KPPS, Buntut Tapi Menentukan

Ferry Daud Liando
Alumni Department of political science university of Massachusetts USA

Sesuai jadwal tahapan Pemilu 2019, Selasa 26 Maret (hari ini, red) akan diumumkan nama-nama anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan petugas ketertiban Tempat Pemungutan Suara (TPS) pada Pemilu 17 April 2019 mendatang. Perekrutan sudah dimulai pada 28 Februari 2019 lalu dan pada 27 Maret 2019 penyelenggara yang paling berada ditingkatkan paling bawah itu akan dikukuhkan.

Konstalasi politik pemilu akhir-akhir ini mengharuskan penyelenggara sepertinya harus bekerja hati-hati dan serius. Hal ini penting untuk diantisipasi sebab masih banyak cara-cara yang berpotensi bisa dilakukan calon legislatif (celeg) ataupun tim sukses calon Presiden (capres) untuk mendapatkan keuntungan elektoral termasuk mengintervensi penyelenggara ataupun menitipkan tim sukses menjadi penyelenggara sebagai petugas di tempat pemungutan suara (TPS). Hal yang penting dilakukan penyelenggara adalah mengadakan pemetaan terkait pelanggaran yang berpotensi muncul dalam setiap rekrutmen KPPS. Sebab Proses ini berpotensi disusupi masyarakat yang bisa saja sebagai tim sukses dari caleg atau capres.

Anggaran pemilu sekitar 24 triliun digunakan untuk pelaksanaan pemilu akan menjadi sia-sia kalau ternyata petugas KPPS tidak profesional. Energi yang pernah terkuras saat berdebat soal mekanisme dan prosedur Pemilu tidak akan berarti apa-apa jika ternyata tidak ada perhatian khusus bagi rekrutmen petugas KPPS.

Pengalaman pemilu 2014, banyak pelanggaran terjadi di TPS karena profesionalisme KPPS yang buruk. Ada yang disebabkan karena kelalaian atau ketidaktahuan (humman eror) dan ada yang terjadi karena faktor kesengajaan (by disgn). Pemilu 2019 akan dilakukan secara serentak antara pemilihan DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten Kota, DPD RI dan Pilpres. Dengan demikian akan ada banyak formulir yang harus diisi oleh KPPS.

Mereka harus menulis rekapan pemilu sebanyak 16 rangkap untuk masing-masing saksi partai, pengawas TPS, dan untuk tingkatan penyelengara yang diatasnya. Belum lagi keperluan hitung cepat di dalam kotak, arsip KPPS, pengumuman di PPS, sehingga total menjadi 21 rangkap dan itu semua akan ditulis tangan.

Jika KPPS tidak kuat fisik, umurnya sudah tua kemungkinan akan kesulitan melakukan pengisian angka secara utuh. Ada kejadian di suatu daerah, karena waktu terbatas dan ketidakmampuan KPPS mengisi formulir, maka yang terjadi KPPS meminta saksi untuk mengisi sendiri. Akibatnya terjadi perbedaan data yang dimiliki saksi parpol dengan hasil perhitungan di TPS.

Ada ketentuan baru bagi KPPS bahwa yang sudah dua kali menjabat sebagi KPPS maka tidak diperkenankan lagi untuk bertugas. Dengan demikian akan ada petugas l yang sama sekali baru dan belum berpengalaman.

Kegiatan bimtek selama ini kerap tidak efektif karena tidak semua perugas dalam satu TPS diikutsertakan dalam bimtek, Paling hanya ketuanya. Sementara mekanisme Bimtek sering tidak efektif karena semua petugas di tumpuk dalam satu gedung di hari dan waktu yang sama ketika materi diberikan.

Pasti tidak semua menyerap materinya dengan baik. Kemudian terjadinya banyak pelanggaran karena ada kepentingan tertentu bagi petugas yang ingin berkepentingan memenangkan calon tertentu. Rupa-rupa modus bisa saja dilakukan, misalnya tidak menyebarkan formulir C6 atau undangan kepada pemilih tertentu, memberi kesempatan kepada pemilih yang tidak berhak, memberi kesempatan pemilih memilih dua kali, sengaja merusak surat suara milik calon yang tidak dikehendaki atau modus-modus lain.

Memang tidak gampang untuk memilih petugas TPS yang profesional. Tidak banyak orang yang tertarik mendaftar karena honornya sangat kecil sementara volume dan resiko pekerjaan sangat berat. Karena tidak banyak yang mendaftar maka sangat terbatas referensi untuk memilih yang betul-betul profesional.

Kita tidak menghendaki terjadinya pemungutan suara ulang (PSU) akibat kelalaian petugas sebagaimana pemilu 2014. PSU melahirkan banyak resiko yakni Pertama, berpotensi akan menurunnya jumlah pemilih karena jenuh atau lebih memilih bekerja. Kedua, tidak semua petugas akan kembali bertugas melaksanakan PSU, apalagi kepentingannya sudsh terpenuhi yakni telah terpilihnya calon yang dikehendaki. Ketiga, PSU akan berdampak pada delegitimasi publik terhadap penyelenggara karena dianggap lalai menekankan tugas dengan baik.

Proses rekrutmen menjadi hal penting. Tanpa seleksi yang ketat maka dikuatirkan tata kelola pemungutan dan penghitungan suara berpotensi terganggu. Meski KPPS merupakan lembaga penyelenggara yang paling buntut, namun mereka merupakan ujung tombak berjalannya pemilu dengan baik.

Pemungutan dan penghitungan suara adalah tahapan yang berada di bagian puncak dari keseluruhan tahapan pemilu. Sebuah tahapan yang sangat krusial dan menegangkan. Sehingga penempatan para aktor penjaga suara ini bukan hal yang sederhana atau apa adanya.

Oleh

Ferry Daud Liando

Artikel ini telah muat sebelumnya di Harian Manado Post, 26 Maret 2019

You may also like...