Kiamat Menanti KPK

Badai sunami kian deras menghantam lembaga superbodi itu. KPK yang dipercaya sebagai lembaga yang akan tetap menyalakan lilin harapan. Harapan dari publik agar menyapu bersih setan-setan koruptor di negeri ini. Sepertinya harapan itu tinggal ilusi. Setan-setan koruptor semakin tertawa terbahak-bahak, tertawa riang melihat KPK kian hari semakin diperlemah, dilucuti, dipreteli, diamputasi, dihabisi, dibongsai bahkan dihancurkan eksistensi dan kewenangannya. Tidaklah berlebihan rasanya jika lembaga ini dikatakan tinggal menanti kiamat.

Ada yang mengatakan lembaga ini, hanya bersifat adhoc. Oleh karena itu ada baiknya jika KPK dibubarkan saja. Lembaga yang memang sengaja di bentuk, hanya bersifat sementara. Beberapa oknum di DPR dan para juris berujar “mari kita kembalikan kemandirian sistem peradilan pidana kepada kepolisian, dan kejaksaan.”

Namun setidaknya kalau kita mendengar jeritan (harapan publik). Pasti di hati mereka tersimpan sejuta asa. Mereka pasti bertanya, apakah kedua lembaga ini (kepolisian dan kejaksaan) masih dapat dipercaya di tengah banyak deretan kasus yang berbau “korupsi” menyeret kedua lembaga tersebut ? Bukankah di lingkungan kepolisian pernah terdengar isu korupsi “rekening gendut” namun tak jelas juntrungnya kasus itu. Belum lagi kasus selang beberapa bulan lalu. Kasus simulator pengadaan SIM.

Tidak jauh berbeda di lingkungan kejaksaan, justru di lembaga inilah tumpukan mafia perkara. Publik tentunya tahu. Masih segar di ingatan mereka dengan mafia perkara, yang pernah menyeret nama Cirus Sinaga.

Upaya untuk memperlemah kewenangan KPK. Tentu tidaklah mengagetkan bagi kita semua. Jelas sebuah keniscayaan tidak ada seorangpun menciptakan senjata dan berbalik arah akan menembak dirinya. Mustahil bagi DPR yang diberi kewenangan legislasi. Untuk merancang dan merevisi UU KPK menciptakan UU. Pada akhirnya akan memakan tuannya sendiri.

Inilah yang menjadi pelajaran sehingga kita tidak perlu tersontak kaget begitu komisi III dengan tegas menolak pencairan anggaran guna pembangunan gedung KPK. Dan sekarang, lagi-lagi DPR mempertontonkan anekdot. Untuk mengaudit KPK, padahal KPK telah diaudit oleh BPK.

Tidak sampai disitu saja. Ketika KPK semakin gencar melakukan penyelidikan terhadap wakil rakyat representasi politik tersebut. DPR tidak akan tinggal diam menggempur kewenangan KPK agar tidak terlalu “getol” merusak citra parlemen. Ada kasus Wisma Atlet yang menghancurkan citra parlemen. Belum lagi kasus santer mafia anggaran di komisi III. Maka jangan kita heran kalau dari komisi III DPR, paling berhasrat besar untuk memangkas beberapa kewenangan KPK. Inilah suatu kondisi parlemen yang “phobia” pada KPK.

Beberapa kewenangan KPK yang hendak dipangkas melalui revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 diantaranya penyadapan yang diperumit dengan izin ketua Pengadilan Negeri, penuntutan yang diserahkan kepada kejaksaan agung, dan adanya wewenang KPK mengeluarkan SP3, plus ada dewan pengawas yang ditunjuk DPR. Tampaknya DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat kini menanggalkan harapan publik di pundak mereka.

Jika benar dan pada akhirnya DPR sukses merevisi UU KPK tersebut. Maka DPR dengan fungsi legislasinya kembali menipu dan membohongi publik. Karena sudah jelas revisi UU tersebut pasti akan membuat “denyut nadi” KPK berhenti. KPK tinggal menunggu maut, tinggal menanti kiamat setelah beberapa kewenangan superbodinya dilucuti oleh lembaga representasi politik itu. KPK sebagai lembaga yang masih dipercaya dalam hal pemberantasan korupsi.

Maka bukanlah suatu hal yang ironis jika Ketua KPK Abraham Samad mulai berpikir untuk tidak melanjutkan kepemimpinannya di KPK jika DPR betul-betul melucuti kewenangan superbodinya. Di sinilah Abraham Samad mengalami “depresi” berat dari niat baiknya untuk mengungkap kasus-kasus korupsi besar. Hingga ia mengeluarkan statement, ancaman akan mengundurkan diri. Karena beberapa pekan lalu Polri juga menarik 20 penyidiknya yang ditugaskan di KPK. Padahal KPK masih membutuhkan penyidik polri. Hal ini dipertegas juga oleh Johan Budi (Jubir KPK) di salah satu siaran TV swasta bahwa “penyidik yang ditarik oleh Polri, merekalah yang menyidik kasus simulator SIM, kasus Bank Century, dan kasus Hambalang, bahkan ada di antaranya yang menangani lebih dari 10 kasus.” Jika sumber daya manusia didefisitkan dan beberapa kewenangan KPK dipangkas, sudah dapat dipastikan korupsi akan semakin merajalela. Sejarah bangsa tidak akan pernah berjalan menuju masa kesuksesan. Negara ini akan benar-benar menuju pada kegagalan.

Belum selesai KPK merekrut penyidik independen. Kini upaya memperlemah datang dari DPR. Tampaknya baik Polri maupun DPR sama-sama “mengeroyok” KPK agar tidak terlalu getol lagi mengungkap kasus-kasus korupsi di institusinya. Ada baiknya mungkin jika KPK di akhiri saja. Biarlah terjadi kiamat pelan-pelan di tubuh KPK.

Polri dan DPR sekarang sudah tercium bau “boroknya” bersekutu untuk membuat KPK benar-benar kiamat. Agar tidak lagi mengincar setan-setan koruptor.

Di tengah tubir jurang kematian, kehancuran KPK. Harapan itu masih ada tersisa. Akan terbuka mana yang hak dan mana yang batil. Kita patut mengapresiasi dan mensuport KPK  yang mencoba bertahan.

Mari kita mendukung lembaga superbodi ini agar tidak dikiamatkan segera. Di saat calon-calon koruptor yang lain. Antre menunggu giliran, bahkan berada dalam intaian KPK. Merupakan suatu prestasi dan harapan publik di pundak KPK agar konsisten menabuh gederang korupsi. Kalau KPK akan merekrut penyidik independen yang bukan dari kepolisian dan kejaksaan. Karena hal itu memang dibenarkan dalam Pasal 45 ayat (1) UU KPK bahwa “penyidik adalah penyidik pada KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK”.

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...