Ketika Politik Citra Mengalahkan Kinerja

Tanpa terasa sudah setahun, perahu bernama “Indonesia” yang dinakhodai SBY dan Boediono menyeberangi lautan samudera. Belum juga tiba di tepian, terjangan ombak dan badai tak henti menggoyang perahu hingga nyaris “karam”. Sang nakhoda pun dipaksa bekerja keras untuk menyelamatkan perahu agar tidak karam dihempas badai.
Ditengah setahun perjalanan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II sejak dilantik Oktober tahun lalu, isu reshuffle kabinet kembali dimunculkan untuk menggoyang pemerintahan SBY-Boediono. Namun seperti yang terlihat, isu reshuffle tidak mampu menjatuhkan citra SBY dimata rakyat. Sekalipun survey terhadap elektabilitas terhadap SBY dikatakan turun, namun secara umum citra SBY masih lebih populer dibanding elit lainnya.
Tampaknya, tim politik pencitraan Istana “sukses” memainkan perannya untuk menjaga popularitas SBY. Sampai-sampai sebuah soal ujian CPNS disebuah departemen memasukan pertanyaan tentang judul lagu SBY. Terlepas dari unsur kesengajaan atau tidak, sudah cukup bagi seorang Tjipta Lesmana untuk menilai hal ini sebagai bentuk politik “jilat menjilat” dan budaya “menghamba” seorang “budak” terhadap “tuan”nya.

Politik Citra yang Kebablasan
Politik pencitraan secara berlebihan dan kebablasan terhadap seorang SBY telah menihilkan konsep presidensialisme untuk mewujudkan kinerja kabinet yang maksimal. Energi untuk membentuk citra SBY terlalu besar, kelewatan (over dosis) dan mengesampingkan hal yang lebih substansial, seperti pemberantasan korupsi dan pengurangan kemiskinan.
Konsep kinerja kabinet yang dibangun bukan mengutamakan aspek profesionalisme, namun faktor kedekatan dan politik utang budi. Akibatnya, beberapa Menteri tidak memiliki konsep kerja selama lima tahun kedepan. Konsep kerja biasanya hasil ciplakan dari menteri sebelumnya. Baru setahun usia kabinet, UKP4 telah berulang kali merilis raport merah pada beberapa kementerian. Termasuk kementerian hukum dan hak asasi manusia.
Semasa dua periode kepemimpinan, SBY cenderung mementingkan politik pencitraan. Dan terbukti bagaimana politik pencitraan yang dibangun mampu mempertahankan elektabilitas SBY. Hingga membuat SBY jadi “penyanyi dadakan” dengan membuat tiga album lagu. Termasuk harus merekayasa soal CPNS untuk memasukan pertanyaan tentang judul lagu SBY. Publik dihipnotis oleh politik citra yang ditampilkan bahwa selama Indonesia berdiri, hanya satu presiden yang berhasil membuat tiga album lagu, yaitu SBY. Dalam kasus soal CPNS, politik “pengkultusan” terhadap SBY oleh menterinya, menunjukan rendahnya integritas seorang bawahan terhadap atasannya.
Juga bagaimana politik citra dimainkan hingga membuat seorang Ruhut Sitompul melempar wacana amandemen kelima UUD 1945 untuk memperpanjang masa jabatan presiden menjadi tiga kali. Agar SBY mampu “oppo” untuk ketiga kalinya. Semuanya terjadi bukan secara kebetulan atau tidak disengaja. Melainkan sudah disetting sedemikian rupa untuk melanggengkan dinasti.
Inilah yang disebut Haryatmoko dalam buku Yasraf Amir Piliang, Transpolitika: Dinamika Politik didalam Era Virtualitas sebagai “politik citra”. Bagaimana momen kebenaran telah digantikan oleh momen citra. Sehingga politik terperangkap didalam permainan bebas citra dan teks. Dengan demikian, politik kehilangan fondasinya. Penciptaan citra dan manipulasi teks demi kekuasaan murni dengan menyembunyikan kebenaran itu sendiri (Y.A. Piliang: 2005).
Politik citra melalui manipulasi teks terhadap fakta yang terjadi ini dapat ditemui dalam kasus banjir badang Wasior. Bagaimana kemudian fakta tentang illegal loging yang menyebabkan banjir di Wasior, Papua Barat, dibantah dengan retorika bahwa banjir bandang di Wasior adalah gejala alam. Sementara data dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menemukan izin Hak Pengelolaan Hutan (HPH) oleh dua perusahaan kayu di Wasior sudah melampaui batas. Negara lebih melindungi pelaku illegal loging hanya karena pertimbangan devisa, ketimbang menegakan hak asasi rakyatnya sebagai pihak yang berdaulat.
Juga dalam rapor merah Polri terkait dugaan korupsi beberapa oknum jenderal Mabes Polri dalam kasus suap gayus tambunan. SBY lebih mengkonsentrasikan isu pada penggantian Kapolri ketimbang mendukung pemeriksaan terhadap aktor mafia kasus yang bermain dalam internal Mabes Polri untuk mensupport upaya reformasi kepolisian. Suara-suara yang menuntut SBY segera melakukan reformasi di tubuh Polri tidak diindahkan. SBY tidak mampu “melunakkan” Polri dengan mendorong reformasi Polri.

Berkuasanya Kaum Demagog
Lebih jauh, sistem politik yang terbangun selama dua periode pemerintahan SBY cenderung melindungi dan mempertahankan dominasi kaum demagog. Demagog dalam istilah Yunani kuno adalah para perusak sistem politik, penjilat, berwatak culas dan licik. Para kaum demagog ini bisa dari kalangan politisi, penegak hukum, pengusaha, dan lain sebagainya. Kaum demagog adalah musuh demokrasi.
Mahfud M.D., dalam tulisannya di Majalah Gatra pada 5 September 2007 menyebut para demagog adalah agitator-penipu yang seakan-akan memperjuangkan rakyat padahal semua itu dilakukan demi kekuasaan untuk dirinya. Demagog biasa menipu rakyat dengan janji-janji manis agar dipilih tapi kalau sudah terpilih tak peduli lagi pada rakyat, bahkan dengan kedudukan politiknya sering mengatasnamakan rakyat untuk mengeruk keuntungan. Hampir setiap hari rakyat melihat demagog, politisi perseorangan maupun institusi yang membohongi rakyat. Ada tokoh politik yang berpidato sampai mau menangis karena ingin membela rakyat, padahal pekerjaannya merampok hak-hak rakyat.
Secara umum, Indonesia dimasa kepemimpinan SBY, baik dalam KIB Jilid I maupun setahun perjalanan KIB Jilid II hanya membangun politik pencitraan, namun minus kinerja. Angka korupsi masih tinggi, tidak sedikit diantaranya dilakukan oleh kalangan penegak hukum. Retorika pemberantasan korupsi hanya dibangun dalam logika undang-undang, bukan berupaya menghilangkan cara berpikir koruptif para penyelenggara Negara. Amburadulnya sistem manajemen perhubungan memicu terjadinya kecelakaan (baik darat, laut, maupun udara) dalam intensitas yang cukup tiinggi. Serta beragam kasus lainnya yang hanya diselesaikan melalui pidato.

Koran FAJAR, Makassar, 21 Oktober 2010

Wiwin Suwandi, S.H., M.H.

Advokat, Pegiat Tata Negara dan Antikorupsi di ACC Sulawesi

You may also like...