KPK dan Janji Nawa Cita

Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla memiliki cita rasa tersendiri, dibanding pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Gaya kepemimpinan blusukan, turun tangan mendengar keluhan masyarakat bawah, berhasil melahirkan terobosan kebijakan yang sesuai aspirasi rakyat.

Sumber Gambar: jatimprov.go.id

Contoh kebijakan yang paling terasa dapat kita lihat di Kementerian Pendidikan. Anies Baswedan sukses menerapkan Ujian Nasional secara online (E-UN) di beberapa daerah. Walaupun belum secara serentak tetapi efektif menutup celah permainan curang selama proses ujian berlangsung. Selain itu, efisiensi anggaran dapat terminimalisir sebab tidak mengganggarkan lagi kertas soal dan lembar jawaban. Kebijakan menghapus hasil UN sebagai syarat utama kelulusan siswa-siswi patut diacungin jempol.

Janji Jokowi-JK

Hanya saja persoalan bangsa bukan hanya dari segi mencerdaskan sumber daya manusia Indonesia. Salah satu persoalan krusial nan berimplikasi makin jauhnya kesejahteraan seluruh rakyat belum mendapatkan perhatian serius. Pemangku kebijakan masih belum nampak memerangi laku korupsi. Perilaku serakah merusak mental dan membocorkan anggaran peruntukan kemaslahatan bersama.

Penulis dalam tulisan ini, untuk kesekian kali menagih janji Jokowi-Jusuf Kalla. Visi-Misi pemberantasan korupsi kala Pilpres harus diingatkan. janji akan menguatkan KPK dengan cara menambah personil KPK, meningkatkan anggaran lembaga demi kelancaran kinerja lembaga anti rasuah serta akan selalu pro terhadap pemberantasan korupsi.

Visi-Misi antikorupsi kemudian dikristalkan dalam 9 (sembilan) agenda prioritas lazim disebut Nawa Cita Pemerintah Jokowi-JK. Poin 4 Kami akan menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya. Memprioritaskan pemberantasan korupsi dengan konsisten dan terpercaya, pemberantasan mafia peradilan dan penindakan tegas terhadap korupsi di lingkungan peradilan.

Realitas Kekinian

Sungguh ironis janji ya tinggal janji. Penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi yang tertuang dalam Nawacita ibarat api jauh dari panggang. Pemerintah bersama parlemen lebih getol menyuarakan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Langkah nyata terlihat dengan masuknya UU KPK sebagai prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2015.

Mereka berdalih revisi UU KPK harga mati demi penguatan lembaga antirasuah. Wakil Ketua Komisi III DPR Benny K Harman menegaskan ada empat poin yang akan dipertegas dalam revisi terbatas UU KPK. Pertama, mengenai penegasan posisi UU KPK sebagai lex specialis (hukum yang bersifat khusus). Kedua, untuk tegaskan kewenangan KPK dalam rangka mengangkat dan mendidik para penyidik. Ketiga, menegaskan keberadaan dan kewenangan komite Pengawas. Keempat, mengenai penataan kembali organisasi kelembagaan KPK.

Faktanya draf UU KPK berkata lain. Penelusuran yang dilakukan teman-teman penggiat antikorupsi justru melemahkan kinerja pemberantasan korupsi oleh KPK ke depan. Antara lain dari segi kewenangan yang diatur UU Nomor 30 Tahun 2002. Pertama, Kewenangan penyadapan yang dilakukan KPK mulai dari tahap penyelidikan dan tanpa seizin ketua Pengadilan diubah. Menjadi penyadapan hanya bisa dilakukan ditahap penyidikan karena sudah ada tersangka dan harus seizin ketua Pengadilan.

Alasannya agar KPK tidak melakukan abuse of power. Padahal penyadapan selama ini diaudit Kementerian Informasi dan Telekomunikasi. Sehingga dalil tersebut terbantahkan. Lewat penyadapan kinerja KPK malahan lebih efektif membongkar kasus korupsi. Operasi Tangkap Tangan (OTT) sejumlah pejabat dan koleganya selalu didahului sadap. Terdakwa pun ketika pemeriksaan pengadilan tidak bisa mengelak karena hasil penyadapan yang diputar di muka sidang pengadilan. Contohnya rekaman pembicaraan antara Lutfi Hasan Ishaaq terkait pengaturan suap impor daging sapi dan suap Jaksa Urip yang menangani kasus BLBI.

Ketidak sepakatan penyadapan harus seizin ketua Pengadilan juga mendasar. Bocornya informasi kepada yang akan disadap terbuka lebar. Kasus sederhana terlihat waktu penyidik KPK akan melakukan penggeledahan rumah petinggi PDI Perjuangan di Manado. Gara-gara bocor KPK pun tidak optimal melakukan pengeledahan.

Kedua, KPK tidak berwenang melakukan penuntutan. Fungsi penuntutan kembali menjadi kewenangan absolut institusi kejaksaan. Implikasi KPK sama dengan kepolisian yang berkasnya akan bolak-balik. Pelimpahan berkas ke pengadilan Tipikor mengalami pelambatan. Penegakan hukum progresif yang dilakukan KPK dengan menggabungkan ancaman UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi dan UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang pemberantasan pencucian uang serta tuntutan pidana berat bagi terdakwa sulit terwujud. Tercatat perkara korupsi yang ditangani intansi penegak hukum kepolisian-kejaksaan tidak menggunakan dakwaan kumulatif UU Money Laundry dan tuntutan terhadap terdakwa perkara korupsi rata-rata pidana penjara 4 tahun ke bawah.

Ketiga, lembaga KPK berwenang menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Padahal semangat yang dikandung dalam UU KPK agar tercipta prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka. Penyidik tidak boleh seenaknya menetapkan seseorang terdakwa tanpa yakin betul, tentu keyakinan berdasarkan alat bukti yang kuat. Di sisi lain tidak berwenang menerbitkan SP3, supaya menutup celah suap atau menjadikan seseorang ATM berjalan.

Bila pemerintah berkehendak memenuhi janji penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi. Revisi harusnya lebih ke poin memperjelas bahwa KPK berwenang mengangkat penyidik sendiri atau penyidik independen selain penyidik (kepolisian_kejaksaan). Mengatur pemberhentian pimpinan KPK bila melakukan tindak pidana tertentu nan telah berkekuatan hukum tetap. Serta menghapus pasal pemberhentian sementara pimpinan KPK bila ditetapkan tersangka. Itulah yang harus ada dalam revisi UU KPK, karena Indonesia telah lama darurat korupsi. Dan bila tidak, maka Nawa Cita Jokowi-JK berubah menjadi duka cita pemberantasan korupsi.

***Salam Indonesia Bersih

Jupri, S.H

Lahir di Jeneponto (Sulsel) dari keluarga sederhana. sementara aktif mengajar di Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo. selain memberi kuliah untuk mahasiswa fakultas hukum juga aktif menulis di www.negarahukum.com dan koran lokal seperti Fajar Pos (Makassar, Sulsel), Gorontalo Post dan Manado Post..Motto Manusia bisa mati, tetapi pemikiran akan selalu hidup..

You may also like...