Keterangan Saksi

Keterangan saksi merupakan alat bukti yang pertama yang disebut dalam  Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),  pada umumnya tidak ada perkara yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi.

Menurut Yahya Harahap (2002: 286) mengemukakan bahwa “hampir semua pembuktian perkara pidana selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping pembuktian dengan alat bukti yang lain masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

Sedangkan, Menurut Waluyadi (1999: 47), pengertian saksi adalah “orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri”.

Masalah keterangan saksi sebagaimana di uraikan dalam Pasal 185 KUHAP menegaskan:

1)      Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan didepan sidang pengadilan.

2)      Keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.

3)      Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila tidak disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.

4)      Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah, apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.

5)      Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja bukan merupakan keterangan saksi.

6)      Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan:

  1. Persesuaian antara keterangan saksi 1 dengan yang lain.
  2. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain.
  3. Alasan yang mungkin yang dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu.
  4. Cara hidup dan kesusilaan saksi dan segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.

7)      Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai dengan yang lain tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah, dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.

Pada umumnya seseorang dapat menjadi seorang saksi, namun demikian ada pengecualian khusus yang menjadikan mereka tidak dapat bersaksi, hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 168 KUHAP yang berbunyi: Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini maka tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi:

  1. Keluarga sedarah atau semendah dalam garis lurus keatas atau kebawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.
  2. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga.
  3. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.

Selanjutnya dalam Pasal 171 KUHAP juga menambahkan pengecualian untuk memberi kesaksian dibawah sumpah yakni, yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah ialah:

  1. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin.
  2. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali.

Oleh Andi Hamzah (2002 : 258-259) mengemukakan kriteria tentang syarat saksi dari anak tanpa sumpah dalam memberikan keterangan mengemukakan bahwa “Anak yang belum berumur lima belas tahun demikian orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila meskipun kadang-kadang saja yang dalam ilmu jiwa disebut psycophaat mereka tidak dapat dipertanggung jawabkan secara sempurna dalam hukum pidana, maka mereka itu tidak perlu diambil sumpah atau janji dalam memberikan keterangan  karena itu keterangan mereka hanya dipakai sebagai petunjuk saja.”

Orang-orang yang karena pekerjaan, harkat martabat, atau jabatannya dapat dibebasakan untuk memberi kesaksian, sebagaimana di atur dalam  Pasal 170 KUHAP berbunyi sebagai berikut:

1)   Mereka yang pekerjaan, harkat, martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal dipercayakan kepada mereka.

2)   Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut.

 

Sebagaimana yang telah diuraikan di atas bahwa keterangan saksi adalah apa yang saksi nyatakan di muka sidang mengenai apa yang ia lihat, ia rasakan, dan ia alami. Bagaimana terhadap keterangan saksi yang diperoleh dari pihak ketiga ? Misalnya pihak ketiga menceritakan suatu hal kepada saksi bahwa telah terjadi pembunuhan. Kesaksian demikian adalah disebut testimonium de auditu.

Sesuai dengan penjelasan KUHAP yang mengatakan kesaksian de auditu tidak diperkenankan sebagai alat bukti. Selaras pula dengan tujuan Hukum Acara Pidana yang mencari kebenaran materil, dan pula untuk perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia dimana keterangan seorang saksi yang hanya mendengar dari orang lain tidak terjamin kebenarannya, maka kesaksian de auditu atau hearsay evidence patut tidak dipakai di Indonesia. Namun demikian, kesaksian de auditu perlu pula didengar oleh hakim walaupun tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti kesaksian, tetapi dapat memperkuat keyakinan hakim yang bersumber pada dua alat bukti yang lain.

Dalam hal lain juga dalam KUHAP tentang prinsip minimum  pembuktian, sebagaimana di rumuskan dalam Pasal 183 KUHAP yang menegaskan “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia peroleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” demikianpun Pasal 185 ayat (2) menegaskan “keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”.

Argumentasi tersebut lebih kuat lagi jika diperhatikan  doktrin dari:

  1. D.Sions, keterangan saksi yang berdiri sendiri tidak dapat membuktikan seluruh dakwaan, tetapi suatu keterangan saksi dapat membuktikan suatu kejadian tersendiri”. (Andi Hamzah,1983:247)
  2. Yahya harahap (1987: 810) mengemukakan dengan bertitik tolak dari ketentuan Pasal 185 ayat (2) keterangan seorang saksi saja belum dapat dianggap sebagai suatu alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa (unus testis testis nullus).

Ini berarti jika alat bukti yang dikemukakan penuntut umum yang terdiri dari seorang saksi saja tanpa ditambah dengan keterangan saksi yang sah atau alat bukti yang lain, kesaksian tunggal seperti ini tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa sehubungan dengan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.

Adapun Saksi yang diajukan dalam sidang pengadilan ada empat jenis yaitu:

  1. Saksi yang diajukan oleh tersangka atau seorang terdakwa, yang diharapkan dapat memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya itu di dalam bahasa Perancis juga disebut Saksi a de charge dan
  2. Saksi yang diajukan oleh penuntut umum disebut Saksi a charge yaitu Saksi yang keterangannya memberatkan terdakwa, dan
  3. Saksi de Auditu yaitu saksi yang bukan menyaksikan dan mengalami sendiri tapi hanya mendengar dari orang lain.

 

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...