Mempertanyakan  Konstitusionalitas Perppu Pilkada

 Terdapat dua situasi yang menyebabkan suhu perpolitikan saat ini belum juga reda. Pertama polemik Pilkada langsung atau tidak langsung yang menyebabkan dimensi hukum ketatanegaraan kita mengalami ujian berkali-kali. Kedua, perseteruan dua “pasukan tempur” sisa-sisa Pilpres antara Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih yang saling melancarkan “serangan” dalam merebut “benteng-benteng” strategis di parlemen.

Serupa namun tidak sama dua peristiwa maha dahsyat itu, akan menjadi “keniscayaan” kalau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pilkada pun akan menemui “takdirnya” di parlemen. Baca Juga (Polemik Kekosongan Hukum dalam Pembatalan Perppu Pilkada)

Permasalahan yang menjadi kontroversial dari para pengamat, penstudi hingga para pakar hukum ketatanegaraan kemudian: apakah akan terjadi “kekosongan hukum” kalau Perppu benar-benar ditolak nantinya oleh DPR?

Perppu Pilkada

Sumber Gambar: inilah.com

Perppu Inkonstutisonal

Untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas, seputar akan tejadinya kekosongan hukum andaikata Perppu Pilkada  ditolak oleh DPR, maka “legal reasoning” yang perlu dilakukan adalah mencari dan menelusuri segala perundang-undangan terkait.

Tindakan penelusuran dasar hukum atas “saktinya” Perppu dapat mencabut keberlakuan Undang-Undang penting untuk dilakukan, sebab dalam ruang hukum ketatanegaraan terikat pada “segala tindakan/ perbuatan hukum yang dilakukan oleh pejabat negara harus jelas Undang-Undang yang memberinya kewenangan”.

Pada hakikatnya hingga sekarang belum satupun regulasi, utamanya dalam Pasal 22 UUD NRI 1945 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun  2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang menyatakan secara tegas kalau kiranya Perppu dapat dikeluarkan oleh Presiden untuk mencabut atau menggantikan Undang-Undang, dengan alasan Undang-Undang tersebut mendapat penolakan oleh publik. Oleh karena itu dalam hemat Penulis, menilai bahwa eksistensi Perppu Pilkada yang mencabut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 Tentang Pilkada pada sesungguhnya tidak konstitusional.

Tentu dengan penilaian tidak konstitusionalnya Perppu Pilkada, pasti akan menimbulkan pertanyaan penting;  Bagaimana selanjutnya nasib Perppu Pilkada yang sudah dikeluarkan tersebut? Jawabannya, dengan memberi toleransi atas cacat ketatanegaraan penerbitan Perppu itu, Perppu Pilkada harus tetap dianggap sah sampai ada pihak berwenang yang akan menentukan “nasibnya”. Siapa pihak yang berwenang itu? adalah MK (Mahkamah Konstitusi) dan DPR. MK dapat memutuskan “alas” hukum konstistusional/tidaknya Perppu Pilkada. Sementara kewenangan DPR untuk menentukan “nasib Perppu” juga tegas dinyatakan dalam Pasal 22 ayat 2 UUD NRI 1945 dalam hal untuk menolak atau menerimanya.

Dengan mencermati secara hati-hati, jeli, dan tidak serampangan, walaupun penerbitan Perppu merupakan hak subjektif Presiden,  pada dasarnya terdapat “penyimpangan hukum” ketika Perppu dimaksudkan untuk mencabut atau mengakhiri berlakunya Undang-Undang. Bahkan bisa dikatakan sebagai tindakan “abuse of power” jika memang tidak ada dasar hukum yang tegas menyokongnya. Perppu Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pilkada dikatakan cacat sejak lahir dan menjadi bukti terjadinya ”abuse of power” yang dilakukan oleh Presiden dengan berpedoman pada dua alasan.

Pertama, dalam UUD NRI 1945, UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan putusam MK No: 138/PUU/VII/2009, satupun tidak mengamanatkan ada norma atau ketentuan yang membolehkan Perppu dapat dikeluarkan oleh Presiden dengan maksud untuk menggnatikan UU. Yang nyata-nyata ada hanya jika tejadi “kegentingan memaksa” Presiden dapat mengeluarkan Perppu.

Selanjutnya apa yang dimaksud kegentingan memaksa? Jawabannya, dengan melihat dalam penerbitan Perppu masa-masa sebelumnya (termasuk pula tiga syarat kegentingan memaksa dalam Putusan MK No: 138/PUU/VII/2009) selalu saja Perppu lahir karena tidak ada hukum (Undang-Undang) yang dapat dijadikan patokan untuk melakukan tindakan atau perbuatan hukum. Ataupun kalau ada Undang-Undangnya, Undang-Undang tersebut kemudian dianggap tidak cukup untuk dijadikan dasar dalam melakukan tindakan hukum dalam peristiwa ketatanegaraan.

Kedua, dalam teori hukum ketatanegaraan, selama ini yang selalu diakui hanya MK dan DPR bersama Presiden sebagai lembaga negara yang dapat mencabut keberlakukan Undang-Undang. MK berwenang jika ada yang mengajukan judicial review atas UU, maka MK dapat berfungsi sebagai negative legislator. Sedangkan DPR bersama Presiden (ingat! harus bersama Presiden dan DPR) dapat membentuk Undang-Undamg, yang mana posisi keduanya secara bersama-sama adalah sebagai positive legislator. Maka kalau ada-ada saja Presiden tanpa keterlibatannya DPR secara bersama-sama (melalui Undang-Undang baru) dalam mencabut UU, maka tindakan Presiden di sini sudah jelas sebagai tindakan abuse of power.

Menolak Perppu

Sebab telah terbukti lahirnya Perppu Pilkada adalah cacat sejak lahir. Guna mengakhiri tindakan abuse of power demikian, maka tugas ini ada di tangan MK dan DPR.

Saat ini sudah ada yang mengajukan judicial riview atas Perppu  Pilkada (Didik Supriyanto Dkk). Oleh  karena itu sebaiknya MK mencermati proses lahirnya Perppu ini, sebagai tindakan penerbitan Perppu yang tidak berdasar (inkonstitusional) dan Presiden yang cenderung menjadi “abuse of power”  jika menerbitkan Perppu dengan tujuan untuk mencabut UU sebelumnya.

Agar Perppu tersebut dibatalkan, tentu MK di sini dapat menghidupkan kembali UU Pilkada. Tetapi dalam hemat Penulis, meskipun MK tidak menyatakan berlakunya kembali UU Pilkada, UU Pilkada tetap akan berlaku (UU ini tidak pernah “mati”) sebab memang tidak mungkin dicabut hanya dengan melalui Perppu.

Lebih dari pada itu, DPR sebagai legislative review atas Perppu, juga sebaiknya tunduk pada hukum ketatanegaraan semata untuk menilai Perppu Pilkada. Jika hal ini dilakukan oleh DPR, yakni taat pada landasan hukum ketatanegaraan maka Perppu Pilkada oleh DPR akan  ditolak. Bahwa Perppu tersebut tidaklah memenuhi syarat formil untuk dikeluarkan. Maksud “kegentingan memaksa-nya” tidak terpenuhi, karena UU Pilkada sudah ada aturan sistem Pilkadanya. Bahkan  tidak ada kekosongan hukum sebagai salah satu syarat kegentingan memaksa.

Jalan penolakan Perppu Pilkada melalui MK maupun DPR tidaklah bermaksud menghambat sistem Pilkada langsung. Tetapi jalan ini harus dimaknai mengembalikan maruah hukum ketatanegaraan pada jiwa asalinya. Yaitu Perppu tidak boleh mencabut Undang-undang, dan Presiden tidak dapat mencabut undang-undang secara sepihak.

Dengan tidak adanya dasar hukum yang mengakui Perppu dapat mencabut keberlakuan Undang-undang. Maka logika hukumnya; meskipun Perppu Pilkada ditolak oleh DPR, ataukah Perppi Pilkada dibatalkan oleh MK. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pilkada tetap harus dinyatakan berlaku.

Adapun bagi pihak yang merasa dirugikan kalau toh dengan berlakunya UU Pilkada, gara-gara Pilkada via DPRD-nya, silahkan mengajukan judicial review atas UU Pilkada. Sebab memang Demikianlah tatanan hukum yang benar, lagi tidak “memperkosa” konstitusi kita.*

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...