Ketika KPK tak Lagi Jadi Garda Terdepan Penanganan Korupsi

Sumber Gambar: youkepo.com

Problem korupsi dan penanganannya masih menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia. Salah satu buktinya terjadi baru-baru ini: pemangkasan hukuman oleh Mahkamah Agung (MA) terhadap kasus korupsi Edhy Prabowo, eks Menteri Kelautan dan Perikanan.

Selepas kejadian itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) mempertanyakan komitmen Mahkamah Agung (MA) terkait pemberantasan korupsi. Pemotongan tersebut dikhawatirkan menjadi multivitamin sekaligus penyemangat bagi pejabat yang ingin melakukan praktik korupsi, mengutip ulasan Tirto.

“Putusan Pengadilan Tinggi yang mengubah putusan Pengadilan Negeri kurang mempertimbangkan keadaan yang meringankan terdakwa sehingga perlu diperbaiki dengan alasan bahwa pada faktanya terdakwa sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan RI sudah bekerja dengan baik dan telah memberi harapan yang besar kepada masyarakat khususnya nelayan,” ujar majelis hakim MA dalam putusan kasasi, Rabu (9/3/2022).

Edhy sebelumnya terjaring dalam operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Selasa, 24 November 2020 kemudian ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan penerimaan hadiah atau janji terkait perizinan tambak, usaha, atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya tahun 2020.

Enam bulan setelahnya, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menjatuhkan vonis 5 tahun penjara kepada politikus Partai Gerindra itu. Edhy juga dihukum denda Rp400 juta subsider 6 bulan kurungan dan membayar uang pengganti sebesar Rp9,68 miliar dan USD770 ribu subsider 2 tahun penjara. Selain itu, majelis hakim juga mencabut hak politik Edhy selama 3 tahun terhitung sejak selesai menjalani masa pidana pokok.

Kasus Edhy pun berlanjut dengan pemberatan pidana menjadi 9 tahun penjara. Putusan itu dibacakan pada 1 November 2021 oleh hakim ketua Haryono bersama dengan dua hakim anggota, yaitu Reny Halida dan Branthon Saragih, seperti dilansir Kompas. Namun, hukuman tersebut kembali lagi menjadi 5 tahun setelah disunat oleh MA.

Kasus itu lantas menimbulkan pertanyaan yang terus menerus bergaung, bagaimana kinerja penegak hukum dalam menangani korupsi setahun ke belakang dan bagaimana kasus korupsi di Indonesia?

Kasus Korupsi Masih Merajalela

Pada 2021, Transparency International (TI) meluncurkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di 180 negara. Dalam laporan itu, skor Indonesia meningkat satu poin dibanding tahun sebelumnya, yakni menjadi 38. Namun, angka itu berada di bawah rata-rata global dan masih jauh mendekati 100 sebagai indikasi negara bebas korupsi.

Organisasi non-pemerintah yang berfokus pada isu anti korupsi tersebut menilai IPK berdasarkan persepsi tingkat korupsi sektor publik menurut para ahli dan pebisnis. Apabila meninjau IPK tahun 2021, tingkat IPK di seluruh dunia sedang mengalami stagnasi: 131 negara tak menunjukkan kemajuan signifikan dalam upaya melawan korupsi selama dekade terakhir.

Temuan TI didukung pula dengan masih rendahnya faktor absence of corruption (tidak adanya korupsi) dalam indeks negara hukum dari World Justice Project (WJP). Indonesia menempati posisi ke-14 dari 15 negara di Asia Timur dan Pasifik. Namun demikian, skor Indonesia tahun 2021 dalam faktor ini tertinggi sejak 2015.

Faktor tersebut mencakupi tiga bentuk korupsi, yaitu penyuapan, pengaruh yang tidak patut oleh kepentingan publik atau swasta, dan penyelewengan dana publik atau sumber daya lainnya yang terjadi di pemerintahan, baik pada level eksekutif, legislatif, yudikatif, militer, dan polisi. WJP mengukur indeks itu melalui survei terhadap 138 ribu rumah tangga beserta 4 ribu praktisi dan pakar hukum.

Kenaikan IPK dan dimensi absence of corruption dalam indeks negara hukum rupanya tidak serta merta menandakan kasus korupsi sepi. ICW menemukan sebanyak 209 kasus korupsi ditangani oleh penegak hukum selama Januari – Juni 2021. Kemudian sekira 482 orang dengan beragam profesi ditetapkan sebagai tersangka.

Di antara keseluruhan kasus itu, 8,5 persen merupakan pengembangan kasus dan 1,9 persen kasus diciduk lewat Operasi Tangkap Tangan (OTT). Menurut catatan ICW sepanjang 2021, jumlah OTT yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melandai pasca revisi Undang-Undang KPK pada 2019.

Masih dari laporan ICW, nilai kerugian negara yang ditimbulkan akibat korupsi terus meroket dari periode Januari – Juni semenjak 2017. Per semester pertama 2021, ICW menaksir total kerugian negara menyentuh Rp26,83 triliun.

KPK dalam Orkestrasi Pelemahan

Hasil penilaian ICW selama periode Januari-Juni 2021 menunjukkan kinerja kejaksaan dalam menangani kasus korupsi berada pada kategori cukup, sementara KPK buruk, dan kepolisian dalam kategori sangat buruk. Patut menjadi catatan, anggaran yang dikelola kepolisian untuk penindakan korupsi mencapai Rp290,6 miliar, lebih tinggi dibanding anggaran Kejaksaan dan KPK.

Menurut Gulfino Guevarrato, Peneliti Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA), ketidaksinambungan antara kinerja dengan anggaran itu disebabkan oleh performance-based budgeting yang tidak terimplementasi dengan baik.

“Ini seringkali terjadi, artinya bahwa persoalan sistemiknya adalah proses perencanaan anggaran di republik ini sifatnya formalitas bukan substansial. Yang penting ada aja dokumennya tapi tidak berkualitas,” ujarnya saat dihubungi, Jumat (1/4/2022).

Penilaian ICW didasarkan pada perbandingan target penanganan kasus yang mengacu pada Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran, Tahun Anggaran 2021 (DIPA TA 2021) dengan realisasi kasus yang ditangani. Sebagai contoh, jika persentase kasus yang ditangani sebanyak 41-60 persen, maka klasifikasi kinerja penegak hukum berada di kategori cukup. Sementara untuk kategori buruk adalah ketika persentase kasus yang ditangani mencapai 21-40 persen, dan sangat buruk ketika hanya 0-20 persen.

Sepanjang penelusuran ICW pada semester pertama 2021, KPK menangani 13 kasus korupsi dan menetapkan 37 orang tersangka. Namun, berdasarkan informasi dari situs resmi, KPK mengklaim sebanyak 35 kegiatan penyidikan dan 32 penetapan tersangka. Selama 2021, KPK melaporkan telah menyidik 232 perkara dengan proporsi 125 kasus pengembangan dan 107 sisanya perkara baru. Perlu dipahami bahwa bicara mengenai korupsi bukan soal seberapa banyak kasus yang ditangani melainkan juga mencermati kualitas penanganan korupsi, misalnya menyasar aktor kunci.

KPK di bawah kepemimpinan Firli Bahuri memang sedang banyak disorot. Mengacu pada jajak pendapat Kompas pada Februari 2022, sekitar 48,2 persen publik merasa tidak puas dengan kinerja lembaga antirasuah itu. Mereka merasa kinerja Dewan Pengawas tidak optimal (34,3 persen), jumlah OTT menurun (26,7 persen), dan sekitar 18,7 persen mengaku KPK kian banyak kontroversi.

Dinamika itu, menurut Kompas tentu tidak lepas dari respons Dewan Pengawas terhadap sejumlah pelanggaran kode etik yang melibatkan komisioner KPK dan sikap mereka terkait pelaksanaan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) Maret-April 2021 lalu.

Dewan Pengawas kala itu menyatakan dugaan pelanggaran etik oleh pimpinan KPK dalam pelaksanaan TWK tak cukup bukti. Padahal, Ombudsman RI dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendapati maladministrasi berlapis dan pelanggaran HAM dalam pelaksanaannya.

Menyusul revisi UU KPK, TWK tersebut dilakukan dalam rangka alih status pegawai KPK menjadi ASN. Hasilnya, sekitar 57 orang diberhentikan lantaran tidak lulus TWK. Pemecatan ini dinilai Bivitri Susanti, Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia, Jentera sebagai bagian dari orkestrasi pelemahan KPK, seperti disampaikan dalam diskusi publik daring “Dinamika Pemecatan dan Penataan Kepegawaian KPK,” Kamis (28/10/2021).

“Ada Sedikit Angin Segar Tapi Tidak Begitu Segar”

Menurut Gulfino, pengukuran statistik seperti IPK atau indeks negara hukum pada akhirnya hanya menjadi ukuran kuantatif yang menggambarkan permukaan. Sebab secara kualitatif situasi koruptif di Indonesia sudah mendarang daging.

“Faktor terjadinya korupsi itu, kalau kami melihat, setidaknya ada empat. Ketamakan, insan manusianya, kemudian penegakan hukum lemah karena ada peluang dalam sistem tersebut, dan memang karena adanya kesenjangan,” tukas Gulfino kepada Tirto, Jumat (1/4/2022).

Dalam aspek penegakan hukum, ketika bicara pemberantasan korupsi maka akan merujuk ke KPK, tapi tidak dengan hari ini. Gulfino bilang, terdapat polarisasi perubahan dari awalnya KPK sebagai garda terdepan, menjadi Kejaksaan yang menangani kasus-kasus besar seperti kasus Asabri, Jiwasraya, dan korupsi Bea Cukai.

“Jadi artinya bahwa ada angin segar tapi tidak begitu segar. Kalo kami melihat secara umum, track record-nya Kejaksaan dalam penanganan kasus korupsi di Indonesia masih belum segahar dan sebernas KPK. Secara pengalaman dalam beberapa tahun terakhir setidaknya sejak KPK dibentuk, lain cerita jika KPK hari ini,” ujarnya

Namun demikian, optimisme yang muncul adalah bahwa Kejaksaan memiliki banyak kaki di daerah. Kenyataan tersebut seharusnya bisa menjadi kolaborasi strategis antara Kejaksaan, KPK, dan Kepolisian dalam menangani kasus korupsi.

“Tapi sekali lagi yang perlu digarisbawahi bahwa jangan sampai kepentingan politik masuk di wilayah situ. Penegakan hukumnya harus dibuat steril. Kenapa dewi keadilan itu ditutup matanya kan filosofinya di situ, jadi tidak bisa melihat siapa dan siapa. Itu yang harusnya coba dipahami negarawan di republik ini supaya tidak cawe-cawe urusan di wilayah penegakan hukum,” tukas Gulfino.

Oleh:

Fina Nailur Rohmah

Reporter Tirto.id

TIRTO.ID, 14 April 2022

Sumber

https://tirto.id/ketika-kpk-tak-lagi-jadi-garda-depan-penanganan-korupsi-gqwE

You may also like...