Jalan Terjal Perempuan Penyelenggara Pemilu

Titi Anggraini
Pembina Perludem, Mahasiswi Program Doktoral FH UI
(nusantaranews.co)

Laporan Kesenjangan Gender Global (Global Gender Gap Report) dari World Economic Forum yang dirilis Maret 2021 menyebutkan bahwa Indonesia dengan skor 0,688 berada pada peringkat 101 dunia dari 156 negara yang dilakukan pengukuran. Khusus untuk bidang pemberdayaan politik, dengan skor 0,164, Indonesia menempati peringkat 92 dunia.

Data tersebut terasa cukup kontras dengan keberadaan perempuan dalam praktik elektoral Indonesia. Sebut saja misalnya, jumlah pemilih perempuan di Pemilu Presiden (Pilpres) 2019 yang mencapai 96.572.045 orang atau setara 50,07%. Lebih dari setengah dari keseluruhan daftar pemilih tetap yang ada. Selain itu, pemilih perempuan juga tercatat loyal dalam menggunakan hak pilih. Pilpres 2019 mencatat 51,43% pengguna hak pilih adalah perempuan. Artinya lebih banyak pemilih perempuan yang pergi ke TPS untuk memberikan suara dibandingkan laki-laki.

Namun demikian, jumlah keterpilihan perempuan di parlemen meskipun mengalami peningkatan, angkanya relatif stagnan sejak 2009. Masih jauh dari angka kritis sekurang-kurangnya 30% perempuan di parlemen. Pemilu 2019 baru mampu mengantarkan 118 (20,52%) orang perempuan terpilih menjadi anggota DPR. Pada tingkat DPRD, angkanya bahkan jauh lebih kecil lagi.

Adanya ketimpangan antara modalitas jumlah dan loyalitas dalam berpartispasi dengan kualitas keterlibatan politik secara substantif menjadi salah satu pendorong kuat bagi komunitas praktisi kepemiluan internasional dan dalam negeri untuk terus mempromosikan dan mencari cara untuk mewujudkan kesetaraan gender secara lebih terintegrasi. Dalam konteks itu, memastikan keterwakilan perempuan di badan penyelenggara pemilu diyakini sebagai pintu masuk untuk mendorong pemilu yang lebih inklusif sekaligus keterwakilan perempuan yang lebih solid.

Selain pertimbangan jumlah serta pengalaman, kebutuhan, dan perspektif berbeda yang dimiliki perempuan sehingga keterlibatan langsung menjadi krusial, perempuan juga penting jadi bagian penyelenggara pemilu sebab sangat masuk akal secara ekonomi (Sarah Bibler, 2014).

Penyelenggara pemilu bukanlah institusi bisnis, tetapi lembaga ini sering berurusan dengan uang dalam jumlah sangat fantastis serta memiliki tanggung jawab kepada publik untuk mengelola dan membelanjakan anggaran seefisien dan seefektif mungkin. Melibatkan perempuan sebagai penyelenggara pemilu akan membantu mencapai hal itu, selain juga memungkinkan pengelolaan anggaran dilakukan lebih inklusif (Michelle Bachelet, 2014).

Kehadiran perempuan di penyelenggara pemilu pun bisa membawa makna dan dampak yang lebih besar. Berupa rekognisi dan kepercayaan publik yang lebih kuat pada signifikansi peran perempuan dalam kehidupan politik dan bernegara.

Komitmen Konstitusi

Kesadaran konstitusional untuk kehidupan bernegara yang inklusif dan setara gender sudah dimiliki dengan baik oleh Indonesia. Melalui pengaturan Pasal 28H UUD NRI 1945 yang berbunyi: Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Negara ingin memastikan tidak ada satu orang atau kelompok yang dieliminasi dan dimarjinalisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pasal Konstitusi ini lalu diterjemahkan lebih lanjut melalui pengaturan Pasal 10 ayat (7) dan Pasal 92 ayat (11) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang menyebut bahwa komposisi keanggotaan KPU dan Bawaslu memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30%. Frasa “memperhatikan” mengandung pesan tegas bahwa ada prioritas dan keutamaan bagi perempuan dalam mengisi keanggotaan KPU dan Bawaslu.

Tidak bisa dimaknai sudah memberikan perhatian pada keterwakilan perempuan apabila jumlah anggota perempuan di KPU dan Bawaslu kurang dari 30%. Selama ini banyak legislator atau aktor politik yang mencoba menyimpangi makna “memperhatikan” menjadi sesuatu yang boleh ada atau tidak. Sekadar pertimbangan sekilas tanpa harus sungguh-sungguh untuk mencukupi keterpenuhan paling sedikit 30%. Hal itu mendesak untuk diluruskan agar kita benar-benar kembali pada komitmen dan kesadaran konstitusional yang sudah dirumuskkan baik oleh para pembentuk Konstitusi.

Kemendesakan untuk menginternalisasi inklusivitas keterwakilan perempuan di penyelenggara pemilu disuarakan oleh banyak pihak dan elemen ketika seleksi calon anggota KPU dan Bawaslu periode 2022-2027 berlangsung sejak Oktober 2021 lalu. Pada pertengahan Januari 2022, Presiden mengirim daftar 14 dan 10 nama calon anggota KPU dan Bawaslu kepada DPR untuk mengikuti uji kelayakan dan kepatutan oleh Komisi II DPR. Dari total 24 nama calon penyelenggara pemilu tersebut, terdapat 4 perempuan calon anggota KPU dan 3 perempuan calon anggota Bawaslu.

Para calon telah melalui proses penyaringan yang amat ketat. Melibatkan berbagai elemen, institusi publik dan pemerintahan, serta banyak pertimbangan. Mulai dari aspek kapasitas, integritas, sampai kemampuan menawarkan inovasi bagi penyelenggaraan Pemilu 2024 yang dianggap rumit dan kompleks. Bisa dibilang, dari sisi jumlah pendaftar, keketatan kompetisi, dan komprehensivitas aspek seleksi, rekrutmen KPU Bawaslu ini tiada duanya dibanding proses pengisian lembaga negara lain maupun seleksi penyelenggara pemilu secara global.

Sayangnya, selama ini ada stigma yang kuat bahwa uji kelayakan dan kepatutan di DPR adalah proses politik yang kurang menimbang pemenuhan aspek keterwakilan perempuan. Sepanjang seleksi model ini diberlakukan sejak 2007, hanya pada seleksi KPU dan Bawaslu untuk Pemilu 2009 yang memenuhi keterwakilan perempuan paling sedikit 30%. Pada saat itu, dari 7 anggota KPU periode 2007-2012, terdapat 3 perempuan (42,86%). Sedangkan di Bawaslu, terdapat 3 perempuan dari 5 anggota Bawaslu (60%).

Cerita sukses pengisian KPU dan Bawaslu dengan jumlah keterwakilan perempuan memadai ala seleksi 2007 dikontribusikan oleh model pemilihan yang menggunakan sistem paket. Di mana setiap anggota Komisi II pada waktu itu diminta menulis 7 dan 5 nama calon anggota terpilih dengan wajib menyertakan keterwakilan perempuan paling sedikit 30%. Pemilihan sistem paket seperti itu telah sejak awal menerapkan komitmen afirmasi, sehingga besar kemungkinan keterpilihan perempuan tidak meleset dari angka paling sedikit 30%.

Jebakan Minimalis

Setelah periode itu, keanggotaan KPU dan Bawaslu selalu diisi satu orang perempuan. Baik untuk Pemilu 2014, Pemilu 2019, dan termasuk pula menuju Pemilu 2024. Fenomena hanya satu perempuan anggota KPU dan Bawaslu kembali terulang setelah rapat Komisi II DPR pada dini hari 17 Februari hanya memilih Betty Epsilon Idroos untuk menjadi anggota KPU dari 7 yang terpilih. Serta, Lolly Suhenty sebagai anggota Bawaslu dari 5 yang terpilih.

“Kenekatan” DPR itu diputuskan di tengah masifnya aspirasi berbagai elemen masyarakat untuk mendapatkan penguatan keterwakilan perempuan di KPU dan Bawaslu. Tak kurang dari gerakan perempuan, pemantau pemilu, perguruan tinggi, ormas, sampai pemuka agama menyampaikan aspirasi langsung mereka melalui Rapat Dengar Pendapat Umum yang digelar Komisi II DPR pada 10 Februari 2022. Ternyata DPR bergeming. Keterwakilan perempuan tak beranjak dari angka satu.

Kejadian ini bisa disebut anomali. Sebab, pemilihan anggota KPU/Bawaslu bukan melalui model pemilu yang melibatkan massa dalam skala besar sehingga sulit memastikan selera pemilih secara terukur. Melainkan melalui aktor elite anggota DPR, dalam jumlah sedikit, dan pasti punya paradigma inklusivitas politik lebih baik dari orang kebanyakan.

Lantas mengapa sulit keluar dari jebakan “minimalis” (yang penting) asal ada keterwakilan perempuan? Jawabannya mudah saja, minimnya komitmen dan dukungan politik, rasionalitas politik yang pragmatis dan tidak inklusif, serta absennya perspektif adil gender di antara pembuat kebijakan. Padahal, mempertahankan kondisi itu akan sangat merugikan kredibilitas penyelenggara pemilu dan demokrasi kita. Apalagi di tengah performa demokrasi Indonesia yang merosot dari kinerja menengah ke status lemah atau rendah (International IDEA, 2021).

Menurunnya kinerja demokrasi antara lain disebabkan variabel politik dan pemilu kita yang masih berkutat dengan persoalan klasik ruang keterwakilan perempuan yang menyempit. Mestinya hal itu menjadi pertimbangan serius bagi pimpinan partai politik yang anggota-anggotanya ada di Komisi II DPR untuk mau berubah dan memberikan keberpihakan lebih kontributif pada keterwakilan perempuan.

Ironisnya, di tengah arus besar tuntutan publik serta berbagai argumen pratikal dan substantif tentang makna keterwakilan perempuan di penyelenggara pemilu bagi penguatan integritas dan mutu demokrasi, DPR tetap mengabaikan pemenuhan keterwakilan perempuan. Mayoritas partai politik parlemen belum mau memberikan pendidikan politik dan penguatan paradigma inklusivitas yang kongkrit. Bahwa pemilu dan demokrasi Indonesia telah dikelola secara beradab berdasar prinsip adil dan setara gender.

Hasil uji kelayakan dan kepatutan yang dilakukan Komisi II DPR membuktikan bahwa keberadaan perempuan penyelenggara pemilu masih menghadapi jalan panjang nan terjal. Tentu saja kita tak boleh kehilangan kesabaran dan harapan. Di tengah tembok yang masih tebal dan tinggi, kita tetap harus mengawal dan bersuara lantang agar perempuan penyelenggara pemilu bisa lebih kuat dan tak terus terpinggirkan.

Setidaknya untuk terus mengawal pengisian keanggotaan KPU dan Bawaslu di provinsi dan kabupaten/kota agar tak berujung ironi serupa. Sebab, demokrasi tanpa keterlibatan perempuan adalah defisit yang pasti membawa kerugian.

Oleh:
Titi Anggraini

Pembina Perludem, Mahasiswi Program Doktoral FH UI

Sumber: https://news.detik.com/kolom/d-5967354/jalan-terjal-perempuan-penyelenggara-pemilu.

You may also like...