Melacak Korupsi di Pilkada

Genderang pesta demokrasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) kini mulai ditabuh. Para Peserta Pemilihan (Calon Kepala Daerah) sudah “bergerilya” menabur simpati dan merebut empati dari masyarakat. Aktifitas Pilkada selanjutnya akan berorientasi pada pendaftaran, kampanye, dan pemungutan suara dengan menempatkan aktor penyelenggara, peserta dan pemilih sebagai pemeran utama. Sekilas, tak nampak dari aktifitas tersebut ada tindak pidana beraroma korupsi, oleh karena aktifitas penyelenggara sekedar mengatur dan mengawasi para peserta pemilihan. Demikian pula dengan peserta pemilihan hanya sekedar kampanye untuk memantik suara.

Pada hakikatnya pemilihan dalam UU Pilkada yang berbau korupsi adalah “mahar politik” dan “money politic”. Kendatipun demikian haruslah dipahami bahwa mahar politik dan money politic tetaplah tindak pidana pemilihan dan tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Tetapi di luar itu, tindak pidana korupsi dapat terjadi dalam momentum tertentu dan bahkan menembus “tempus” Pilkada, sebab momentum khusus seperti Pilkada tidaklah membunuh “hasrat” seseorang melakukan korupsi. Korupsi akan selalu “membuntuti” pada aktifitas penyelenggara negara, keuangan negara, ataupun penyalahgunaan wewenang.

Korupsi Pilkada

Sumber Gambar: http://3.bp.blogspot.com

Korupsi Logistik

Untuk melacak korupsi di proses Pilkada maka dapat menggunakan prinsip follow the money. Mendeteksi aliran uang (follow the money) bermakna mengawasi penggunaan anggaran-anggaran negara dalam jumlah besar yang digunakan dalam penyelenggaraan Pilkada. Sebagaimana dalam tiap penyelenggaraan Pilkada, terutama pada pengadaan logistik sebagai kegiatan yang banyak menyerap uang negara.

Setidaknya ada dua pengadaan logistik KPUD yang menghabiskan anggaran negara dalam jumlah yang besar, berpotensi korupsi. Pertama, pengadaan logistik surat suara dan sejenisnya. Khusus pengadaan logistik surat suara, kegiatan inilah yang banyak “mengonversi” pegawai KPUD menjadi tersangka korupsi. Modus korupsi yang bisa terjadi dalam pengadaan logistik adalah dengan melakukan rekayasa tender. Caranya, pihak panitia pengadaan barang akan memenangkan perusahaan tertentu karena sudah terjadi permufakatan antara perusahaan tersebut dengan panitia. Dengan modus rekayasa ini, kerugian negara potensial terjadi apabila perusahaan yang dimenangkan memiliki penawaran yang lebih tinggi, padahal terdapat perusahaan lain yang menawar lebih rendah. Kedua, pengadaan logistik kampanye. Salah satu hal yang berbeda antara rezim Pilkada saat ini dengan Pilkada yang terdahulu adalah mengenai dana kampanye.

Beberapa bentuk kampanye Peserta Pemilihan (Calon Kepala Daerah) dibebankan kepada uang negara. Item-item kampanye peserta yang dibiayai oleh negara sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 65 ayat 2 UU Pilkada, yaitu debat publik antar Calon, penyebaran bahan kampanye kepada umum, pemasangan alat peraga, iklan media massa cetak/elektronik. Sejatinya, ketentuan ini tentu memberikan “proyek” baru bagi KPUD dalam hal pengadaan logistik.

Suap Paslon

Uraian-uraian di atas menjelaskan korupsi yang dilakukan oleh Penyelenggara Pilkada. Lalu bagaimana dengan Paslon (Pasangan Calon) Kepala Daerah sebagai peserta Pilkada? Apakah memungkinkan untuk melakukan tindak pidana korupsi?

Dalam praktek Pilkada, obyek suap-menyuap yang memungkinkan dilakukan oleh peserta pemilihan/Paslon terbagi dalam dua bentuk: Pertama, Penyelenggara Pemilu yaitu KPUD dan Panwas. Sesungguhnya praktik ini dapat dirasakan dalam realitas meskipun sulit untuk dibuktikan. Penyelenggara akan “digoda” melalui giuran materi untuk meloloskan Calon, menggelembungkan suara, memanipulasi data yang kesemuanya bertentangan dengan kewajiban penyelenggara Pilkada yang harus berdiri digaris netral. Kedua, suap Pejabat atau Pegawai Negeri. Praktik Pilkada sering mempertontonkan Pegawai Negeri memobilisasi Pegawai Negeri lainnya untuk mendukung atau memilih calon tertentu. Kondisi ini berpotensi menjadi tindak pidana korupsi jika Pejabat atau Pegawai Negeri digerakkan karena suap. Sebagai Ilustrasi, Paslon Kepala Daerah A menjanjikan pegawai negeri akan diangkat sebagai kepala dinas jika calon A terpilih sebagai Kepala daerah, syaratnya pegawai negeri tersebut harus memobilisasi Pegawai Negeri lain atau masyarakat untuk memilihnya. Syarat tersebut tentu sudah bertentangan dengan kewajiban Pegawai Negeri yang mengharuskan untuk bersikap netral dalam Pilkada.

Terhadap bentuk tindak pidana korupsi di Pilkada model kedua ini tidak dapat dikualifisir sebagai tindak pidana pemilihan “money politic”, sebab pengaturan ketentuan money politic dalam Pasal 73 UU Pilkada hanya ditujukan kepada pemilih yang sifatnya tidak berstruktur. Bahwa dalam peristiwa Paslon Kepala daerah yang “mengimin-imini” janji inmtaeril bagi Pejabat Negara/Pegawai Negeri peritiwanya terletak pada melakukan tindakan secara struktural, memobilisasi suara ke bawahannya atau kepada masyarakat lainnya, dengan harapan kelak janji si Paslon akan diwujudkan untuknya. In qasu a quo, maka dalam peristiwa tersebut, sejatinya hanya dapat dijerat sebagai tindakan korupsi berkualifikasi suap yang menundukan diri dalam UUPTPK (bukan melalui UU Pilkada).

Di atas segalanya, nihil novi sub sole (tiada yang baru di bawah mentari), demikian pula dengan korupsi. Momentum boleh berubah tetapi hakikat korupsi tetaplah sama, kerugian negara, atau penyalahgunaan wewenang penyelenggara negara harus ditindak sebagai salah satu bentuk kejahatan, sebab pada hakikatnya tindakan-tindakan tersebut, juga dapat menciptakan instabilitas demokrasi dalam perhelatan Pilkada serentak periode pertama, 9 Desember 2015 nanti.

Muhammad Nursal Ns

Praktisi Hukum Makassar

You may also like...