Kekerasan Seksual tanpa Perkosaan

Sumber Gambar: monitorindonesia.com

Proses perumusan hukum Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau RUU TPKS adalah jendela yang memperlihatkan bekerjanya politik hukum di Indonesia.

Terdapat tarik-menarik antarkelompok kepentingan disertai klaim atas nama tafsir agama atau tafsir doktrin hukum di satu sisi dan kepentingan kemanusiaan korban kekerasan seksual di sisi lain.

Pengesahan UU TPKS ini telah menjadi peristiwa reformasi hukum penting bagi korban, pendamping, dan masyarakat luas. Isinya meliputi rumusan soal tindakan pencegahan, penanganan dan pemulihan, serta kewajiban pemerintah daerah untuk terlibat.

Namun, UU ini menyisakan persoalan tidak sederhana karena ditiadakannya pasal tentang pemerkosaan, yang adalah esensi kekerasan seksual. Bagaimanapun, ide awal menginisiasi UU ini adalah keprihatinan terhadap banyaknya kasus pemerkosaan terhadap perempuan dan anak yang sukar dipulihkan karena kendala hukum, sosial, dan budaya.

Data berbasis bukti

Jarang sekali ada UU yang didasarkan data berbasis bukti yang begitu kuat seperti UU TPKS. Data didapat dari forum pengada layanan, rumah aman, dan bantuan hukum dari Sabang sampai Merauke, termasuk di wilayah terpencil. Mereka bekerja mandiri, tak tercatat, dan luput dari dukungan pemerintah (daerah). Masyarakat luas umumnya juga kurang responsif, malah menyalahkan korban, karena suburnya budaya patriarki bahkan pandangan misoginis, dan ketiadaan pengetahuan tentang hak asasi manusia; prinsip yang menyatukan masyarakat beradab di seluruh dunia.

Data dari banyak wilayah inilah yang dihimpun Komnas Perempuan, dilaporkan kepada publik dan diadvokasi. Tahun 2020 dan 2021 terdapat 3.484 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan langsung kepada Komnas Perempuan (Komnas Perempuan, 2022). Tak terbilang yang tak terlaporkan. Tak mengherankan jika gerakan perempuan berhasil merumuskan definisi kekerasan seksual yang begitu komprehensif karena didapat dari data berbasis bukti sehingga tak ada tindakan kekerasan seksual sekecil apa pun yang bisa lolos dari definisi.

Demikian pula jenis tindakan kekerasan seksual yang begitu rinci, didapat dari ratusan ribu kasus nyata di lapangan yang mereka tangani, termasuk yang dilaporkan ke Komnas Perempuan.

Namun, justru usulan draf awal tentang definisi dan jenis kekerasan seksual inilah yang terus-menerus dipolitisasi, ditolak oleh individu ataupun fraksi, sehingga RUU selama sepuluh tahun ”mangkrak” di parlemen.

Politisasi terhadap konsep kekerasan seksual berkisar pada dua unsur kekerasan seksual, yang memang ada dasar literatur dan data berbasis buktinya, yaitu ketiadaan consent atau persetujuan korban, dan relasi kuasa. Padahal, tanpa adanya kedua unsur itu, kekerasan seksual memang tak ada. Ketiadaan consent adalah pemaksaan, dan karena itu menjadi kejahatan yang harus dihukum.

Dalam kasus kekerasan seksual, ketiadaan consent dari korban terjadi dalam relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan korban. Itu sebabnya, justru soal consent harus diabaikan apabila korbannya adalah anak di bawah umur, penyandang disabilitas, sakit, (dibuat) tidak berdaya, tidak sadar. Dalam situasi khusus ini, apabila korban tidak memberikan reaksi apa pun terhadap kekerasan seksual terhadapnya, kekerasan seksual harus dianggap tetap terjadi.

Karena gaduhnya penolakan terhadap rancangan UU TPKS yang didasarkan pada ketidaksetujuan terhadap kedua unsur dalam definisi ini, maka dalam draf terakhir telah dilakukan penyesuaian. Sama halnya dengan pasal-pasal lain yang dihilangkan atau disesuaikan seperti jenis tindak kekerasan seksual dan pemulihan korban. Ini memang realitas politik hukum Indonesia, di mana tafsir terhadap agama bisa dilekatkan pada soal apa saja yang tidak disetujui.

Hilangnya pasal pemerkosaan

Dari banyaknya kasus pemerkosaan di sejumlah wilayah, sangat sedikit yang sampai ke pengadilan karena beratnya beban pembuktian yang dipersyaratkan Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Jika tidak ada bukti, maka tidak ada kasus. Tindakan pemerkosaan dianggap sama seperti tindak pidana umum lain, seperti pencurian. Padahal, relasi kuasa antara pelaku dan korban adalah faktor yang tidak memberanikannya untuk melawan dan mengadu, apalagi mengupayakan pembuktian medis.

Pelaku kekerasan seksual terbanyak justru orang yang dikenal korban, seperti di ranah rumah tangga, sekolah, kampus, bahkan sekitar tempat ibadah. Jarak dan keterpencilan wilayah juga penyebab kasus tidak bisa dilaporkan dan tersembunyi. Misalnya dua anak perempuan umur tujuh dan lima tahun yang diperkosa ayahnya di desa terpencil dan miskin di Pulau Buru. Seorang anak meninggal, dan satu lagi dirawat di rumah sakit. Di wilayah itu tidak ada forum layanan, rumah aman, dan hanya ada rumah sakit sederhana. Bantuan dan dampingan jarak jauh dilakukan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan aktivis dari Ambon.

Hilangnya pasal tentang pemerkosaan untuk didefinisikan dan diatur, hanya disebut saja dalam UU Pasal 4 Ayat 2, didasarkan alasan doktrin hukum. Pemerkosaan sudah diatur dalam Rancangan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pertanyaan pertama adalah apakah pembaruan norma hukum untuk tujuan mengubah masyarakat ke arah yang lebih baik, lebih melindungi kemanusiaan korban, harus hanya diatur dalam satu UU umum saja?

Kedua, apabila diatur dalam KUHP, artinya hukum acaranya akan tunduk pada KUHAP. Padahal, kesulitan korban pemerkosaan mendapatkan keadilan sejak Indonesia merdeka sampai hari ini adalah justru terkendala oleh KUHAP, yang membebankan pembuktian kepada korban sendiri.

Ketiga, bukankah dapat digunakan adagium lex spesialis derogat lex generalis, hukum yang khusus mengesampingkan hukum yang umum? Sekiranya pasal pemerkosaan ada dalam UU TPKS, apakah salahnya? Apalagi mengingat kekerasan seksual ini merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan, bukan soal kesusilaan, karena korbannya bisa kehilangan nyawa, cacat, dan trauma seumur hidup. Namun, karena pemerkosaan tidak diatur dalam UU TPKS ini, maka tak akan ada perubahan pengaturan terhadap tindak kejahatan pemerkosaan, yang padahal menjadi keprihatinan dasar dalam gagasan awal rancangannya.

Harus dirayakan

Bagaimanapun pengesahan UU TPKS harus tetap dirayakan. Di balik UU ini ada para perempuan dari Sabang sampai Merauke yang mengabdikan dirinya total untuk membela para korban.

Ketika draf UU sempat dicoret dari agenda prolegnas tahun 2020, mereka menyikapi dengan membuat Sidang Rakyat selama empat hari empat malam. Secara bergantian organisasi perempuan dari Aceh sampai Papua menyuarakan kekerasan seksual di wilayah masing-masing, bagaimana bentuk dan jenisnya, siapa pelakunya, dan bagaimana dampaknya bagi korban.

Gerakan perempuan inilah yang juga mengawal dengan saksama proses perumusan hukum di DPR sebagai ”fraksi balkon” dan ”fraksi jarak jauh”. Fenomena ini memperlihatkan bahwa reformasi hukum yang melibatkan partisipasi publik secara luas adalah keharusan bagi masa depan Indonesia yang lebih adil. Kerja keras pemerintah, panitia kerja DPR, dan gerakan perempuan seluruh Indonesia patut diapresiasi.

Oleh:

Sulistyowati Irianto

Guru Besar Antropologi Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia

KOMPAS, 14 April 2022

Sumber https://www.kompas.id/baca/artikel-opini/2022/04/13/kekerasan-seksual-tanpa-perkosaan

You may also like...