In Memorium Prof. Dr. Radi A Gany, Pria Santun Telah Berangkat

Hamid Awaluddin
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Otoritas mutlak Ilahi terhadap hidup dan kematian hamba-Nya, berlaku terus. Tak ada yang bisa menyoal, apalagi menolaknya. Domain dan jurisdiksi absolut Sang Pencipta dan penguasa hanya bisa diterima bagi hamba-Nya. Pukul 2 dinihari, tanggal 13 Februari 2020, hukum dan keputusan tentang domain Ilahi tersebut, berlaku terhadap diri Prof. Dr. Radi A Gany, mantan Rektor Universitas Hasanuddin.

Pria yang menghabiskan sebagian terbesar masa hidupnya dalam bidang Pendidikan tersebut, pergi memenuhi panggilan Ilahi. Ia tunduk pada keputusan Yang Maha Kuasa. Lantas, mengapa kita semua harus menangisi, bersedih dan berduka lara mengiringi kepergian seseorang? Bukankah itu semua sudah kita tahu dan yakini bahwa ini berlaku bagi siapa pun dan kapan saja?

Ya, kita bersedih karena jejak kebaikan orang yang pergi itu. Kepergiannya penuh torehan yang menyentuh batin, yang berbekas dalam bentuk kenangan abadi. Keberangkatannya meninggalkan luka batin bagi yang ditinggalkan karena kita tahu dan sadar sepenuhnya, bahwa mungkin jejak-jejak yang ditinggalkannya itu tak bakal tergantikan. Bisa jadi juga, jejak yang berbekas itu jadi panduan kebaikan dan keteladanan bagi siapa saja. Dalam konteks seperti inilah kita bersedih mengiringi kepergian Professor Radi A Gany. Bukan lantaran kita hendak menggugat mengapa dia harus pergi.

Sepekan silam, saya mengunjunginya di rumah sakit. Ia sedang berjuang serius menahan rasa sakit dengan berbagai peralatan medis yang dipasang di bagian tertentu tubuhnya. Saya hanya mendengar napasnya yang tersengal-sengal. Kawan saya yang terbaring lunglai itu, sangat kurus. Ia seakan hanya tulang yang dibungkus dengan kulit. Saya tak tahan menyaksikannya. Saya mundur dan menyudut, mencari lokasi yang sepi lalu menangis sejadi-jadinya. Saya tak kuasa lagi melihat derita sahabat saya ini.

Rasa sesak di napas saya, sulit sekali saya atasi siang itu. Saya seolah hendak berpekik, melakukan protes subjektif, mengapa kawan saya yang sangat baik itu, harus berjuang secara sengit, melawan penyakit yang diidapnya. Mengapa orang yang sebaik Radi A Gany itu harus melalui proses derita yang begitu mendera tubuhnya?

Dokter yang merawatnya pun memberitahu bahwa dalam keadaan seperti itu, almarhum tak bisa menjalin komunikasi dengan siapa pun. Saya hanya membuat sepucuk surat buat istri dan anak-anaknya. Siang itu, ternyata adalah hari terakhir perjumpaan fisik saya dengan almarhum di bumi ini. Memang tidak ada kata-kata verbal di antara kami, tetapi kata batin yang selalu menautkan kami selama berpuluh puluh tahun, selalu bicara. Penuh makna. Selamat atas kepergianmu kawan.

Saya mengenal almarhum sejak awal tahun 1980-an, ketika saya masih mahasiswa di Universitas Hasanddin. Radi A Gany baru balik dari Jawa, menyelesaikan pendidikan doktornya. Sejak itulah persahabatan saya dengan dirinya sudah tak bersekat oleh latar belakang yang berbeda, usia yang terpaut jauh, bidang keilmuan yang juga berbeda. Dan seterusnya. Yang menyemen kami adalah rasa saling butuh secara spiritual, karena ketika saya tinggal di Amerika selama belasan tahun, beliau di Makassar, komunikasi verbal lewat telepon, tak pernah mengenal titik henti.

Lorong-lorong waktu yang kami lewati berdua sebagai sahabat abadi, adalah masa-masa keceriaan. Almarhum sendiri adalah personifikasi humoris yang sangat mengenakkan. Candanya selalu mencerahkan dan menceriakan sehingga komunikasi dengan siapa pun, selalu interaktif. Apa saja bisa diolah dan diramu menjadi bahan candaan yang mengenakkan dan menyegarkan.

Kejenakaannya dalam segala ihwal disempurnakan oleh kepribadiannya yang sangat humble, membuat orang lain selalu ingin berinteraksi dengan dirinya. Berkomunikasi dengan Radi A Gany adalah komunikasi intens yang bebas dari sekat-sekat apa pun juga. Tidak ada strata dalam bersilaturahmi dengan siapa pun. Interaksi dan komunikasinya dengan siapa pun juga, adalah interaksi dan komunikasi defisit kasta tetapi surplus sentuhan kesetiakawanan. Yang terakhir inilah yang membuat saya bersedih dan berduka mengiringi kepergiannya.

Ya, Radi A Gani adalah simbol kesetiakawanan. Ia selalu gelisah memikirkan teman-temannya bila menghadapi situasi pelik. Ia tak pernah menolak membayar harga apa pun untuk membela teman-temannya. Rasa kesetiakawanan inilah yang jadi pangkalan, titik anjak Radi A Gany dalam menjalani masa-masa hidupnya di dunia ini. Ia banyak kawan, dan kawan-kawan itu berasal dari berbagai latar belakang. Ia sangat piawai membangun dan memelihara pertemanan. Dan ini semualah yang membuat kita bersedih atas kepergiannya.

Tatkala menjadi Rektor Universitas Hasanuddin, situasi panas tanah air sedang memuncak: antara Orde Baru dan Reformasi. Mahasiswa setiap saat mengguntur, penuh protes dan amuk. Demonstrasi setiap saat terjadi. Saya pernah menyaksikan bagaimana para mahasiswa yang berdemo itu, mengusung keranda mayat ke depan ruangan rektor dan memaksa Radi A Gany mengambil keputusan yang irrational. Ia dikepung oleh mahasiswa.

Radi A Gany mengajak para pendemo, duduk melantai. Bahasanya sangat lembut, penuh kesantunan sebagai seorang ningrat adat. Mukanya sama sekali tidak menunjukkan gelagat marah. Ia menolak keinginan mahasiswa. Tidak menantang, tetapi menohok dengan argumen lembut. Para pendemo bubar dan pulang, tanpa ada rasa kesal ke pribadi Radi A Gany. Para pendemo itu tertunduk malu atas kegarangan mereka, yang dilawan oleh Radi dengan kesantunan yang di luar kemampuan akal sehat untuk memahaminya.

Kepribadian yang santun inilah yang melengkapi sosok Radi A Gany. Kesantunannya, di saat yang berbarengan, tidak menghalangi dirinya sedikit pun untuk mengambil keputusan yang amat tegas: menolak anarkisme dan kekerasan subjektif. Di situlah ujian leadership kawan saya itu.

Ia mampu menarik garis tegas antara romantika idealisme yang dibumbui oleh retorika, dengan idealisme anti kekerasan. Hari itu, dia memenangkan idealisme anti kekerasan itu. Saya bangga memilikimu kawan. Tenanglah kau di sana, di pelukan Sang Khalik. Mengiringi kepergianmu, perkenankan saya mengucap lirik lagu Titiek Puspa yang mengantar keberangkatan seniman besar kita, Bing Slamet:

//Berita menggelegar aku terima

Kekasih berpulang tuk selamanya

Hancur luluh rasa jiwa dan raga

Tak percaya tapi nyata

Kubersimpuh di sisi jasad membeku

Doa tulus dan air mata

Segala dosa kupohonkan ampunan-Nya

Seakan terjawab dan Kau terima

Kapan lagi kita kan bercanda

Kapan lagi,…. Oh kapan lagi. (*)

Oleh:

Hamid Awaluddin

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Artikel ini telah muat sebelumnya di harian Fajar Makassar, 14 Februari 2020

You may also like...