Ketika Setya Novanto Melawan KPK

Dua perwakilan wilayah timur, dan kedua-duanya juga adalah alumni jas merah, Universitas Hasanuddin. Dua ayam jantan dari timur itu sedang “unjuk bicara” di hadapan wartawan, mengenai mangkirnya Ketua DPR RI cq Setya Novanto (Setnov) dari pemanggilan KPK.

Jusuf Kalla (JK) sebagai ring 02 RI mengatakan: “Kalau KPK tidak butuh (izin ke Presiden). Kalau polisi memang membutuhkan izin, tapi kalau KPK ada UU tersendiri kan Tipikor (tindak pidana korupsi) itu. Tentu tidak perlu izin presiden daripada itu.”

Senada dengan JK, Prof. Laode Syarif sebagai anggota komisioner anti rasuah (KPK) juga mengatakan: “Tidak (perlu izin Presiden) sama sekali kok, tidak harus izin. Baca saja aturannya kan itu juga sudah ada putusan MK, tidak mewajibkan adanya izin dari Presiden.”

Baik JK maupun Prof Laode dua-duanya keliru dalam berpendapat. Letak kekeliruan JK yaitu, mengatakan “….Tapi kalau KPK ada UU tersendiri kan Tipikor (UU Tindak Pidana Korupsi/PTPK) itu…” Padahal yang benar adalah UU KPK, sebagaimana diatur dalam Pasal 46 ayat 1, bahwa syarat mengenai harus adanya izin bagi “tersangka” pejabat negara tertentu untuk dapat dilakukan pemeriksaan, menjadi pengecualian kalau KPK yang akan melakukan pemeriksaan.

Sementara letak kekeliruan Prof. Laode yaitu dengan mengatakan “….Baca saja aturannya kan itu juga sudah ada putusan MK, tidak mewajibkan adanya izin dari Presiden…” Justru dengan pengujian Pasal 224 ayat 5 dan Pasal 245 ayat 1 UUMD3 (Undang-undang MPR, DPR, DPD & DPRD) dahulunya di MK (Mahkamah Konstitusi), majelis hakim MK pada intinya menyatakan bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana “inkonstitusional bersyarat” apabila tidak dimaknai harus dengan persetujuan (izin) Presiden. Berdasarkan Putusan MK Nomor 76/PUU-XII/2014 telah mengubah syarat pemeriksaan anggota DPR, yang dahulunya melalui persetujuan MKD (Mahkamah Kehormatan Dewan), berubah menjadi persetujuan Presiden.

Sumber Gambar: .terbitsport.com

Saksi Vs Tersangka

UU MD3 hanya mewajibkan perlu ada izin presiden bagi anggota DPR yang akan diperiksa dalam suatu perkara pidana, jika tujuan pemeriksaan itu terkait dengan pemanggilannya sebagai “status tersangka.”

Dan jika pemanggilannya dalam status sebagai “saksi” terhadap perkara pidana yang sedang diperiksa, tidak perlu ada izin presiden, sebab hal itu memang tidak diatur dalam UU MD3.

Untuk konteks ini, jika Prof. Laode menganggap bahwa saat Setnov dipanggil dalam status sebagai saksi oleh KPK, tidak perlu ada izin Presiden, pernyataannya dapat dibenarkan secara hukum.  Tapi hal itu juga, tidak perlu mengatakan kalau di Putusan MK tidak mewajibkannya, sebab yang pernah diputus oleh MK, hanya mengenai ketentuan “Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang “diduga melakukan tindak pidana” (-berstatus tersangka-). Bukan pemanggilan anggota DPR dalam status sebagai saksi.

Jadi, kuasa hukum (Setnov) keliru pula jika melawan (surat pemanggilan) KPK dengan mengatakan bahwa KPK harus ada izin Presiden, sebab yang mewajibkan harus ada izin Presiden hanya dalam hal pemanggilan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana.

Apa artinya DPR diduga melakukan tindak pidana? Adalah ia berstatus tersangka, karena hanya tersangkalah yang pantas dilekati “praduga melakukan tindak pidana. Semuanya itu terkait dengan perlindungan hak-hak seorang tersangka dari suatu postulat hukum presumption of innocence.

KPK Kuat

Sebenarnya KPK tidak perlu takut dengan perlawanan Setnov. KPK sudah cukup kuat jika ingin memanggil Setnov untuk kepentingan pemeriksaannya sebagai tersangka. Kekuatan KPK, selain dipagari dengan UU KPK juga mendapat legitimasi dari UUMD3 pula.

Pertama, berdasarkan Pasal 46 ayat 1 UUKPK, komisi anti rasuah benar-benar super body, sebab kalau ia ingin memeriksa seorang pejabat negara (DPR), kendatipun misalnya terdapat UU lain yang menyatakan bahwa untuk memeriksa anggota DPR harus ada persetujuan atau izin dari Presiden, UU lain itu dapat dikesampingkan. Lagi-lagi, ini menjadi lex specialist sekaligus super body KPK, untuk meringkus dan membuat para penggarong uang negara bertekuk lutut di hadapannya.

Kedua, Pasal 245 ayat 3 huruf c UUMD3, memberikan instruksi pemeriksaan bagi seorang anggota DPR dalam status pemanggilannya sebagai tersangka (dugaan) Tipikor, tidak perlu pula mendapat izin presiden. Pemeriksaan tindak pidana khusus, tidak perlu KPK mengikuti “prosedur khususnya.”

DPR dalam fungsi legislasinya, justru telah menciptakan senjata yang akan membunuh dirinya sendiri. Ternyata Ia tidak memasang tameng dan kuda-kuda, sekuat-kuatnya, saat akan diperiksa dalam suatu perkara tindak pidana korupsi, dengan selalu dan mau berlindung dibalik juba imunitasnya. Semua orang sama di depan hukum, dan impunitas itu berbahaya sebab akan melanggengkan kejahatan (impunitas simper ad deteriora invitat).

Silahkan Setnov dan kuasa hukumnya menguji UU KPK di MK, itu adalah hak konstitusionalnya. Tapi itu tidak dapat menjadi alasan hukum kalau pemeriksaan terhadap dugaan tindak pidana korupsi pengadaan E-KTP yang menyeret namanya, KPK harus jalan ditempat, sebab-musabab legalitas kewenangan pemeriksaannya terhadap pejabat publik tersangka sedang diuji di MK.

Berbahaya jika kewenangan suatu lembaga negara sedang dipermasalahkan, lalu dikatakan jangan bertindak dulu, sebelum ada vonis inkra pengadilan. Besok-besok, bagaimana kalau ada yang menguji pula kewengan MK dalam hal mengadili UU terhadap UUD NRI 1945? Lalu dikatakan jangan sidang dulu yang mulia (hakim MK), karena kami sedang menguji kewenanganmu.

Nah…! Itulah “parade” di negeri yang katanya sangat menjunjung tinggi asas negara hukum.*

You may also like...