(Jangan) Melantik Caleg Terpilih Pecandu Narkotika

DEWI fortuna tampaknya sedang tidak berpihak kepada RT. Calon anggota legislatif  (Caleg) terpilih, DPRD Kota Makassar yang diusung oleh partai berlogo Kabah itu, terseret dalam dugaan pecandu narkotika. Di rumah kediaman ia  diamankan oleh anggota satuan Reserse Narkoba Polrestabes Makassar beserta dengan barang bukti yang telah digunakanya, alat hisap  dan dua sachet sabu-sabu.

Pertanyaan yang mengemuka kemudian dibalik kasus RT, adalah: (1) Apakah sebagai calon anggota DPRD Kota Makassar terpilih masih dapat dilantik dan disumpah sebagai syarat menduduki kursi jabatannya; (2) Apakah dengan serta-merta karena statusnya sebagai caleg terpilih, sehingga kepadanya tidak wajib menjalani rehabilitasi, terutama rehabilitasi medis.

Sumber Gambar: aksaraintimes.id

Dapat Dilantik

Kurang lebih pernyataan dari salah satu komisioner KPU Kota Makassar sudah tepat dalam perspektif yuridis. Bahwa meskipun RT saat ini terindikasi sebagai pecandu narkotika, namun karena belum terbukti sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, maka tidak ada halangan baginya untuk tidak dilantik, sebagai syarat untuk menyandang status anggota DPRD Kota Makassar.

Dapat dipastikan kalau pernyataan itu didasarkan Pasal 32 ayat 1 huruf c Junto ayat 2 huruf b PKPU Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Paslon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilu. Bukanlah didasarkan pada Pasal 426 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Dalam UU Pemilu sama sekali tidak diatur penggantian calon terpilih yang berakibat hukum pada pembatalan calon terpilih karena terbukti melakukan tindak pidana berupa penyalahgunaan narkotika. UU Pemilu hanya mengatur penggantian calon terpilih karena terbukti dalam tindak pidana berupa politik uang atau pemalsuan dokumen.

Alih-alih Peraturan KPU dalam pembentukannya yang selalu mendambakan pemilu berintegritas, sehingga kemudian dirancang se-progresif mungkin. Pada kenyataannya dalam kasus ini, KPU RI bisa dikata mengalami kecolongan guna mencegah Caleg yang tidak berintegritas gegara terlibat sebagai pecandu narkotika.

Andaikata klausula dalam Pasal 426 ayat 1 huruf c UU Pemilu, sebagai salah satu syarat penggantian calon terpilih karena tidak memenuhi syarat untuk menjadi anggota legislatif berhasil dijabarkan dalam kerangka hukum yang tepat, Caleg seperti RT sudah dapat dicekal dari awal, tidak akan mengikuti prosesi pelantikan dan penyumpahan.

Setepat-tepatnya yang dimaksud dengan “tidak lagi memenuhi syarat menjadi anggota legislatif” adalah terkait erat dengan syarat bakal calon anggota legislatif. Dan salah satu syarat bakal calon anggota legislatif, yaitu “bebas dari penyalahgunaan narkotika.”

Apa indikator dari bebas penyalahgunaan narkotika? Sudah cukup dengan melalui tes urine. Dalam konteks ini, kasus RT seandainya PKPU No. 5/2019 menjabarkan makna dari “tidak lagi memenuhi syarat menjadi anggota legislatif” dari Pasal 426 ayat 1 huruf c UU Pemilu include dengan persyaratan bakal calon anggota legislatif (Pasal 240 ayat 1 huruf h UU Pemilu). Riwayat pelantikan RT sebagai calon anggota DPRD Kota Makassar sudah pasti dinyatakan tamat, toh penyelidik yang menangani kasusnya sudah menyatakan kalau RT positif menggunakan narkotika.

Masih ada dua pilihan lain bagi RT agar tidak perlu lagi dilantik ke depannya. RT yang legowo mengundurkan diri, demi menjaga maruah partai yang telah mengusungnya. Atau kalau RT tetap bersikukuh dengan keinginanannya menduduki kursi anggota DPRD Kota Makassar, tangan besi sang ketua umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dapat memutuskan pemberhentian RT bukan lagi sebagai anggota partai.

Rehabilitasi Medis

Lain dengan status pelantikan RT, lain pula ceritanya dengan statusnya dia sebagai pencandu narkotika dalam hubungan dengan wajibnya untuk menjalani rehabilitasi medis.

Ini menjadi penting untuk diulas pula, mengingat adanya pernyataan Kabid Humas Polda Sulsel Kombes Pol Dicky Sondani di salah satu media online yang menegaskan, “tidak ada rehabilitasi bagi RT, karena jelas barang buktinya.” Betulkan pernyataan tersebut?

Lagi-lagi acuannya disandarkan bukan pada perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya ternyata, yaitu UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Akan tetapi didasarkan pada Surat Edaran Mahkamah Agung No. 04 tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.

Bahwa karena RT pada saat tertangkap tangan,  barang bukti pemakaian yang ditemukan berupa sabu melebihi dari 1 gram perhari, sehingga tidak layak  menjalani rehabilitasi medis sebagai wujud putusan pengadilan menjalani masa pemidanaan nantinya (angka 2 huruf b Sema No. 4 Tahun 2010).

Bagaimanapun Sema tersebut tetap bertentangan dari maksud dan tujuan kewajiban pemberian rehabilitasi bagi pecandu narkotika. Pertama, bukankah semangat pemberantasan penyalahgunaan narkotika, harus dimulai dari pihak produsennya. Mereka yang tergolong sebagai penyalahguna, entah sebagai pecandu atau korban penyalahguna, haruslah dilindungi. Dia dikategorikan sebagai orang sakit yang butuh akan penyembuhan melalui jalan rehabilitasi medis. Kedua, terobosan untuk menghilangkan konsep pemasaran supply and demand, antara produsen dengan pengguna narkotika, tentu kita harus mulai memutus sirkulasinya dengan menekan atau menghilangkan ketergantungan terhadap pengguna narkotika. Jika tidak ada konsumen, dapat dipastikan produsen dan bandar narkotika akan gulung tikar dengan sendirinya.

Dibutuhkan keteguhan prinsip bagi RT, sadar dan tahu diri, memilih jalan mundur dari penetapannya sebagai caleg terpilih. Lalu pada saat yang sama ia mesti diberikan kesempatan untuk menagih di hadapan hukum, dapat menjalani rehabilitasi medis demi masa depannya. Esok lusa masih terbuka dengan lebar, pintu-pintu kebaikan kepadanya untuk berderma bakti bagi kepentingan pembangunan bangsa dan negara.*

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...