Kepada Perempuan yang Ditembak Mati Itu

Sumber Gambar: beritasatu.com

NAMAMU tidak kukenal, pun pula identitasmu. Kalaupun ketika identitasmu mulai menjadi terang-benderang dibeberkan ke publik, ruang kelam duniamu yang selama ini kau tutupi tidak akan pernah tuntas terselami. Paling-paling kami hanya tahu siapa namamu, dari mana asalmu, siapa orangtuamu, kamu termasuk jaringan teroris yang mana, dan sedikit informasi– tepatnya dugaan –mengapa kamu ingin memartirkan dirimu.

Soal keseharianmu, umumnya kami disuguhkan gambaran-gambaran positif semacam pribadi yang ceria, suka bergaul, perhatian, aktif di pengajian, ramah, ringan tangan, dan seterusnya. Aku menuliskan surat ini sebagai seorang laki-laki yang tak henti-hentinya mengajarkan etika feminis sebagai antitesis terhadap etika maskulin yang legalistik dan destruktif.

Ketika melihat tubuh rapuhmu tumbang diterjang peluru aparat, aku tak habis pikir soal sirnanya kehidupan yang gencar dipromosikan kaum perempuan. Bagiku– sama seperti juga yang aku kampanyekan kepada para mahasiswaku– perempuan itu penjaga kehidupan. Mereka ialah induk semang, ibu, rahim, sarang, dan rumah yang mempertahankan dan mempromosikan kehidupan. Gugurmu sebagai martir demi surga yang halusinatif itu memaksa otakku memberi makna baru pada etika feminisme.

Satu hal menjadi jelas, kematianmu bukanlah contoh sempurna dari perjuangan kamu feminis esensialis sekelas Mary Wollstonecraft atau Mary Daly, yang melihat feminisme sebagai perjuangan merebut ruang publik yang telanjur dikapling kaum laki-laki. Mungkin saja aku salah membaca kaum feminis esensialis ketika hendak memahami perjuanganmu. Bisa jadi engkau sedang berjuang merealisasikan cita-cita kaum feminis agar keutamaan-keutamaan perempuan bisa menjadi keutamaan-keutamaan sosial-publik.

Tapi pada titik ini pun kematianmu tetap mengaburkan akal sehatku. Bagian penting dari perjuangan kaum feminis esensialis ialah menjadikan keutamaan-keutamaan perempuan sebagai dasar bagi kehidupan bersama. Lalu, kaum perempuan berbicara tentang keutamaan kelembutan, kasih sayang, kepedulian, keterhubungan sosial, dan energi kehidupan sebagai ganti terhadap alam pikir dan laku publik yang terlanjur dikuasai etika kaum laki-laki yang formalistik dan destruktif.

Namun, sekali lagi, di titik ini pun aku tetap gagal memahami kematianmu. Tumbangnya tubuh rapuhmu pada pelukan ibu bumi terasa amat kontradiktif. Ibu bumi yang menjadi sumber kehidupan kini harus menyambut kembali jasad putrinya yang seharusnya memelihara kehidupan. Lalu, kepada rujukan mana kah nalarku harus kulabuhkan agar bisa memahami kematianmu?

Aku teringat perjuangan para filsuf/ahli etika feminisme dan kaum feminis di paruh terakhir abad ke-20, bukan untuk membela kematianmu yang kau maknakan sebagai tindakan kemartiran itu, melainkan untuk sedikit mengerti ruang gelap hidupmu.

Meskipun kami kaum laki-laki menerimanya secara skeptis, kaummu mengingatkan kami soal cara berpikir dan bernalar etika yang berbeda antara kita. Kaummu menuduh kaum kami sebagai kelompok yang mementingkan prinsip-prinsip moral formal dan legalistik. Kaummu juga menganggap kami kaum laki-laki sebagai orang-orang yang selalu mengabaikan konteks terjadinya sebuah peristiwa moral.

Dalam banyak hal, kami kaum laki-laki mulai menerima kelemahan kami, bahwa kami tidak mementingkan relasi, bahwa kami menonjolkan pertimbangan etika yang rasional. Alih-alih mempertimbangkan dampak tindakan, kami menomorsatukan kesesuaian tindakan dengan prinsip-prinsip moral.

Di aras inilah aku menemukan alasan yang masuk akal untuk memahami kematianmu, tetapi secara negatif sebagai sebuah antitesa terhadap kritik dan perjuangan kaum feminis itu sendiri. Aku yakin sudah lama kamu bergulat dengan pandangan-pandangan moral-teologis yang khas kaum laki-laki. Pandangan-pandangan itu sangat legalistik dan menonjolkan keberlakuannya yang universal. Engkau pasti terpapar dengan pikiran-pikiran dualistis antara beriman versus kafir, orang kita versus orang asing, surga versus neraka, dan pemujaan kematian versus pesona kehidupan.

Dalam pergulatan batinmu, engkau memilih memeluk kematian tidak sekadar sebagai jalan keluar bagi kehidupan yang menurutmu telah lama tercemar nestapa. Kematianmu, sama seperti yang dikampanyekan ideologi kemartiran, engkau maknakan sebagai jalan ‘penebusan’ bagi dunia.

Namun, di titik ini pula aku harus meminta maaf kepada para mahasiswa dan para pembacaku. Optimisme berlebihan pada perjuangan kaum perempuan dalam menyemai keutamaan-keutamaan feminis kini dinegasikan seorang perempuan yang sangat anti kehidupan. Kematianmu menyisakan lubang menganga yang harus kami selami. Sembari kami terus berusaha memaknakan peranmu yang lebih pro pada kematian sebagai sikap yang bertentangan dengan kodratmu, engkau di saat yang sama sedang ‘memaksa’ kami mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut kepada kaum feminis. Apakah kalian memang kaum yang mampu berpikir kritis, atau jangan-jangan makhluk yang hanya mementingkan perasaan sebagaimana dituduhkan kaum laki-laki sebelum abad ke-18?

Jika kalian mampu berpikir kritis dan rasional, mengapa tidak mampu menciptakan narasi-narasi kontra terhadap pemikiran-pemikiran destruktif kaum laki-laki ketika mereka menginjeksikan imajinasi surga sebagai hadiah bagi tindakan pengorbanan dirimu?

Ketika hendak mengakhiri surat ini, ingatanku terarah pada kata-kata seorang rekan filsuf; analisis peran dan perjuangan kaum feminis tidak berlaku dalam kultur yang menomorduakan peran perempuan. Masih menurut rekan filsuf itu, perjuangan kaum feminis hanya mungkin membuahkan hasil ketika pandangan-pandangan teologis yang legalistik dan dogmatik telah didekonstruksi.

Perempuan dalam tubuh yang terbujur kaku. Sambutlah surga yang dinanti-nantikan jiwamu dan biarkan kami terus berjuang bersama kaummu, membebaskan diri dari perangkap teologis yang destruktif. Perjuangan kami sedang dipertaruhkan persis ketika kegagalannya tidak hanya merugikan kaummu, tetapi kami semua yang pro pada kehidupan. Beristirahatlah dalam pelukan Ibu Pertiwi yang tampak menangis dalam bulir-bulir hujan yang jatuh. Ya, mereka meratapi pengkhianatanmu.

Oleh:

Yeremias Jena

Dosen filsafat dan etika di Unika Atma Jaya

 

Sumber: Opini Media Indonesia, 1 April 2021

You may also like...