Gejala Pospiritual Dibalik Desakralisasi (Korupsi) Al-Qur’an

Tidak  ada perbedaan prinsipil perbuatan korupsi dalam pengadaan Al-Qur’an. Sebagi kitab suci yang menyimpan  rapi “ayat-ayat”, “teks” dan  “bahasa” Tuhan. Dibandingkan dengan korupsi lainnya (seperti korupsi di Ditjen Pajak, korupsi Proyek Mega Hambalang, korupsi Wisma Atlet dan sederet kasus-kasus korupsi lainnya). Hanya saja, korupsi terkait pengadaan Al-Qur’an bersentuhan langsung dengan nilai-nilai intrinsik moral, agama, dan  Tuhan.

Beberapa Peneliti sejarah Islam seperti Karl Armstrong (Penulis “Sejarah Tuhan”), Bertrand Russel (Penulis “Sejarah Filsafat Barat”) dan John L. Esposito (Penulis “Islam The Straight of Path’) mengakui kitab suci itu sebagai kitab yang spektakuler. Mereka ini bukanlah pemeluk Muslim. Namun ia  mengakui Al-Qur’an sebagai bahasa Tuhan yang sakral nan suci. Mujizat yang bukan hanya milik Rasul, namun untuk semua ummat (Rahmatan lil-alami’in). Terlebih Karl Amstrong sebagai Mantan Biarawati telah diklasifikasikan sebagai penganut agnostik. Nyatanya, masih mengakui Al-Qur’an sebagai kitab sakral, mengajarkan bukan saja sejarah kenabian, aturan, perintah, dan larangan. Tetapi  kitab tersebut memilki makna estetik sekaligus esoterik yang akan berlaku  sepanjang masa, melintasi zamannya.

Lalu, mengapa seorang terlahir secara adikodrati memeluk Muslim, berhianat dengan kitabnya sendiri ? Apakah kita sebagai Negara dengan mayoritas Muslim, agama kita lebih rapuh dan keropos dibanding orang yang memilih tidak percaya lagi Tuhan sebagai sesembahan-Nya ? Kitab sakral itu, kini telah didesakralisasi untuk mengejar kekayaan dan hasrat duniawi semata.

Bahasa langit Tuhan dalam kehidupan keseharian telah dimanipulasi oleh pemeluknya sendiri. Tidak tanggung-tanggung kitab itu digandakan dalam ribuan eksampler. Atas dalih demi kepentingan ummat. Sengaja dianggarkan dalam jumlah miliaran rupiah. Agar mereka yang tidak tahu diri ini meraup keuntungan sebanyak mungkin. Hingga 4 milyar rupiah menjadi keuntungan pribadi. Fenomena korupsi pengadaan kitab suci ini mengindikasikan “Tuhan” seolah tak berdaya lagi.

Tuhan tidak pernah menuntut “royalty” dari hamba yang  menggandakan karya cipta-Nya. Namun manusia tetap tidak tahu diuntung. Sudah dibebaskan dari pembayaran hak cipta, namun masih dikorupsi penggandaannya. Ketika kitab tersebut diperintahkan agar dibagi-bagikan, dibaca gratis, oleh semua kalangan dengan janji “pahala surgawi”. Lagi-lagi masih ada saja oknum konsisten berdosa dibanding berebut pahala. Sebuah fenomena pospritualitas menggejala dalam desakralisasi Al-Qur’an

Pospiritualitas

Al-Qur’an hilang kesakralannya, Tuhan tidak berdaya ketika kitabnya di korupsi dengan dalil demi kepentingan Ummat. Tuhan bergerak dalam simulasi permainan bahasa manusia. Sengaja dimanfaatkan nama-Nya untuk mendongkrak popularitas partai, popularitas kandidat, bahkan popularitas keluarga.

Desakralisasi Al-Qur’an adalah membaurnya manusia dengan “Tuhan artifisial”, dalam tindak perbuatan jahat. Suatu keadaan ketika yang disebut suci dicemari oleh yang kotor, spiritual dirusak oleh yang duniawi, transeden dimasuki imanen. Nilai-nilai teologis di-induksi oleh kesimpangsiuran nilai. Sebuah gejala pospiritualitas abad ke-21.

Pospiritual dalam bahasa Yasraf Amir Piliang merupakan sebuah kondisi ketika bercampur aduknya nilai-niai spiritual dengan nilai-nilai materialisme, bersekutunya yang duniawi dengan yang Ilahiah, bersimpang siurnya yang transeden dengan yang imanen, bertumpangtindihnya hasrat rendah/ reme-temeh dengan kesucian, sehingga perbedaan diantara keduanya menjadi kabur.

Pospiritual  dapat menjadi obat mujarab bagi seorang. Jika terbukti melakukan penipuan dan menggelar sejuta kepalsuan. Namun  aibnya diketahui oleh publik. Mau tidak mau akan menarik diri dari pengakuan sesama. Dan lebih merasa dekat dengan Tuhan.

Tersangka korupsi berinisial ZD mengakui dirinya di layar kaca. Dia khilaf, manusia biasa, bukan superman, tidak luput dari kesalahan, kurang waktunya melakukan hubungan dengan yang “vertical”, lebih banyak mengurus kepentingan duniawi. Adalah permainan hasrat, diantara hasrat dunia dan hasrat ukhrawi. ZD dikerangkeng hanya dalam wilayah annafs al amara. Nafsu dengan jiwa rendah semata.

Peritiwa desakralisasi Al-Qur’an dengan jalan korupsi menjadi bukti seorang dikuasai oleh hawa nafsunya, dikuasai oleh sifat-sifat materi. Kehidupannya hanya terpusat pada dunia benda, dengan segala irama perubahan dan pergantiannya, serta dengan segala sistemnya.

Di sinilah Nietzche dalam “Geneologi Moral” membuktikan dirinya sebagai pemikir agung. Yang menyadarkan kita dari kepalsuan agama dan moral. Ketika  yang baik dan yang jahat adalah buatan sejarah. Baik jahat muncul dari sentimen orang-orang kalah secara moral, tidak ubahnya merupakan pembalasan dendam yang menggumpal. Padahal moral sebelumnya adalah sesuatu yang kodrati datang dari langit. Sekarang moral merupakan sesuatu yang dihidupi di dunia dan hanya lahir dari rahim-rahim kepentingan duniawi saja.

Dalam bahasa pospiritual ‘hasrat korupsi” yang demikian bergerak dalam mesin-mesin hasrat sebagai upaya untuk mencari kepuasan terus menerus. Hasrat yang begitu “agung” dipuja, tidak pernah terpuaskan dan selalu mencari pelepasan-pelepasan baru. Hasrat selalu mereproduksi dirinya sendiri lewat mekanisme yang disebut Guattari desiring machine. Hasrat selalu dipacu sedemikian rupa hingga mendapatkan ketenaran, popularitas dan publisitas.

Berbeda halnya dengan kaum sufi yang selalu berusaha menggapai an-nafs al-muthmainnah, tidak pernah mencari ketenaran. Mereka menyembunyikan diri di dalam kesalehan, kerendahatian untuk mendapatkan kemuliaan. Kaum sufi tidak ingin dimuliakan atau ingin dikenal.

Kementerian (Tidak) Beragama

Nampaknya, korupsi yang menimpah kementerian agama sekarang. Dengan riwayat dan pesan simbolik “moral” menjadikannya sebagai kementerian yang (tidak) ber-agama lagi. Mulai dari penobatan sebagai lembaga terkorup di tahun 2011 dengan kasus korupsi pemberangkatan jamaah Haji. Belum juga kapok, dengan “terhujatnya” sebagai lembaga yang tidak bermoral.

Menteri agama dan beberapa bawahannya masih mengatakan, rincian anggaran yang membengkak sebagai hal wajar. Jangan sungkan-sungkan untuk berbuat baik apalagi yang berkaitan dengan nilai kesucian Tuhan. Tidak ada yang berani berbuat dosa di lapangan Kementrian Agama. Karena semuanya terkait erat, dengan ajaran imperatif. Yakni  memaksa seorang untuk takut berbuat dosa.

Kita mesti sadar  bahwa Kementerian Agama bukanlah wilayah monopoli “Tuhan” untuk bertindak di dunia. Kementerian agama hanya mampu menfasirkan bahasa Tuhan. Mengajarkan kebaikan. Tetapi tidak luput dari sikap manusia yang berhianat. Penuh dengan tipu daya setan. Mengaburkan antara baik-jahat, antara  dosa-pahala, antara kemaksiatan dan kebajikan.

Manusia adalah khalifah yang diberikan kebebasan untuk bertidak apa saja sesuai dengan pilihannya. Mau berbuat baik dengan janji pahala. Mau berbuat jahat dengan imbalan dosa. Tuhan dengan sifat transedennya tidaklah mampu dijangkau oleh akal manusia. Sehingga kementerian agama, jelas masih ada manusia yang dibelenggu “setan”. Untuk menggunakan segala macam cara, tindak-tanduk dalam rangka menghilangkan kesucian Al-Qur’an_desakralisasi Al-Qur’an.

Kini manusia lebih tertarik mendengar bisikan merdu setan dari pada bisikan syahdu malaikat. Ia dengan senang menggunakan terik, tipu daya, dan dekonstruksi fakta dalam teks absurditas “setan” (an nafs alammara).

Namun semua dibalik itu. Apapun yang dilakukan oleh manusia. Sama sekali Tuhan tidak akan pernah kehilangan sifat-sifat  dan  semua nilai-nilai keagungan-Nya.

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...