Keterangan Terdakwa

Tentu pertanyaan mendasar adalah mengapa keterangan terdakwa diletakkan pada urutan terakhir sebagai alat bukti. Demikian juga dalam setiap menguraikan keteranga saksi baik dalam berita acara penyidikan, penuntutan maupun persidangan selalu diakhir ia dimintai keterangannya perihal peristiwa tindak pidana yang ia sendiri lakukan.

Hal ini lebih pada pertimbangan psikologis (psychology and law, “Realibitas Kesaksian“ lih, Rahayu, 2004: 3) dari terdakwa agar tidak melakukan otoritas untuk mengubah alur atau kejadian tindak pidana. Hakim akan lebih gampang menarik kesimpulan setelah mendengar semua keterangan saksi korban, keterangan saksi yang melihat dan mendengar tindak pidana. Kemudian diikuti keterangan terdakwa untuk mengoreksi sekaligus memberikan keterangan yang dapat ditarik petunjuk dalam menyesuaikan telah terwujudnya tindak pidana.

Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang pengadilan tentang perbuatan yang ia lakukan atau ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri (Pasal 189 ayat 1 KUHAP). Dari uraian Pasal tersebut masih menyimpan sejumlah kesulitan. Tidak ada perbedaan atau penjelasan apakah pengakuan dapat dikategorikan sebagai keterangan terdakwa. Oleh Hamzah (2009: 273) mengemukakan bahwa keterangan terdakwa tidak perlu  sama dengan pengakuan, karena pengakuan sebagai alat bukti mempunyai syarat-syarat diantaranya:

  1. Mengaku ia yang melakukan delik yang didakwakan.
  2. Mengaku ia bersalah.

Sebagai solusi dari permasalahan tersebut, keterangan terdakwa harus ditafsirkan bahwa keterangan yang bernilai sebagai pengakuan maupun penyangkalan dapat dijadikan sebagai alat bukti. Yang penting keterangan tersebut dinyatakan di sidang pengadilan, mengenai perbuatan yang dilakukan, diketahui atau dialami sendiri, keterangan tersebut hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri, harus disertai atau ditunjang dengan alat bukti yang lain (Pasal 189 KUHAP)

 

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...