Inses = Incest

Kaisaruddin Kamaruddin (Praktisi Hukum – Advokat)

Warga salah satu Kabupaten di Sulawesi Selatan digegerkan dengan berita terjadinya PERNIKAHAN INSES (INCEST) yang dilakukan oleh pasangan laki-laki dan perempuannya bersaudara kandung, bahkan warga daerah tersebut meminta agar pelaku inses diberi sanksi adat ditenggelamkan ke laut. (Detik News, 6/7/2019).

Undang-undang No.1 Tahun 1974 menggunakan istilah “PERKAWINAN”, bukan “PERNIKAHAN, padahal menurut hemat saya yang tepat adalah “PERNIKAHAN”.

Istilah “INSES (INCEST)” diambil dari perkataan Latin “INCESTURE” dan BLOEDSCHANDE sebagai terjemahan dari istilah Hukum Romawi sanguinis contumelia. Yang pada mulanya mempunyai pengertian luas, kemudian dipersempit yakni seorang laki-laki dan seorang perempuan melakukan hubungan seksual, padahal mereka itu masih mempunyai hubungan sedarah sehingga dilarang menikah atau hidup sebagai suami istri oleh adat dan agama.

“INSES (INCEST)” adalah salah satu perbuatan yang dipandang paling buruk atau dipandang paling tercela oleh masyarakat, bukan hanya Suku Bugis-Makassar, akan tetapi juga oleh seluruh masyarakat Indonesia. Namun anehnya, meskipun perbuatan ini dipandang sebagai suatu perbuatan yang sangat tercela, tetapi tidak ditemukan pengaturannya dalam KUHPidana terkecuali bila yang menjadi obyek incest adalah anak di bawah umur (Pasal 294 KUHP), dan juga melanggar UU.No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan UU.No.35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak.

Dalam Konsep Rancangan KUHPidana, telah dimasukkan sebagai tindak pidana bagi orang yang melakukan hubungan seksual dengan keluarga sedarah, hal ini padat dijumpai dalam diatur Pasal 490 RKUHPidana yang rumusannya sebagai berikut:

  1. Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan seseorang yang diketahuinya bahwa orang tersebut anggota keluarga sedarah dalam garis lurus atau kesamping sampai derajat ketiga, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.
  2. Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin atau sebaliknya, maka pembuat tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun.
    Pasal 490 RKUHPidana ini telah disetujui oleh Panja pada tanggal 14 Desember 2016 dan dibahas dalam Timus dan Timsin.

Dan yang masih hangat diperdebatkan di DPR adalah mengenai pemberlakuan hukum adat (khususnya Tindak pidana yang tidak ada padanannya dalam RKUHPidana.
RKUHPidana, BAB XXXVII berjudul “TINDAK PIDANA BERDASARKAN HUKUM YANG HIDUP DALAM MASYARAKAT”, Pasal 774 merumuskan sebagai berikut:

  1. Setiap orang yang melakukan perbuatan yang menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dinyatakan sebagai perbuatan dilarang, diancam pidana.
  2. Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf e jo Pasal 101.
    Pembahasan Pasal 774 RKUHP ini sangat seru karena disamping ada kaitannya dengan Pembahasan Buku I (khusnya mengenai asas legalitas), juga dikarenakan banyaknya hukum pidana adat di Indonesia.

Dalam adat Bugis-Makassar, dikenal istilah “MALAWENG LUSE” yakni seorang laki-laki dan seorang perempuan melakukan perbuatan terlarang, misalnya mereka melakukan hubungan seksual, sedang terlarang oleh hukum adat bagi mereka itu untuk kawin atau hidup bersama sebagai suami istri, atau mereka itu seketiduran, baik mereka yang belum kawin, maupun yang duda/janda atau masih dalam status kawin. Perbuatan ini dipandang oleh Suku Bugis-Makassar sebagai perbuatan yang sangat tercela, dipersamakan dengan “Perbuatan binatang” (Bugis: GAU OLO’-OLO’, Makassar: Olo’-Olo’) yang mengakibatkan timbulnya “siri’, hilang harkat dan martabat sebagai manusia, menimbulkan kesukaran bagi orang tua dan sanak keluarga (terutama pihak perempuan) dan akan mendatangkan bahaya serta malapetaka bagi masyarakat. Perbuatan inilah yang disebut oleh orang Bugis dengan istilah “SAPA’RITANA” atau orang Makassar menyebutnya dengan istilah “SALIMARA”, dan sanksinya dahulu ialah menenggelamkan keduanya kedalam dasar laut, karena pantang tubuh dan darahnya mengenai tanah (Andi Zainal Abidin Farid, 2010:86).

Lalu bagaimana jika terjadi PERKAWINAN INSES (INCEST)?

Pasal 8 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan mengatur sebagai berikut:
Perkawinan dilarang antara dua orang yang:

  1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun ke atas;
  2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
  3. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri;
  4. Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;
  5. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau sebagai kemanakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang;
  6. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.

Dalam Pasal 39 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan karena pertalian nasab, pertalian semenda dan hubungan sesusuan.

Pasal 39 Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan: (1) Karena pertalian nasab: (a) Dengan seorang wanita yangmelahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya; (b) Dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu;  (c) Dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya. (2) Karena pertalian kerabat semenda; (a) Dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya; (b) Dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya; (c) Dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu qobla al dukhul; (d) Dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya. (3) Karena pertalian sesusuan: (a) Dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas; (b) Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah; (c) Dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemanakan sesusuan ke bawah; (d) Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas;  (e) Dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.

Apabila terjadi perkawinan inses (incest), dari sudut pandang hukum perkawinan, jika betul-betul terjadi perkawinan resmi, lalu kemudian belakangan ketahuan bahwa itu adalah perkawinan inses (incest), terlebih lagi itu merupakan perkawinan kedua tanpa izin istri/atau suami sebagaimana disyaratkan, maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan.

Dari sudut pandang hukum pidana, maka terdapat beberapa kemungkinan yang menyebabkan sehingga perkawinan itu bisa berlangsung, antara lain : Terdapat pemalsuan dokumen perkawinan (memalsukan identitas calon mempelai) dan Petugas Pegawai Pencatat Nikan dari Kantor Urusan Agama menyangka benar sehingga dinikahkan. Membuat pernyataan tertulis yang tidak benar (surat palsu atau surat yang isinya tidak pada mestinya alias tidak benar adalah suatu tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 263 KUHP.

Jika yang menikah itu sudah terikat penikahan terdahulu (memiliki istri/suami) maka pernikahan yang kedua yang tidak memenuhi persyaratan Pasal 9 jo Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 dan 5 UU.No1 tahun 1974 dapat dijerat Pasal 279 KUHP karena perkawina terdahulu menjadi penghalang.
Apabila pernikahan kedua itu dilakukan karena perempuannya telah hamil, berarti mereka juga telah melakukan Tindak pidana Perzinahan (Pasal 284 KUHP), Dengan demikian yang bersangkutan bisa dijerat beberapa Pasal secara komulatif yang pemidanaannya tunduk pada sistem pemidanaan concursus.

Sekadar diketahui bahwa dalam kaitannya dengan Delik adat “SAPA’RITANA” atau “SALIMARA”, Pengadilan Negeri Watampone telah menjatuhkan pidana penjara selama 6 tahun dan 6 bulan terhadap lelaki bernama “M” yang telah melakukan hubungan seksual terhadap perempuan bernama “C” saudara ibu kandungnya (bibinya), dan Perempuan tersebut juga dijatuhi pidana penjara selama 5 tahun dan 6 bulan.

Keduanya dipersalahkan melakukan delik adat Bugis “MALAWENG SAPA’RITANA” (INCEST). Terbukti dalam persidangan bahwa mereka melakukan hubungan seksual selama 2 kali yang mengakibatkan bibinya(saudara ibu kandungnya) hamil.

Dasar berlakunya Hukum Pidana Adat adalah Undang-Undang Drt No. 1 Tahun 1951 L.N. 9/1951. untuk daerah-daerah bekas Swapraja

Oleh:

Kaisaruddin Kamaruddin

Advokat – Praktisi Hukum Makassar

You may also like...