Gerakan Moral untuk Mencegah Korupsi

M Napitupulu  (sindonews.net)

 

SUDAH lebih 20 tahun re­for­masi berjalan dengan lima kabinet, namun pe­nyakit mental dan peri­laku sebagian kita bukan membaik malah melorot. Kemerosotan moral yang dipertontonkan oleh maraknya operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ke­jahat­an narkoba, prostitusi, pem­bunuhan, perampokan, pemba­lak­an hutan dan tambang ilegal; da­lam kon­disi kemiskinan dan peng­angguran masih tinggi, utang negara bertam­bah, serta sumber daya alam habis, sungguh memprihatinkan!

Apa yang terjadi? Sedikitnya ada tiga masalah moral telah mendera NKRI. Bibit masalah ini sudah ada sejak zaman kolonial, terbawa ke zaman kemerdekaan era Orde Lama, bertumbuh pada era Orde Baru, dan meluas pada era Reformasi, terlebih setelah adanya kemudahan komuni­kasi dan akses ke media sosial serta diberlakukannya pemilu langsung. Masalah pertama: “meluasnya praktik korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) yang dipicu oleh sistem tata kelola pemerintahan dan demokrasi politik pemilu yang rumit, lambat, boros, ka­rena banyaknya tingkat pemerin­tah­an, dan pemilu langsung pileg, pilpres, pilkada dan pilkades”.

Kedua: “tertib hukum, keamanan dan keselamatan warga bangsa yang lemah”. Ketiga, “merosot dan rusak­nya kehidupan moral dan sosial warga masyarakat, dan anak-anak usia seko­lah karena bebas dan maraknya game, perjudian online, dan pornografi dibarengi miras, narkoba, prostitusi, perzinaan dll”.

Terkait demokrasi politik pemilu, orang awam pun paham bahwa biaya besar yang dihabiskan dalam proses kampanye sampai terpilih, nilainya jauh lebih tinggi dibanding gaji, dan tunjangan setelah menjabat. Dalam tata kelola pemerintahan, bagi apa­ratur sipil negara (ASN), anggota Polri, dan pegawai BUMN sejak masuk dan untuk duduk menjabat perlu biaya.

Akibatnya, untuk mengembalikan modal ditambah perilaku tidak jujur dan serakah maka si pejabat dengan kewenangan sendiri atau bersama, berupaya menciptakan situasi agar semua urusan: perizinan, jabatan, surat tanah, pagu anggaran, bea cukai/pajak, kredit bank, keputusan hakim/tuntutan jaksa, temuan auditor, tender dll mesti ada imbalan uang alias korupsi.

Karena itu sangat logis, apabila tidak ada upaya pencegahan KKN yang mendasar meliputi: (a) per­ubah­an sistem: pemerintahan dua oto­nomi daerah dan pemerintah desa, dan demokrasi politik pemilu, serta (b) perubahan perilaku dengan tobat nasional, dari tujuh dosa sosial me-matikan yang selama ini kita lakukan: kaya tanpa kerja keras; hiburan tanpa hati nurani; pengetahuan tanpa karakter; profesi, bisnis tanpa etika dan moral; sains tanpa kemanusiaan; agama tanpa pengorbanan; dan po­litik tanpa prinsip (Mahatma Gandhi-1925, the seven deadly sin). Maka OTT KPK sebagai upaya represif pembe­ran­tasan korupsi, akan terus marak walau sudah ada pengawasan dan penindakan berlapis: Inspektorat Daerah, Inspektorat Jenderal K/L, BPKP, BPK, Kejaksaan, hingga KPK.

Apa solusinya? Mengacu pada tiga masalah moral tersebut di atas diusul­kan perangkat penataan ulang me­lalui reformasi lanjut dan transfor­masi, untuk menciptakan kehidup­an sosial budaya masyarakat dan tata kelola pemerintahan yang taat hukum, bersih, berkualitas, efisien, dan tangguh, meliputi dua bidang besar yaitu: (i) sumber daya manusia, dan (ii) tata kelola peme­rin­tahan dan demokrasi politik pemilu. Solusi dua bidang besar ini sangat layak sebagai inisiatif MPR 2020-2024.

Bidang besar pertama: “Pengem­bangan dan pembinaan SDM yang taat hukum, serta memiliki karakter, kualitas dan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila“ sebagai prioritas penting dan mendesak, mengawali perbaik­an. Pertama, segera semua pilar bangsa, menginisiasi adanya “Gerak­an Moral Pertobatan Bangsa”, guna meninggalkan tabiat kualitas lama, tujuh dosa sosial mematikan tersebut di atas, dan bertransformasi mem­praktikkan tabiat kualitas baru tujuh “perbuatan, perilaku ber­kualitas dan bernilai baik” (PBB), yang digali dari kelima sila Pancasila sesuai urutannya, yaitu: (1) ibadah, agama dengan pe­ngor­banan, (2) hiburan dan kesenang­an dengan hati nurani, (3) penge­tahuan dengan karakter yang benar, (4) iptek dengan kemanusiaan, (5) pemerintahan dan politik de­ngan prinsip-prinsip yang baik, (6) bisnis dan profesi dengan etika dan moral, (7) ke­kaya­an dan ke­makmuran de­ngan kerja keras dan kompetensi.

Kemudian, para pilar bangsa, menyepakati dan men­deklarasikan “Ikrar Transformasi Kualitas Bangsa” (ITKB) yang bernilai tinggi. Janji atau komitmen untuk menjalankan peri­laku dan tindakan yang didasarkan pada nilai, standar dan tolok ukur yang teruji baik, yang bersumber dari Pancasila untuk setiap urusan atau tata kehidupan: politik, negara, bangsa, masyarakat, usaha, profesi, keluarga, dan pendidikan. Untuk mudahnya menghayati dan me­masyarakatkan konsep ITKB, ibarat mata uang logam mulia yang bernilai tinggi, mempunyai dua sisi: sisi per­tama Semua Urusan Mesti Ukuran Ter­uji; sisi kedua Komitmen, Kua­litas, Nilai dising­kat SUMUT/ KKN baru. Sisi per­tama SUMUT Baru adalah prak­tik “7 (tujuh) ke­biasaan per­buat­­an yang ber­kualitas dan bernilai baik” (7 KPBB) yang harus dikede­pan­kan sebagai tolok ukur dan bukti “komit­men, kualitas, dan nilai” (KKN baru). Praktik SUMUT/KKN baru oleh se­mua pilar bangsa, akan menghasilkan semua urusan selesai dengan baik, benar, berkualitas dan tepat waktu tanpa imbalan uang terima kasih. Ujungnya OTT KPK akan tidak ada, kejahatan kriminal juga tereduksi sehingga kebutuhan lembaga, per­sonel serta biaya pengawasan dan ke­amanan bisa berkurang drastis untuk menambah APBN.

Bidang besar kedua: “Peningkatan efektivitas dan efisiensi tata kelola peme­rintahan dan demokrasi politik pemilu”, guna menghemat pengeluar­an dan mengoptimalkan output/out­come pem­bangunan, meliputi: per­tama tata kelola. Ini sangat penting menjamin ketepatan sasaran, dan kelancaran koor­dinasi keterpaduan peren­cana­an, pemrograman dan kecepatan pe­laksanaan pembangunan serta monitoring, evaluasi hasilnya, dan sekaligus mengurangi banyaknya pilkada, dengan mengubah “sistem pemerintahan” dari dua (tiga dengan desa) otonomi menjadi satu otonomi di tingkat propinsi dengan jumlah 50-60 provinsi (pemekaran 34 provinsi yang ada). Ini mirip di DKI Jakarta di mana bupati/wali kota dan kepala desa/lurah adalah ASN.

Kedua, politik. Penting segera meninjau ulang sistem pemilu, yakni pilpres, pilkada, pileg dan partai po­litik guna menghemat biaya, waktu, dan mencegah politik uang/korupsi, serta menghindari segregasi bangsa, kelelahan, korban dan sengketa pe­milu. Caranya, yakni (i) Mengurangi banyaknya partai melalui kenaikan ambang batas parlemen. Jumlah partai yang ideal adalah lima, dengan pemilihan langsung untuk pileg na­sional dan pilpres, sedangkan pilgub dan pileg daerah serentak terbatas sesuai masa jabatan. Biaya partai politik disediakan oleh negara, (ii) Menurunkan ambang batas pen­calonan presiden agar muncul lebih dari dua calon presiden/calon wakil presiden sehingga terhindar kom­petisi head to head; (iii) Membatasi pencalonan presiden dan gubernur hanya sekali dengan masa jabatan lebih lama delapan tahun, guna me­niadakan calon petahana yang selama ini memicu terjadinya sengketa pil­kada dan pilpres.

Ketiga, penguatan sistem hukum dan peradilan dengan upaya pene­gak­an hukum yang tegas dan kuat tanpa tebang pilih, termasuk hukuman paling berat untuk para koruptor, kejahatan narkoba, kekerasan seks, pencemar limbah B3 dan illegal logging, mining. Keempat, penataan sistem komunikasi dan informasi nasional, agar isinya baik, aman, positif, men­didik dan menguatkan kerukunan warga bangsa, dengan pengawasan yang ketat dan sanksi hukum yang tegas atas berita bohong, hujat, dan kebencian.

Oleh:

M Napitupulu 

Pensiunan Departemen Pekerjaan Umum

Opini Sindo, 13 Juli 2019 

You may also like...