Kehadiran Relawan Demokrasi, Ilegal

Sumber Gambar: antaranews.com

BERDASARKAN Surat Edaran KPU RI Nomor 32/PP.08-SD/KPU/I/2019 sudah dapat dipastikan bahwa semua KPU Kabupaten/Kota setanah air telah melakukan perekrutan Relawan Demokrasi. Tak tanggung-tanggung, instruksi KPU RI kejajarannya (KPU Kabupaten/Kota) mewajibkan agar dalam perekrutan itu, dilantik maksimal 55 orang relawan untuk mewakili keseluruhan basis pemilih di tiap daerah. Banyak pastinya pihak yang tidak mengetahui dan memahami kalau organ tersebut, dalam perspektif hukum kelembagaan negara atau hukum tata negara layak disoal keabsahannya.

Dengan memberikan argumentasi hukum, bahwa Relawan Demokrasi sudah pernah dibentuk dan berjalan normal di pemilu 2014 sebelumnya, termasuk sudah berfungsi dalam beberapa ajang perhelatan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Saya kira itu bukan alasan yang memiliki “rasio hukum” untuk memberikan legitimasi kepada KPU, berwenang tidaknya membentuk Relawan Demokrasi. Legalitas bukan dibentuk berdasarkan kebiasaan, tetapi berdasarkan undang-undang

Tidak Berwenang

Dengan menelusuri seluruh ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu; sudah jelas, tidak ada satu pasalpun memberikan kewenangan kepada KPU RI dapat membentuk peraturan pelaksanaan terkait dengan organ yang akan melaksanakan pendidikan politik bagi pemilih. Tidak ada satu pasalpun yang memberikan kewenangan kepada KPU RI dapat mendelegasikan pembentukan Relawan Demokrasi di tiap KPU Kabupaten/Kota.

Tidak ada satu pasalpun yang juga memberikan kewenangan kepada KPU Kabupaten/Kota bahwa dalam rangka meningkatkan partisipasi pemilih dapat membentuk Relawan Demokrasi. Bahkan tidak ada satu pasalpun yang menyinggung tentang keberadaan Relawan Demokrasi dalam UU Pemilu.

Dengan tidak adanya kewenangan yang diberikan oleh UU Pemilu kepada KPU untuk dapat membentuk Relawan Demokrasi, maka dapat disimpulkan bahwa selain KPU telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan, juga organ bernama Relawan Demokrasi merupakan organ yang tidak sah. Seluruh tugas dan kewenangan relawan demokrasi yang mengacu pada surat edaran dan petunjuk pelaksanaan merupakan kewenangan yang cacat, sehingga segala tindakannyapun terpenuhi sebagai perbuatan penyalahgunaan kewenangan.

Dan pada titik tertentu, ada pasti pemangku kepentingan yang akan menyangga pernyataan  di atas. Dengan dalil: Bukankah Pasal 448 UU Pemilu secara tegas menyatakan “pemilu diselenggarakan dengan partisipasi masyarakat dalam bentuk sosialisasi pemilu dan pendidikan politik bagi pemilih? Ketentuan itulah kemudian yang diturunkan dalam Pasal 15 ayat 2 huruf (f) PKPU No. 10/2018: “Pendidikan pemilih dapat dilakukan melalui pembentukan agen atau relawan demokrasi.” Dan mengenai syarat dan tata cara perekrutan relawan demokrasi kemudian diatur dalam Surat Edaran dan Petunjuk Pelaksanaan yang telah diterbitkan oleh KPU RI.

Terhadap dalil tersebut, sekali lagi tetap tidak berdasar hukum dengan dasar argumentasi, yaitu: Pertama, memang KPU diberikan kewenangan untuk menjalankan fungsi pendidikan politik bagi pemilih, namun ia tidak diberikan kewenangan oleh UU Pemilu untuk membentuk Relawan Demokrasi. Kedua, PKPU sebagai bentuk peraturan pelaksanaan (ius operatum) tidak dimungkinkan untuk menuangkan kewenangan-kewenangan baru. PKPU dalam batas-batasnya hanya bisa mengatur lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pemilu, dalam hal ini tata cara melaksanakan pendidikan politik bagi pemilih. Ketiga, adalah kesewenang-wenangan yang potensial melahirkan tirani dan otoritarian, manakala suatu lembaga yang bisa memberikan kewenangan untuk dirinya. Siapalah yang bisa menduga, esok hari KPU RI tiba-tiba membuat kewenangan untuk dirinya, dialah yang berwenang melantik presiden dan wakil presiden terpilih, maka pasti banyak pihak yang keberatan. Keempat, lahirnya surat edaran dan petunjuk pelaksanaan tata cara perekrutan relawan demokrasi menyimpang dari asas atributif dan kaidah hukum positif. Surat edaran atau petunjuk pelaksanaan tersebut telah bertentangan dari UU yang lebih tinggi. UU Pemilu dengan tegas memberikan tugas pendidikan politik pemilih kepada KPU RI, KPU Provinsi, Kabupaten/Kota, PPK, dan PPS, bukan kepada Relawan Demokrasi.

Jika KPU beserta jajarannya sudah diberikan tugas itu, lalu kemudian membentuk lagi Relawan Demokrasi untuk melimpahkan tugasnya, bukankah itu namanya pemborosan anggaran ditengah cita-cita menyelenggarakan pemilu berbiaya murah. Alih-alih mengganti kotak suara aluminium dengan kota suara kardus untuk berhemat, namun pada saat yang sama justru melakukan pemborosan anggaran dengan harus menggaji sebanyak Rp.750 ribu, dari 55 orang Relawan Demokrasi di setiap Kabupaten/Kota.

Bubarkan!

Masih ada waktu bagi KPU untuk berbenah, sebelum banyak pihak yang mempersoalkan kehadiran Relawan Demokrasi di tiap daerah. Suatu pilihan yang memang sulit, mau tidak mau Relawan Demokrasi yang sudah dibentuk saat ini harus dibubarkan, sebab keberadaannya berasal dari wewenang yang tidak sah. Suatu organ ilegal yang hanya akan menghabiskan anggaran, tidak sah pula untuk bertindak dan menjalankan tugas pendidikan politik bagi pemilih.

KPU RI beserta jajarannya harus berani dan teguh pada amanat UUD NRI 1945 dan UU Pemilu, dialah organ yang bersifat tetap, nasional dan mandiri untuk menjalankan fungsi pendidikan politik bagi pemilih. Memang tugas tersebut bukan perkara gampang, tetapi anda sudah dibayar mahal oleh negara, maka anda tidak boleh beralasan sulit melaksanakannya.

Dengan membiarkan relawan demokrasi hadir tanpa substansi hukum yang mapan, sama saja membiarkan terjadinya korupsi berlanjut. KPU RI beserta jajarannya telah melakukan perbuatan secara bersama-sama dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain (baca: relawan demokrasi) menyalahgunakan kewenangan yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan negara.*

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...