kuat’ yang disebut-sebut sangat dekat dengan Presiden sebaiknya melakukan klarifikasi.

Tabiat elite parpol tersebut sungguh sangat disesalkan. Mereka harusnya ingat bahwa Indonesia saat ini tengah menuju ‘Indonesia Emas’ yang seharusnya ditandai oleh kehidupan berbangsa, bernegara, dan berpolitik yang konstitusional. Sebagai pemimpin para elite parpol dituntut memberikan teladan berbangsa, bernegara yang benar, tunduk konstitusi. ●

 

Oleh:

SOELISTIJONO ; Jurnalis Media Indonesia

MEDIA INDONESIA, 3 Maret 2022

Sumber : https://mediaindonesia.com/opini/475410/elite-suka-suka-wacanakan-penundaan-pemilu-demi-siapa

You may also like...