Sejarah Kedaulatan Rakyat

Sumber Gambar: bengkuluinteraktif.com

Seruan tiga ketua umum partai nasional tentang penundaan Pemilu 2024 mengundang pertanyaan: di manakah tempat kedaulatan rakyat?

Bagaimana proses evolusi kedaulatan itu di dalam sejarah? Dan bagaimana nasibnya dewasa ini?

Usulan penundaan pemilu oleh tiga ketua umum partai itu mengingatkan saya pada ucapan pencipta Sistem Tanam Paksa (1830-1870), Jenderal J van den Bosch (1780-1844), tentang rakyat Jawa: The intellectual development of average Javanese does not reach beyond that of our children of twelf to fourteen years (Perkembangan intelektual rata-rata orang Jawa tak mencapai taraf anak-anak kita berumur 12 hingga 14 tahun).

Ini terungkap dalam laporannya pada 1830-1833 yang terkonservasi dalam naskah-naskah Belanda terjemahan Chr LM Penders, Indonesia: Selected Documents on Colonialism and Nationalism 1930-1942 (1977). Dengan ini, Van den Bosch ingin mengawetkan posisi rakyat sebagai kawula yang memang telah mapan dalam sistem kekuasaan Mataram sebagaimana digambarkan Soemarsaid Moertono di State and Statecraft in Old Java (1981).

Di dalam sistem itu, sebagai kawula, rakyat Jawa bukan saja tak punya hak, melainkan dalam pandangan Van den Bosch juga hanya akan menimbulkan disorganisasi sosial jika sistem modern diterapkan. Sebab, semua itu tak akan tecernakan karena kecerdasan kawula tak lebih dari anak-anak Eropa. Maka, daripada membuat kebijakan reformasi seperti dilakukan Herman William Daendels (1762-1818) dan Thomas Stanford Raffles (1781-1826) sebelumnya, lebih ”efisien” memanfaatkan otoritas elite tradisional untuk keuntungan ekonomi dalam Sistem Tanam Paksa, Belanda.

Di sini, kita melihat ada kontradiksi penegakan kedaulatan rakyat dengan kepentingan aliansi elite tradisional dan kolonial. Bisa dimengerti jika perjuangan membangun kedaulatan rakyat itu berlangsung panjang dan dengan susah payah. Jalan ceritanya bisa kita singkat seperti ini. Setelah lebih kurang 90 tahun Madura di bawah kolonialis Belanda, seperti terlihat dalam disertasi Kuntowijoyo, ”Social Change in Agrarian Society: Madura, 1850-1940” (1980), baru tumbuh lapisan kecil kaum terpelajar yang identifying themselves more as a subject ratter than a governing class (lebih mengungkapkan diri sebagai pelaku otonom daripada kelas yang memerintah).

Seingat saya, sejarawan Kuntowijoyo inilah yang merumuskan evolusi kedaulatan rakyat melalui pergerakan sosial-politik dan ekonomi ”umat Islam”. Dalam bukunya, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia (1985), Kuntowijoyo memaparkan fase-fase kesadaran kedaulatan rakyat di mana ”umat Islam” mendefinisikan diri sebagai kawula di bawah elite tradisional.

Oleh proses sejarah, di bawah pengaruh Sarekat Islam (SI) yang lahir 1912, mereka mulai mendefinisikan diri sebagai wong cilik. Setelah mengalami fase kesadaran ”umat-non-umat”, sejak 1942 di bawah pendudukan Jepang dan, terutama setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, ”umat”, tulis Kuntowijoyo, ”mendefinisikan diri dalam rumusan baru, yaitu sebagai warga negara”. Ini penting ditegaskan karena sejak itu hubungan kekuasaan terjadi dalam bentuk ”antara negara dan warga negara”. Dari sinilah lahir kedaulatan rakyat.

*Kedaulatan rakyat, partai, negara*

Semua ini berkaitan dengan kehadiran partai politik. Secara sosiologis-antropologis, lompatan kesadaran dari kawula, wong cilik, dan warga negara bukanlah sesuatu yang sederhana. Untuk sampai pada kesadaran itu, perlu usaha keras meruntuhkan kekuasaan tradisional pribumi dan negara kolonial modern. Jaringan kuno ”bapak-anak buah” pada tingkat akar rumput juga menstrukturkan sistem tingkah laku rakyat selama ratusan tahun.

Studi James C Scott, ”The Erosion of Patron-Client Bonds and Social Change in Rural Southeast Asia” (Journal of Asian Studies, 1972), memperlihatkan betapa kuat pola ikatan ”bapak-anak buah” ini. Pola hubungan patron-client ini menandai loyalitas personal rakyat ke elite lokal karena ketergantungan ekonomi dan sosial-budaya. Secara struktural, pola hubungan semacam ini, ujar WF Wertheim (From Aliran Toward Class Struggle in the Countryside of Java, Pacific Viewpoint, 1969), terjadi karena absennya public administration yang menciptakan hukum dan regulasi impersonal.

Ini berarti rentang waktu daya hidup pola patron-client ini tak terbayangkan. Sebab, kecuali mungkin di akhir masa negara kolonial modern, rakyat telah ratusan tahun di bawah kekuasaan elite tradisional dan kolonial tanpa perlindungan hukum memadai. Ini berarti, hanya dengan menerapkan ”strategi” patron-client relationship rakyat menemukan perlindungan sang ”bapak” di tingkat lokal. Ini menjelaskan mengapa loyalitas personal kuat bertahan di masyarakat. Sepanjang absennya substitusi pola hubungan ini, kesadaran kedaulatan rakyat tak terbentuk.

Di sinilah parpol mengambil peran menentukan, dengan mengambil alih posisi patron (sang ”bapak”), seperti dilakukan SI sejak 1912. Maka, sejarah kedaulatan rakyat harus selalu dikaitkan dengan kelahiran partai-partai politik karena mereka bertindak sebagai kekuatan sosiologis-historis yang berhasil merombak struktur kekuasaan tradisional, kolonial, dan patron-client relationship sekaligus. Parpol, dengan demikian, sejak dekade pertama abad ke-20, menanamkan konsep kedaulatan rakyat dan sekaligus dengan itu, meski tak berhasil dengan sempurna, menciptakan loyalitas lebih luas melintasi lokalitas yang ratusan tahun berlaku, dengan merekrut rakyat menjadi anggotanya.

Tentu, dalam struktur jaringan patron-client relationship ini, penggelaran kekuatan parpol ini punya implikasi sosiologis-antropologis yang disebut James Scott sebagai vertical solidarity. Dalam arti, kendati partai-partai itu berhasil menanamkan kesadaran kedaulatan di dalam benak rakyat, mereka gagal menciptakan horizantal solidarity. Maka, meski peranan dan wibawa sang ”bapak” pada tingkat lokal berhasil diambil alih, atau bahkan, ”dipinjam”, solidaritas yang terbentuk bersifat vertikal.

Fenomena sosiologis-antropologis politik inilah yang disebut Clifford Geertz dalam The Social History of An Indonesian Town (1975 [1965]), sebagai aliran. Kendati demikian, partai-partai yang menanamkan kesadaran kedaulatan berhasil mengangkat rakyat secara langsung bertemu dengan negara.

Maka, sejak Demokrasi Parlementer (1945-1959) dan Demokrasi Terpimpin (1959-1967), rakyat turut menentukan arah kebijakan negara melalui apa yang disebut Karl D Jackson dalam Bureaucratic Polity (Karl D Jackson dan Lucyan W Pye, ed, Political Power and Communication in Indonesia, 1978), mass interest articulation. Di sini, bergerak melampaui kesadaran lokalitas dan personal, dalam acara-acara yang diorganisasikan parpol, rakyat yang telah merasa memiliki tanggung jawab pada kemaslahatan publik turun ke jalan-jalan menuntut kebijakan negara yang konstruktif dan memihak kepada mereka.

Dan, dalam siklus lima tahun, rakyat mengunjungi kotak-kotak suara untuk secara langsung menentukan partai atau golongan mana yang berhak memegang tampuk pimpinan negara.

Betapa pun terasa ingar-bingar gerakan ini, fenomena itu harus kita hayati secara mendalam. Sebab, bukankah selama ratusan tahun rakyat hanya berstatus kawula yang ditindih dua lapis kekuasaan (tradisional dan negara kolonial modern) serta satu sistem hubungan sosial, yaitu patron-client relationship? Maka, eksistensi partai-rakyat secara struktural bersimbiosis secara ekonomis. Iuran dan sokongan anggota bisa memperpanjang napas partai.

*Partai dan kedaulatan rakyat*

Kedaulatan rakyat terguncang akibat depolitisasi negara Orde Baru (1967- 1998). Ini tidak hanya memotong sincerity (ketulusan) anggota pendukung partai, tetapi juga menekan posisi mereka (termasuk Golkar) tanpa basis massa riil. Hadir hanya sebagai ”pelengkap”, partai-partai dan Golkar berbalik menjauh dari rakyat dan, ironisnya, jadi ”juru bicara” negara. Depolitisasi negara Orde Baru, dengan demikian, adalah pengingkaran terhadap kedaulatan rakyat.

Namun, depolitisasi Orde Baru itu didasarkan pada pandangan ”pembangunan ekonomi”, dan karena itu relatif ”absah” mengabaikan kedaulatan rakyat. Persoalannya apakah kualitas kedaulatan rakyat itu meningkat dalam penanganan parpol masa Reformasi 1998? Jika mengacu ke seruan pengunduran pemilu oleh tiga ketua umum parpol di atas, maka sulit mengatakan ”ya”.

Di sini, saya tak setuju dengan banyak pandangan Henk Schulte Nordholt, dalam Renegotiating Boundaries Access, Agency and Identity in Post-Soeharto Indonesia (Bijdragen tot de Taal, Land-en Volkenkunde, 2003), ihwal kualitas transisi kekuasaan pasca-Orde Baru sebagai from order to disorder atau messy state. Namun, saya tak bisa membantah pandangan soal kualitas politik Indonesia dewasa ini: corrupt power politics, short-term opportunism, and the absence of widely shared vision of the future.

Terutama pada aspek short-term opportunism inilah kita melihat tingkah-laku partai-partai yang menyepelekan kedaulatan rakyat. Praktik ”demokrasi” masa Reformasi justru mendorong pragmatisme rakyat. Terjadi ironi mencengangkan di sini. Sementara sistem keanggotaan partai melenyap, rakyat justru berharap dapat kelimpahan rezeki pada setiap pemilu. Ini membuat proses politik menjadi kerja transaksional dan mahal. Lalu, dari mana sumber daya ekonomi partai di situasi semacam ini?

Jawabannya, perebutan akses atas sumber daya ekonomi yang berada di bawah kontrol negara; migrasi modal kaum kapitalis yang telah telanjur besar di masa Orde Baru ke dalam dunia politik; mengandalkan belanja partai pada orang-orang kuat secara sosial-budaya dan ekonomi dan wakil-wakil mereka di pos-pos pemerintahan. Melalui wewenang atau otoritas tokoh dan kader yang ada di dalam ataupun luar pemerintahan inilah yang kini basis ekonomi partai-partai politik berada.

Pada hemat saya, ini yang mendorong kemerosotan kedaulatan rakyat. Perubahan basis material ekonomi partai seperti yang berlangsung dewasa ini kian menyingkirkan rakyat sebagai aktor politik yang sebenarnya. Mungkin, fase ”kejayaan” kedaulatan rakyat pernah berlangsung di dua tahap berbeda. Pertama, sepanjang musim Pemilu 1955 dan 1957. Pada periode Demokrasi Parlementer, kedaulatan rakyat dihormati lewat Pemilu 1955 dan pemilu susulan 1957. Kedua, Pemilu 1999 pada masa Habibie (1998-1999) dengan penghormatan atas kedaulatan rakyat yang bisa dikatakan setara dua pemilu masa Parlementer. Di sini, walau beda sistem politik, ekspresi kedaulatan rakyat terbuka secara bebas.

Namun, kedaulatan rakyat ini tak berlangsung lama. Berbeda dengan masa Orde Baru, parpol dewasa ini ”naik kelas” di mana tak satu pun pemerintahan bisa stabil tanpa mengakomodasikan mereka. Ini bukan saja mendorong aliansi elite dan melemahkan kedaulatan rakyat, melainkan juga membuat proses politik menjadi transaksional.

Inilah, antara lain, pangkal merosotnya kedaulatan rakyat. Sifat politik yang kian transaksional mengurangi hasrat parpol mengintensifkan hubungan dengan rakyat. Mengalami depolitisasi di masa Orde Baru, rakyat cenderung melihat peluang ekonomi di setiap pemilu. Suara rakyat yang diberikan ke partai berubah jadi ”komoditas” yang dijualbelikan. Dan sebagai ”komoditas”, sepenuhnya tergantung ”pembeli” penggunaan suara rakyat yang telah diperoleh dengan cara transaksional itu.

Maka, yang ironis adalah tak ada kebutuhan esensial bagi parpol untuk mengintensifkan hubungannya dengan rakyat, apalagi harus mendengar suara dan aspirasi mereka. Yang justru harus dijaga dengan kontinu adalah aliansi parpol dengan kalangan yang telah telanjur kaya (dan semakin kaya dalam masa Reformasi). Sebab, dengan itu, eksistensi kekuasaan bisa terus dipertahankan. Dalam perspektif inilah kita melihat dasar politik-ekonomi seruan pengunduran pemilu oleh ketiga ketua umum tiga partai. Kontras dengan usaha partai politik sebelum kemerdekaan dan beberapa dekade setelahnya yang berusaha sepenuh hati membangun dan menjaga kedaulatan rakyat, partai-partai dewasa ini lebih cenderung membangun konsolidasi kekuatan bersama elite.

 

Oleh:

FACHRY ALI

Salah satu pendiri Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha (Lspeu Indonesia)

KOMPAS, 7 April 2022

 

 

Sumber

https://www.kompas.id/baca/artikel-opini/2022/04/06/sejarah-kedaulatan-rakyat

You may also like...