Ironi “Negeri Narkoba” Minus Hukuman Mati

Hormat saya kepada guru besar Fakultas Hukum Unhas, juga adalah dosen saya ketika masih kuliah di FH Unhas. Almarhum Prof Dr. Achmad Ali, hingga akhir hayatnya beliau terus mendengungkan negeri kita (baca: Indonesia) masih dibutuhkan pidana mati. Beliau memang telah  tiada. Namun segala fatwa dan tulisannya yang pro pidana mati hingga kini masih terbaca di beberapa buku yang pernah di tulisnya. Taruhlah misalnya dalam buku “Menguak Realitas Hukum”. Di buku tersebut beliau mengulang hingga berkali-kali pidana mati jauh lebih penting dipertahankan dari pada menghapuskannya.

Berbanding terbalik dengan kondisi Akhir-akhir ini. Kita disuguhi, betapa “tolerannya” penegakan hukum (benteng terakhir keadilan kita) terhadap sebuah kejahatan yang tergolong dalam kejahatan ekstra. Yakni tindak pidana narkotika.

Ingatan itu belum lekas berlalu. Ketika SBY sebagai kepala pemerintahan dicerca oleh publik (termasuk MUI, dan NU) dengan hak prerogatifnya memberi grasi hingga pengurangan masa pidana selama lima tahun terhadap Corby. Seorang napi yang mestinya dipidana dua puluh tahun setelah diputus oleh Mahkamah  Agung, tapi karena presiden mengabulkan gugatannya, maka akhirnya Corby dipidana hanya sampai lima belas tahun saja.

Selang beberapa bulan  kita kembali tersontak kaget. Nyata-nyata sang pemilik pabrik ekstasi, Hengky Gunawan juga mendapat keringanan hukum setelah melalui proses PK (Peninjauan Kembali). Dari pidana mati, kemudian berubah juga menjadi lima belas tahun penjara.

Ada apa sebenarnya dengan negeri kita, hingga kejahatan yang secara nyata dan jelas mengancam, memotong tunas harapan muda. Malah negara seolah bersikap ‘abai” terhadap tindak pidana demikian ? Kenapa sesuatu yang tidak pernah disangka-sangka akhirnya ironi grasi presiden mendapat teman sehaluan (counterpaat) di ruang sakral pengadilan tersebut ?

Di satu sisi sang presiden mentoleril gembong narkotik Corby pada saat yang sama Imron Anwari selaku ketua majelis dengan Achmad Yamanie dan Prof Dr Hakim Nyak Pha selaku anggota. Melalui perkara bernomor: 39 K/Pid.Sus/2011 menganulir putusan kasasi MA sebelumnya yang menghukum mati Henky.

Inikah bukti dari hakim kita yang kadang gampang “membebek” atau mencari teman sehaluan, karena pemimpin saja dapat menerima perbuatan seorang  gembong narkotika ? Kalau presiden dapat berlindung di balik hak prerogatifnya, rupanya sang hakim juga dapat berlindung dibalik tembok kemandirian peradilan yang tidak dapat diintervensi oleh lembaga manapun, baik diintervensi secara langsung maupun secara tidak langsung oleh lembaga apapun dalam struktur ketatanegaraan kita.

Kasus yang menimpa ruang  justitia itu tak berhenti sampai di situ. Setelah sang hakim memutuskan Hengky Gunawan hanya lima belas tahun penjara (bukan pidana mati). BNN kemudian menangkap hakim PN Bekasi, Puji Wijayanto, di ruang karaoke di Illigals Hotel and Club di Jalan Hayam Wuruk, Jakarta Barat, Selasa (16/10/2012) petang. Di saku sang hakim, petugas menemukan 9,5 butir ekstasi seberat 3 gram, sedangkan 6 butir ekstasi seberat 2 gram dan 0,4 gram sabu beserta alat isapnya ditemukan di salah satu wanita penghibur yang diketahui belakangan milik Puji.

Tak berlebihan rasanya kalau negeri kita yang dihuni oleh deretan gembong narkotika. Untuk mengatakan negeri kita adalah negeri “ironi narkoba” minus hukuman mati. Baik lembaga eksekutif hingga yudikatif “mengamini” hukuman mati tak pantas lagi dikenakan terhadap beberapa pelaku tindak pidana narkotika.

Ada nama Corby dan Henky Gunawan  yang mempertegas negeri kita adalah negeri ironi para gembong narkotika. Sebuah tamparan terhadap negeri ini ketika sudah menjadi tuan para koruptur kini ditambah runyam permasalahannya, setelah gembong narkotikpun dibiarkan hidup lunglai. Padahal suatu waktu akan mengancam dan memotong tunas bangsa ini. Kemana muka bangsa ini sebenarnya harus menanggung malu sebagai Negara yang benar-benar gagal ?

Tidakkah orang-orang yang kita percaya di ruang pencari keadilan itu. Dengan kesakralan palu sidangnya. Mampu beajar dari beberapa deretan kasus sebelumnya ? seperti kasus Apriani Susanti (Sopir Xenia celaka di Tugu Tani) gara-gara Narkoba dan minuman keras. Dengan kendaraan Xenia ia menewaskan Sembilan orang pejalan kaki di Tugu Tani/ Jakarta Pusat.

Pasca PK Henky Gunawan dikabulkan. Kemudian lagi-lagi kasus serupa, mirip kasus Apriany. Novi Amilia, seorang model dengan hanya memakai pakaian dalam mengendarai mobil dan mengakibatkan 7 orang tertabrak di Taman Sari, Jakarta Barat. Novi Amilia juga terindikasi positif menggunakan narkotika dan obat terlarang.

SEPAKAT HUKUMAN MATI

Ilustrasi beberapa kasus di atas seyogianya menjadi pelajaran kita bersama. Bahwa nyatanya pengguna, pemakai narkotika tidak hanya mengancam jiwanya. Akibat pengaruh zat aditif (madat) yang dikonsumsinya. Tetapi juga mengancam orang-orang di sekitarnya.

Gara-gara hilang kesadaran pasca mengkonsumsi madat (obat candu)  demikian, keselamatan jiwa dan fisik orang lain yang tak berdosapun harus menanggung derita, bahkan ancaman kematian dari orang-orang yang mengkonsumsi madat tersebut. Kalau demikian, mengapa negeri ini oleh para penegak hukum masih mentoleril para gembong narkotik bergentayangan bebas mengancam tunas-tunas muda bangsa ini ?

Oleh karena itu, hemat penulis tidak ada alasan untuk mengatakan saat ini. Pidana mati dalam hukum positif kita (baca: Pasal 10 KUHP) harus dicabut/ direvisi alias ditiadakan saja. Hukuman mati tetap relevan untuk dipertahankan sebagai sanksi pemidanaan yang bertujuan menakut-nakuti calon-calon penjahat di masa depan sebagaimana pernah diutarakan oleh Feurbach dalam teori psikologi zwangnya.

Kalaupun seorang itu memang terbukti hanya sebagai pemakai, maka boleh saja secara psikologis memaafkan perbuatannya tanpa hukuman mati, karena memang dalam UU Narkotika dan Psikoterapika. Golongan pelaku tindak pidana  ini masih mendapat peluang rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial.

Namun jika gembong narkotik sekelas Corby dan Henky Gunawan, yang nyata-nyata sebagai pengedar, sebagai tukang produksi obat-obat terlarang, narkotika dan psikoterapika. Mereka ini tidak pantas mendapat sanksi pidana penjara saja, karena korbannya sudah menjalar kemana-kemana.

Ada berapa orang yang dipengaruhi madat obat-obat terlarang, karena ada yang memproduksi, menyediakan, dan menyebarkan ? bukankah kejahatan ini dapat dikatakan berdimensi luas (widespray) ? secara sistematik perlahan pasti membunuh dan menghancurkan generasi-generasi kita. Lalu orang-orang yang memproduksi, ikut menyebarkan masih diampuni perbuatannya. Padahal jika ditelisik sifat perbuatannya nyata-nyata adalah delik yang diperberat.

Cukup sudah kita menyaksikan putusan hakim yang janggal, putusan yang mengoyak nurani publik (ex post), pemberian grasi oleh Presiden yang kontroversial, karena melindungi penjahat-penjahat dan para gembong narkotik.

Kita memang tidak dapat mengintervensi putusan hakim yang mengabulkan PK Henky Gunawan, karena itulah kesakralan ruang pengadilan, ketika hakim dianggap sebagai wakil Tuhan di muka bumi ini (theocracy). Demikian halnya dengan pemberian grasi Presiden adalah hak prerogatif yang tidak dapat diganggu gugat karena konstitusi telah mengamanatkannya. Kita hanya bisa berharap jangan lagi terulang tindakan hukum memalukan seperti ini, oleh karena stigma ironi “negeri narkoba” minus hukuman mati berada di tangan dan pedang sang “juru keadilan” di negeri ini.***

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...