Konsep Persetujuan Korban dalam Kekerasan Seksual

Sumber Gambar: klikhukum.id

PERATURAN Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 merupakan implementasi asas salus populi suprema lex esto yang menyatakan bahwa keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Kita tahu (dan mesti menyadari!) bahwa Indonesia kiwari darurat kekerasan seksual. Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud Ristek) ini mendesak negara melalui kementeriannya untuk menjamin perlindungan kepada rakyat dari kebuasan predator seksual yang bersembunyi di balik tembok-tembok kampus.

Dalam situasi dan kondisi demikian, masih saja ada pihak-pihak yang menolak peraturan ini berkenaan dengan potensinya melegalkan perzinaan dan seks bebas. Namun kita tinggalkan saja kontestasi tentang itu. Ada persoalan bahasa yang perlu diketengahkan melalui kolom ini berkaitan dengan penggunaan kata korban dalam frasa “(tanpa) persetujuan korban”.

Para penyusun Permendikbud Ristek tampaknya hendak meminjam konsep yang terkandung dalam frasa sexual consent yang lazim digunakan oleh penutur berbahasa Inggris. Namun, apabila diterjemahkan secara harfiah menjadi “kesepakatan seksual”, frasa ini terkesan vulgar dan sekuler dipergunakan dalam produk hukum di negeri yang berketuhanan yang maha esa. Sebagai konsekuensinya, dipergunakanlah padanan yang maknanya “mendekati”, yakni “persetujuan korban”.

Sebagai pembanding, saya mengecek penggunaan “sexual consent” dan “victim’s consent” berdasarkan korpus bahasa yang disediakan oleh Leipzig University. Korpus ini tidak begitu besar, hanya menyediakan lebih dari 323 juta kalimat berbahasa Inggris yang dihimpun dari media massa pada 2008-2020. Pencarian saya atas pasangan sebelah kiri (left neighbour cooccurrences) kata “consent” menunjukkan frekuensi kemunculan “sexual consent” sebanyak 15.625 kali. Adapun frekuensi kemunculan “victim’s consent” hanya 943 kali. Berdasarkan itu, dapat dikatakan bahwa pasangan kata “victim’s consent” tidak begitu lazim digunakan daripada “sexual consent” oleh penutur berbahasa Inggris.

“Persetujuan korban” berangkat dari logika bahasa yang keliru. Ia sama sekali tidak mewakili konsep yang dikandung oleh “kesepakatan seksual”. “Kesepakatan seksual”, yang apabila diparafrasakan menjadi “kesepakatan (untuk melakukan aktivitas) seksual”, menitikberatkan pada aktivitas yang mesti disepakati sebelum dilakukan, yakni aktivitas seksual. Adapun “persetujuan korban”, yang apabila diparafrasakan menjadi “persetujuan (dari) korban”, jelas-jelas telah memosisikan pihak yang dimintai persetujuan sebagai korban. Dengan kata lain, Permendikbud Ristek ini telah mengklaim lebih dulu seseorang sebagai korban bahkan sebelum persetujuan atas suatu perbuatan dilakukan. Padahal substansi dan narasi utama yang diusung oleh Permendikbud Ristek ini adalah perihal persetujuan itu sendiri.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pada definisi kedua, korban didefinisikan sebagai “orang, binatang, dan sebagainya yang menjadi menderita (mati dan sebagainya) akibat suatu kejadian, perbuatan jahat, dan sebagainya”. Dalam contoh kalimat dikatakan “sepuluh orang — tabrakan itu dirawat di rumah sakit Bogor”. Kesepuluh orang itu tentu tidak pernah menginginkan diri mereka terlibat dalam tabrakan yang membuat mereka dirawat di rumah sakit. Kesepuluh orang itu baru menjadi korban setelah mengalami tabrakan. Sebelum tabrakan terjadi, mereka bukanlah korban. Tidak ada orang yang ingin menderita karena menjadi korban suatu peristiwa atau perbuatan, apalagi menjadi korban atas persetujuan yang dinyatakannya sendiri dengan kesadaran penuh, tanpa paksaan, manipulasi, ataupun ancaman.

Sejumlah aktivis anti-kekerasan seksual mengatakan pemilihan frasa “persetujuan korban” bertujuan mengedepankan status korban demi memperjuangkan hak-haknya di hadapan hukum dan jaminan atas pemulihan kondisinya secara psikologis dan sosiologis. Kita pun tahu bahwa Indonesia bukanlah tempat yang ramah bagi korban kekerasan seksual, karena banyak khalayak yang melekatkan stigma kepada mereka. Semangat yang diusung dalam penggunaan kata “korban” patut diapresiasi, tapi bukan berarti mesti mengangkangi logika bahasa. Sebaliknya, gagasan untuk menghapus frasa “(tanpa) persetujuan korban” juga bukanlah pilihan yang baik. Sebagaimana landasan filosofis Permendikbud Ristek ini, pernyataan tegas dan eksplisit tentang persetujuan merupakan poin penting dalam memilah kekerasan dan bukan kekerasan seksual.

“Persetujuan bersama” dan “persetujuan pihak-pihak yang terlibat” adalah contoh alternatif yang dapat dipertimbangkan untuk menggantikan penggunaan kata “korban” dalam frasa itu. Kalau tetap mau menggunakan kata “korban”, redaksi bahasa yang digunakan mesti diubah, misalnya “(tanpa) persetujuan pihak-pihak yang terlibat, sehingga mengakibatkan salah satu atau beberapa pihak menjadi korban”. Jauh lebih panjang, memang, tapi maknanya lebih terang benderang. Terbaca jelas bahwa “korban” hadir sebagai akibat ketiadaan “persetujuan pihak-pihak yang terlibat”.

Produk hukum yang bagus adalah produk hukum yang menggunakan logika hukum dan logika bahasa secara tepat sekaligus memenuhi asas kejelasan demi menghadirkan interpretasi tunggal. Sebab, bagaimanapun, hukum diartikulasikan menggunakan bahasa. Mesti disadari pula, dalam perkara hukum, celah sekecil apa pun akan dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin menghindar dari tanggung jawab. Jangan sampai produk hukum yang mengangkangi logika bahasa tidak optimal dalam mencegah dan menangani kekerasan seksual yang berpihak kepada korban.

Oleh:

Ahmad Hamidi

Alumnus Ilmu Linguistik Universitas Indonesi

MAJALAH TEMPO, 9 April 2022

 

Sumber

https://majalah.tempo.co/read/bahasa/165669/konsep-persetujuan-korban-dalam-kekerasan-seksual

You may also like...