Kasus Baiq Nuril

Prof. Romli Atmasasmita (nusantaranews.co)

KASUS pelecehan seksual yang menimpa seorang guru, Baiq Nuril (korban), oleh seorang kepala sekolah yang juga atasannya, kembali menarik perhatian ketika alam perkara pelanggaran Pasal 28 UU ITE, yakni tuduhan telah mencemarkan nama baik kepala sekolah, pada tingkat peninjauan kembali (PK) ditolak oleh Mahkamah Agung (MA). Dengan ditolaknya permohonan (korban), maka ia harus melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Di sisi lain, kasus ini berawal dari kasus pelecehan seksual yang seharusnya korban melaporkan tindak pidana berdasarkan KUHP, tetapi tidak dilanjutkan oleh pihak kepolisian. Kasus pelecehan seksual merupakan fenomena sosial yang terjadi setiap hari dan pasti masih banyak contoh kasus serupa, hanya tidak terekspose dan terekam media. Sekalipun sarana perundang-undangan dan prasarana kelembagaan telah dibentuk untuk tujuan perlindungan kaum rentan, khususnya perempuan, namun dalam kenyataan, kinerjanya belum efektif.

Dalam konteks kasus seperti ini, selain faktor hukum, perlu dipertimbangkan faktor nonhukum misalnya faktor latar belakang korban dan pelaku serta keikutsertaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagai ahli dalam sidang perkara pelecehan atas korban sejak di tingkat pengadilan negeri. Tampaknya majelis hakim sejak tingkat pengadilan negeri sampai pada MA hanya mempertimbangkan faktor hukum semata-mata, tanpa memiliki kehendak untuk mempertimbangkan faktor nonhukum. Hal ini disebabkan fungsi dan peranan hukum berdasarkan aliran pragmatic-legal realism dan sociological jurisprudence belum sepenuhnya dipahami.

Dua aliran ini pada hakikatnya menegaskan bahwa hukum merupakan ilmu yang dinamis, mengikuti perkembangan pandangan mengenai nilai kesusilaan dan keadilan dalam masyarakat. Komparasi dari dua aliran ini terdapat pada Pasal 5 ayat (1) (1) UU Nomor 48 Tahun 1999 tentang Kekuasaan Kehakiman di mana hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Ketentuan ini cocok dengan pendapat bahwa hukum tidak bersifat universal dan abadi (hukum alam) dan sejalan dengan hakikat dari suatu perkembangan, yaitu kemajuan dalam pemikiran atau pandangan masyarakat mengenai nilai kesusilaan dan keadilan.

Ketentuan pasal aquo merupakan “landmark” yang mencerminkan perubahan mendasar dan sekaligus pergeseran dari pandangan hukum sebagai suatu normatif-lex certa kepada hukum yang berfungsi mengubah pandangan masyarakat agar lebih baik dari keadaan sebelumnya (teori hukum pembangunan), serta hukum merupakan sistem nilai (teori hukum integratif). Arah politik hukum pidana harus memenuhi keseimbangan antara norma yang bersifat tekstual dan normayang bersifat kontekstual sehingga diharapkan ditemukan kepastian hukum yang adil.

Remmelink (2003) telah memperingatkan bahwa dalam penerapan hukum pidana hakim wajib mempertimbangkan 10 (sepuluh) asas hukum, selain asas legalitas, asas proporsionalitas, asas subsidiaritas, asas kepatutan (billijkeheid). Dari sisi asas legalitas, putusan PK Hakim MAtidak keliru, akan tetapi dari tiga asas hukum lainnya menjadi tidak tepat dengan alasan bahwa hukum tidak semata normatif (tekstual), melainkan hukum merupakan sistem nilai (system of values); sistem nilai Pancasila. Hukum dapat mengakibatkan viktimisasi dan juga stigmatisasi baik terhadap korban dan pelakunya. Dalam konteks inilah, maka hukum tidak berada pada ruang hampa, melainkan memiliki jiwa (spirit) menciptakan ketertiban, kepastian, dan keadilan.

Di dalam menghadapi kasus ini, ada beberapa hal yang perlu kita bersama renungkan ke depan, yaitu pertama, ajaran kausalitas dalam hukum pidana-tiada sebab tanpa akibat atau tiada akibat tanpa sebab serta siapa yang berbuat ia bertanggung jawab. Korban telah mengalami viktimisasi dan pelaku telah mengalami stigmatisasi; dua konsep yang sejatinya berseberangan, akan tetapi dalam kasus ini keduanya justru berdampingan satu sama lain. Keseimbangan perlakuan dan perlindungan hukum atas dua subjek hukum ini merupakan kewajiban aparat penegak hukum untuk mengkajinya.Selain itu, penegakan hukum atas kasus ini secara teoritik hukum masih dipersoalkan karena kasus ini pada hakikatnyaterkait kesusilaan, bukan hanyamasalah hukum itu sendiri.

Keadaan inimenempatkan kasus Baiq Nuril berada pada ruang abu-abu (grey-area) mengenaiapakah kasus pelanggaran pribadi seseorang dapat dipidana kesusilaan dapat dipidana atau apakah pelanggaran kesusilaan mutatis mutandis pelanggaran pidana? Perdebatan mengenai hal ini telah terjadi lebih dari sepuluh abad di Inggris di manakomite Wolfenden Parlemen mengemukakan kesimpulannya bahwa,“There must remain a realm of private morality and immorality which is, in brief and crude terms, not the law’s business”.

Lord Patrick Devlin, mantan menteri kehakiman Inggris dan seorang tokoh masyarakat, berbeda pandangan karena ia berpendapat seharusnya kesusilaan inherendi dalam hukum itu sendiri. Mengikuti pendapat Lord Patrick Devlin, pelanggarankesusilaan dapat dipidana.Penyelesaian secara normatif bukan solusi baik kini dan untuk masa depan hukum di Indonesia karena kesusilaan yang ditanamkan Pancasila, dasar negara sekaligus sumber dari segala sumber hukum bukanlah kesusilaan dalam pandangan individual sebagaimana tercermin dari perdebatan di Inggris, melainkan kesusilaan yang bersifat kolektif dalam arti kesusilaan menurut pandangan masyarakat.

Dalam konteks ini, maka seharusnya dilakukan penuntutan pidana terhadap pelakunya berdasarkan perbuatan tidak menyenangkan terlepas dari tidak mudahnya dari sisi pembuktian. Di sisi lain, tuntutan pidana terhadap Baiq Nuril itu absurd dan berlawanandengan bukan hanya keadilan bagi korban, melainkan juga dengan pandangan kesusilaan masyarakat. Solusi dari masalah inimemerlukan kearifan, baik pelaku maupun korban untuk menyelesaikan secara bersama tanpa keharusan negara turut campur ke dalamnya kecuali sebagai mediator.

Selain alasan tersebut, terbukti, hukum tidak dapat memberikan keadilan yang maksimal bagi perjuangan Baiq Nuril (korban) begitu pula bagi pelaku karena sanksi sosial tetap menggayut pada diri dan keluarganya. Terbukti, kehendak korban memperoleh keadilan melalui PK telah gagal dan untuk mengajukan PK kedua kali pun tidak mudah karena syarat PK kedua dalam SEMA Nomor 7 Tahun 2014 lebih sulit dipenuhikarena harus ditemukan putusan PK dalam perkara pidana yang saling bertentangan; lebih sulit dibandingkan dengan alasan untuk PK (Pasal 263 KUHAP).

Begitu pula syarat permohonan grasi hanyadapat dilakukan jika korban telah dijatuhi hukuman sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, sedangkan korban dijatuhi pidana 6 (enam) bulan.Pengajuan permohonan amnesti merupakan cara yang tepat sekalipun bukan untuk tujuan memaafkan yang dalam praktik lazim dilakukan terhadap pelaku kejahatan politik (political prisoners-Oxford Dictionary) yang telah diakui universal.Kasus ini memerlukan terobosan hukum (legal breakthrough) berpedoman pada adagium hukum, “hukum dibuat untuk manusia, bukan sebaliknya” (teori hukum progresif).

Bertolak dari kasus ini tampaknya jangkauan dan kemampuan hukum dalam hal pelanggaran kesusilaan amat terbatas, tidak ada hukum (buatan manusia) yang sempurna, tetapi aspek kemanfaatanyang akan menyempurnakannya.

 

 

Oleh:

Romli Atmasasmita 

Profesor Hukum Pidana

Opini Sindo, 15 Juli 2019

You may also like...