Fikih Konstitusi Negara Pancasila Islami

Sumber Gambar: medcom.id

Kaum Muslimin wajib mengikuti tuntunan Nabi Muhammad SAW dalam membangun negara, tetapi haram (dilarang) membentuk sistem dan mekanisme bernegara seperti yang dibentuk oleh Nabi.

Itulah pokok ceramah shalat Tarawih yang saya sampaikan di Masjid Kampus Universitas Gadjah Mada pada 3 April 2022, sesuai dengan tema yang diberikan kepada saya oleh panitia, yakni ”Titik Temu Nasionalis-Islam dan Nasionalis–Sekuler dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara”.

Karena di media massa ada yang menulis judul berita ”Mahfud MD: Haram Membentuk Negara seperti Sistem Nabi”, maka ada yang mempertanyakan. Betulkah membentuk negara seperti sistem yang dibangun Nabi itu haram?

Bukankah ada hadis bahwa kalian tak akan tersesat selama berpedoman pada dua hal, yakni kitabullah dan sunah Nabi? Yang saya uraikan sebenarnya panjang, berdurasi sekitar 35 menit. Namun, saya bisa menjelaskan secara ringkas konstruksinya dengan fikih konstitusi (al fiqh al dusturiyyah) berikut.

Nabi mendirikan negara

Membangun negara, bahkan mendirikan negara dan pemerintahan (khilafah), menurut Islam, adalah keharusan (wajib) karena bernegara adalah sunatullah. Tidak ada seorang pun di muka bumi ini yang bisa hidup di luar kekuasaan negara, baik negara merdeka maupun negara jajahan.

Kaidah fikih yang sering dipakai untuk menjelaskan kewajiban mendirikan negara adalah, ”Jika suatu kewajiban tak bisa dilakukan tanpa adanya sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu wajib diadakan”, jika tugas beribadah dan membangun kebaikan tidak bisa dilaksanakan dengan baik kalau tidak punya negara, maka mendirikan negara itu wajib hukumnya.

Para ulama dan kaum Muslimin Indonesia juga ikut berjuang dengan gigih hingga berdiri Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Di sini adanya negara ditempatkan sebagai ”alat” untuk bisa melaksanakan perintah Allah SWT dengan baik. Itulah sebabnya, ketika tinggal di Mekkah tidak leluasa untuk beribadah dengan baik, Nabi hijrah ke Madinah dan mendirikan negara yang memenuhi syarat, yakni ada wilayahnya, ada rakyatnya, ada pemerintahnya. Itulah yang umumnya dikenal sebagai Negara Madinah.

Setelah Nabi

Meskipun Nabi jelas-jelas mendirikan negara, umat Islam setelah Nabi dilarang alias haram mendirikan negara seperti sistem bernegara yang dibentuk oleh Nabi. Mengapa? Karena di dalam bentuk dan sistem yang dibangun itu pimpinan ”eksekutif” atau kepala negaranya adalah Nabi, padahal kita yakin sesudah Nabi Muhammad wafat tak ada lagi Nabi yang bisa memimpin negara.

Pada zaman Nabi Muhammad, penentu atau pembentuk hukum yang dalam konstitusi disebut lembaga ”legislatif” adalah Allah sendiri melalui wahyu (Al Quran) dan sunah Nabi yang juga bersumber dari wahyu. Sekarang ini tak ada lagi wahyu (Al Quran) dan sunah Nabi untuk langsung menentukan hukum jika ada masalah-masalah baru yang harus dihukumkan.

Pada zaman Nabi, yang menjadi hakim atau pemegang kekuasaan ”yudikatif” jika ada kasus konkret yang harus diadili adalah Nabi sendiri. Sekarang tidak ada lagi Nabi yang bisa menjadi hakim. Dari konstruksi fikih konstitusi itu jelaslah bahwa tak mungkin dan tak boleh kita mendirikan sistem, struktur, dan mekanisme bernegara seperti yang didirikan oleh Nabi.

Sesuai penegasan Al Quran (S Al-Ahzab Ayat 40), Nabi Muhammad adalah nabi terakhir (khatam al nabiyyien) dan wahyu Allah kepada Nabi Muhammad dalam bentuk kitabullah (Al Quran) sudah ditutup seperti ditegaskan dalam Al Quran, Surat Al-Maidah Ayat 3. Mengingkari ini adalah murtad.

Oleh sebab itu, sejak Nabi Muhammad wafat, sampai sekarang kaum Muslimin hanya bisa membentuk sistem, struktur, dan mekanisme pemerintahan (khilafah) berdasarkan hasil ijtihad atau menggali (instinbath) nilai-nilai hukum dari Al Quran dan sunah Nabi untuk diturunkan (dibumikan) sesuai dengan kebutuhan waktu, tempat, dan lingkungan masyarakat (budaya).

Di antara empat khalifah yang mendapat petunjuk (al Khulafa’ al Rasyidun), yakni Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, selain membangun sistem bernegara yang berbeda dari yang dibangun oleh Nabi, di antara keempatnya berbeda dalam penamaan, sistem penggantian kepemimpinan, dan strukturnya.

Sejak zaman Abu Bakar sampai sekarang, kaum Muslimin membentuk sistem bernegara berdasarkan hasil ijtihad yang semuanya berbeda dari yang dibangun oleh Nabi. Kepala negaranya ada yang presiden (rais), amir (emirat), raja (malik), sultan (sulthan), dan sebagainya. Pembentuk hukumnya ada yang melalui parlemen, ada yang melalui majelis fatwa yang kemudian dituangkan dalam bentuk dekrit raja, dan berbagai sistem lainnya. Itu semua sah sebagai produk ijtihad dalam fikih konstitusi.

Islami dalam negara Pancasila

Jika bentuk dan sistem pemerintahan Islam tidak diatur dalam Al Quran dan sunah Nabi tetapi (selalu) diatur melalui produk ijtihad, lantas bagaimana ajaran Islam dimasukkan ke dalam hidup bernegara? Jawabannya adalah melalui penanaman dan pengembangan nilai-nilai substansi (al jawhar) tanpa harus selalu memasukkan simbol-formalistiknya (al madzhar).

Penanaman dan pengembangan substansi itu diambil dari tujuan syara’ (al maqashid al syar’i), yakni adanya negara dan pemerintahan dimaksudkan untuk memberi perlindungan atas hak-hak manusia dan seluruh rakyat dalam menjaga dan melaksanakan ajaran agama (al dien), menjaga keselamatan jiwa (al nafs), menjaga harta (al amwal), menjaga akal sehat (al aql), serta menjaga keturunan (al nasb).

Di dalam bentuk dan sistem bernegara yang dibangun berdasarkan produk ijtihad berdasarkan waktu, tempat, dan budaya yang didasarkan pada tujuan syara’ itulah kemudian dibangun prinsip-prinsip bernegara dan berpemerintahan yang Islami, yakni kemanusiaan, persaudaraan, kesetaraan, keadilan, penegakan hukum, musyawarah, pemeliharaan lingkungan hidup, dan lain-lain, yang kalau dicantolkan pada kepemimpinan yang diajarkan oleh Nabi menjadi kepemimpinan yang jujur (shidiq), dapat dipercaya (amanah), menyampaikan atau menyerukan kebenaran (tabligh), dan cerdas (fathanah).

Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila merupakan produk ijtihad ulama kaum Muslimin Indonesia yang didasarkan pada al maqashid al syar’i dengan segala prinsip Islami yang menyertai.

Sebagai produk musyawarah yang penuh argumentasi, maka negara Indonesia berdasarkan Pancasila merupakan kesepakatan seluruh bangsa yang harus dipatuhi karena sudah Islami (diturunkan dari al maqashid al syar’i). Kalangan ulama Nahdlatul Ulama menyebut negara Indonesia sebagai Dar al mietsaq (negara kesepakatan), sedangkan kalangan Muhammadiyah menyebut sebagai Dar al ahdi wa al syahadah (negara hasil perjanjian dan tempat membangun) bagi seluruh rakyat Indonesia.

Oleh:

Moh Mahfud MD

Guru Besar Hukum Tata Negara; Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan

KOMPAS, 16 April 2022

Sumber:

https://www.kompas.id/baca/artikel-opini/2022/04/15/fikih-konstitusi-negara-pancasila-yang-islami

You may also like...