Evaluasi Pemilu Serentak 2019

Pemilu 2019 adalah pemilu serentak pertama di Indonesia. Pemilu demikian diyakini sejumlah kalangan akan membawa dampak signifikan bagi pembenahan sistem politik kita.

Hal itu mungkin terjadi jika efek ekor jas (coattail effect) bekerja dan kecerdasan politik pemilih menjadi dasar bagi konstituen dalam memilih calon, baik calon presiden maupun calon anggota perwakilan (DPR dan DPD). Asumsi itu ternyata tak terbukti. Hasil Pemilu 2019 hampir sama, tak berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya yang terpisah antara pemilihan presiden dan pemilihan anggota perwakilan (DPR dan DPD).

Mengapa asumsi teoretis pemilu serentak meleset? Mengapa keserentakan pemilu tidak dapat mencapai tiga tujuan besarnya, yakni efisiensi anggaran, menghasilkan kekuatan politik yang signifikan di parlemen yang memperkuat sistem presidensial, dan mendorong penyederhanaan parpol.

Hasil Pemilu 2019 hampir sama, tak berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya yang terpisah antara pemilihan presiden dan pemilihan anggota perwakilan (DPR dan DPD).

Distorsi asumsi akademik

Penyelenggaraan pemilu serentak 2019 ternyata tak murah dan efisien. Pemilu serentak ”nyaris” tak memberikan insentif yang memadai bagi partai utama/partai pengusung calon presiden/wakil presiden. PDI Perjuangan (PDI-P) dan Gerindra mengalami kenaikan tipis 0,38 dan 0,76 persen. Partai yang dianggap memperoleh berkah kenaikan adalah Nasdem, 2,33 persen, meski kenaikan suara Nasdem tak dianggap sebagai dampak dari efek ekor jas karena capres Jokowi lebih lekat sebagai kader PDI-P, bukan kader Nasdem.

Partai lain yang berkoalisi dengan kubu 01, seperti Golkar, PKB, PPP, dan Hanura, nasibnya tak sebaik Nasdem. PKB yang mengklaim sebagai pengusung Ma’ruf Amin, suaranya hanya naik 0,65 persen. Golkar, Hanura, dan PPP lebih tak beruntung karena turun cukup signifikan: 2,44 persen, 3,72 persen, dan 2,01 persen. Pada kubu 02, partai yang mengalami kenaikan cukup lumayan ialah PKS, 1,42 persen. Demokrat dan PAN justru turun. Demokrat mengalami penurunan terbanyak, 3,13 persen, dan PAN 0,75 persen.

Hasil pemilu serentak 2019 kian memperkokoh praktik multipartai ekstrem di Indonesia. Sebagaimana diketahui, hasil pemilu-pemilu di era Reformasi, sejak Pemilu 1999 hingga 2014, selalu gagal menyederhanakan parpol.

Pemilu proporsional yang dikombinasikan sistem multipartai dianggap tak sejalan dengan upaya memperkuat sistem presidensial di Indonesia karena multipartai yang dihasilkan pemilu adalah multipartai ekstrem yang menyulitkan presiden dalam membangun koalisi. Tak ada partai pemenang mayoritas minimal karena rata-rata partai pemenang pemilu memperoleh suara di bawah 22 persen. Akibatnya, presiden terpilih dianggap kurang didukung kekuatan parpol yang memadai di parlemen.

Hal itu dibuktikan dari perhitungan effective number of party in parlemen (ENPP) yang dihasilkan pemilu sebelum Pemilu 2019 cenderung besar, berkisar 8-9. Artinya, tingkat kompetisi kekuatan politik di parlemen tergolong terfragmentasi ketimbang terkonsolidasi.

Kecenderungan bangunan koalisi yang dibentuk presiden pun dianggap tidak terlalu kuat. Efek pemilu serentak sebenarnya telah diperdebatkan sejak era 1980-an oleh banyak ahli. Perdebatan mengenai apa manfaat atau dampak dari pemilu serentak serta kebenaran pemilu serentak akan menciptakan efek ekor jas dan kecerdasan pemilih menjadi isu akademik yang terus-menerus.

Studi Campbell (1960) menghipotesiskan pemilu serentak menyebabkan dua gejala, yaitu gelombang penurunan dan pelonjakan. Pemilu serentak hanya berfungsi sebagai ”stimulasi politik” untuk meningkatkan partisipasi.

Pola efek ekor jas presiden AS dalam pemilihan DPR dan Senat berjalan tidak ajek karena pada saat tertentu akan muncul lonjakan suara, tetapi pada saat lain akan ada fenomena penurunan suara. Campbell juga menggarisbawahi bahwa kombinasi keserentakan antara presiden dan sistem pemilu mayoritarian mendorong penguatan partai tertentu.

Menariknya, kalau kombinasi dilakukan dengan proporsional, hasilnya menunjukkan partai tengah, bukan partai kanan atau kiri, yang diuntungkan. Pengalaman negara yang menerapkan kombinasi yang disebut oleh Campbell dapat menjadi penjelasan mengapa praktik pemilu serentak di Indonesia justru cenderung menguntungkan partai berideologi tengah ketimbang kanan atau kiri.

Beberapa bukti lain juga menunjukkan, efek paling nyata dari pemilu serentak hanya meningkatkan partisipasi pemilih. Efek ini telah disebut pada sejumlah literatur yang membahas pemilu serentak sejak era 1980-an sejak Boyd (1989) merumuskan hipotesis daya tarik suara bahwa pemilihan serentak meningkatkan jumlah pemilih.

Lijphart (1997) juga menilai hal yang sama, bahwa pemilu serentak (dalam waktu bersamaan) dianggap dapat meningkatkan tingkat partisipasi pemilih

Dari sejumlah kajian mengenai pemilu serentak, sebenarnya terdapat banyak bukti bahwa kajian-kajian sebelumnya tak menjawab bagaimana pengaruhnya terhadap hasil pemilu, apakah pemilu serentak dapat mendorong sistem pemilu proporsional yang efektif untuk menyederhanakan parpol misalnya?

Walaupun juga tak dimungkiri di beberapa negara memang ada sedikit efek ekor jas, tetapi pada beberapa negara yang melakukan pemilu serentak, seperti Uruguay, Venezuela, dan Meksiko, serta beberapa negara lain, efek itu juga kurang terlihat secara signifikan. Atas dasar pengalaman beberapa negara yang menerapkan pemilu serentak, ternyata tak selamanya simultan.

Bahkan, pengalaman pemilu serentak di Brasil, yang dihasilkan adalah kemenangan partai koalisi, tak mengubah multipartai yang ekstrem, karena Brasil tetap mengombinasikan proporsional dan multipartai. Sementara itu, pengalaman Uruguay juga relatif menunjukkan hal yang hampir mirip, pilihan terhadap presiden tidak konkruen dengan pilihan terhadap partai politiknya.

Distorsi akademik yang dibangun para perancang UU Pemilu 2019 yang terlalu meyakini asumsi-asumsi awal judicial review, dan kurang mengeksplorasi praktik pemilu serentak menyebabkan ekspektasi publik terhadap hasil pemilu serentak tak terjawab.

Salah satu alasan mengapa hasil pemilu serentak sama dengan pemilu terpisah karena desain sistem pemilu yang digunakan tak mengalami perubahan fundamental, khususnya dari sisi besaran daerah pemilihan (district magnitude), rumus konversi suara menjadi kursi, karena penerapan Saintee League (murni) pada dasarnya prinsip kerjanya sama dengan bilangan pembagi pemilih (BPP), dan penerapan ambang batas parlemen yang masih kurang relevan.

Menitikberatkan asumsi bahwa keserentakan akan mendorong perubahan peta kekuatan politik dan partai yang sederhana sebenarnya tidak memiliki sandaran teoretis dan tidak didukung oleh praktik yang ada.

Masihkah dipertahankan?

Dari praktik pemilu serentak 2019, ternyata model pemilu serentak borongan atau pemilu serentak lima kotak, ”hanya” menjamin insentif tingkat partisipasi pemilih. Efek ekor jas dan kecerdasan pemilih sebenarnya belum terbukti. Sementara dari sisi penyelenggaraannya begitu ruwet, rumit, dan kompleks. Beban penyelenggara pemilu di tingkat KPPS juga sangat berat, bahkan ratusan orang akhirnya meninggal.

Belajar dari hasil pemilu dan dampaknya, ke depan kira-kira format keserentakan pemilu yang seperti apa yang mungkin digunakan. Kata mungkin ini berhubungan dengan amar putusan Mahkamah Konstitusi No 14/PUU-XI/2013 Tahun 2013 bahwa ”penyelenggaraan pilpres setelah pemilu anggota lembaga perwakilan adalah inkonstitusional sehingga untuk pemilu-pemilu yang akan datang, pilpres mesti dilaksanakan secara bersamaan dengan pemilu anggota lembaga perwakilan”.

Makna keputusan MK ini ialah pemilu harus diselenggarakan dengan menerapkan minimal dua sistem sekaligus. Pada skema pemilu serentak 2019, ada tiga sistem yang bekerja secara bersama: sistem untuk memilih presiden, anggota legislatif (DPR), dan anggota DPD.

Dari pengalaman Pemilu 2019, model pemilu borongan lima kotak telah menimbulkan beragam persoalan sehingga mempertahankan format keserentakannya akan menimbulkan perdebatan dan ”waswas” dalam penyelenggaraan.

Untuk mengatasi itu, masih ada dua model keserentakan yang mungkin bisa dipilih dan diterapkan. Pertama, pemilu serentak nasional dan lokal yang terpisah. Pemilu jenis ini adalah pemilu serentak nasional yang memilih presiden dan anggota perwakilan di tingkat pusat (DPR dan DPD).

Kedua, pemilu eksekutif-legislatif yang terpisah, di mana pemilu eksekutif adalah memilih presiden-kepala daerah (gubernur dan bupati/wali kota) secara bersamaan; sedangkan legislatif adalah memilih anggota perwakilan—DPR-DPD dan DPRD.

Kedua model keserentakan pemilu di atas memiliki kelemahan karena tak bisa memberikan jaminan ada tidaknya efek ekor jas, kecerdasan pemilih, dan penyederhanaan partai politik karena masalah yang diselesaikan adalah masalah penyelenggaraan pemilu supaya tidak rumit dan kompleks. Selain itu, dengan kedua model keserentakan tersebut, beban kerja penyelenggara pemilu juga tidak terlalu berat. Persoalan efektif atau tidaknya dalam mendorong multipartai yang sederhana, tergantung pada perubahan sistem pemilu dan aturan-aturan teknis yang perlu dimodifikasi.

 

 

Oleh:

Moch Nurhasim

Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI

Kompas, 8 Oktober 2019

You may also like...