Kriminalisasi LGBT

Fadlhan Hidayat: Author negarahukum.com

Fadlhan Hidayat: Author negarahukum.com

Akhir-akhir ini, perhatian publik banyak tersita dengan agenda legalisasi Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) di negeri ini. Organisasi LGBT rupanya bergerak berdasarkan pemahaman yang minim terhadap konsep Hak Asasi Manusia.

Hakikatnya, organisasi perlu sebuah eksistensi. Itulah sebabnya LGBT gencar melakukan propaganda, agar eksistensinya dapat dipahami oleh masyarakat. Tentu mereka lebih banyak berpedoman terhadap ajaran murni mereka. Dan apalagi basis argumentasinya, kalau bukan Hak Asasi Manusia harus juga berlaku equal, bagi LGBT.

Deklarasi yang mereka lakukan, bukan hanya menjadi perhatian beberapa orang, namun diarahkan untuk menjadi perhatian nasional dengan menggandeng beberapa media besar. Mereka melakukan perdebatan dengan orang-orang yang tidak sepakat dengan segala macam agendanya. Bahkan media sosial tak luput digunakan sebagai instrument untuk mentransformasikan pula gagasannya.

Hukum Positif

Pada dasarnya, negara kita adalah negara yang berdasarkan atas negara hukum pancasila. Negara yang memiliki aturan tersendiri, dalam mewujudkan keselarasan, keserasian, dan keseimbangan pada tatanannya. Aturan-aturan tersebut selanjutnya diderivasikan dala hukum positif yang mengatur, mengikat, bahkan bisa memaksa.

Upaya-upaya yang dilakukan oleh LGBT dalam mencapai tujuannya rupanya banyak yang menabrak peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mereka hanya mengandalkan satu pahaman tentang hukum saja. Alih-alih berdiri dalam basis argumentasi hak asasi, tetapi malah melupakan apa yang menjad kewajibannya. Ingat! segala hak yang dimiliki oleh manusia telah dirumuskan melalui Peraturan Perundang-Undangan dengan membatasi hak tersebut agar tidak bertentangan dengan norma-norma sosial yang berlaku dimasyarakat (Vide: Pasal 28 J UUD NRI 1945).

Salah satu propaganda yang banyak dilakukan oleh LGBT, yaitu gerakan hegemoni melalui media, baik melalui media cetak maupun melalui media sosial, yang telah menjadi trend masa kini. Dan penghasutan-penghasutan yang dilakukan oleh LGBT melalui media social, cenderung mengarahkan opini publik bahwa apa yang mereka lakukan adalah hal yang benar dan perlu dukungan moril.

Menelisik beberapa propaganda yang dilakukan itu, gerekan LGBT rupanya telah mengarah ke sosialisasi orientasi seksual yang melanggar norma-norma kesusilaan yang ada di Indonesia. Hal ini pun jika dikualifisir dalam Undang-Undang, tindakannya telah tergolong sebagai peristiwa pidana. Tindak perbuatan tersebut memenuhi kualifikasi Pasal 27 ayat 1 Juncto Pasal 45 UUITE. Pasal a quo pada intinya menyatakan: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektrik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, diancam pidana 6 (enam) tahun.

Dan tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar pengguna media sosial, adalah anak-anak dan cenderung lepas dari pemantauan orang tua mereka masing-masing. Manakalah LGBT memilih gerakan melalui media sosial dengan anggapan bahwa media sosial adalah media ekspresi yang memang meleburkan batas-batas etika, hingga bisa menjangkau banyak kalangan. Maka pada poin tersebut gerakan LGBT telah mematikan hukum positif yang berlaku di negeri ini.

Penyebaran atau propaganda LGBT dalam bentuk simualsi gambar-gambar tidak senonoh. Itu sudah pasti, akan berdampak terhadap anak-anak sebagai salah satu pengguna media sosial terbanyak di Indonesia. Anak-anak, suatu waktu tidak mampu lagi membedakan limitasi antara kebaikan dan keburukan. Bisa-bisa anak-anak kita “mati” dalam kediriannya.

Padahal, Pasal 15 UU Nomor 35 Tahun 2014 atas perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak telah memberikan jaminan hak bagi setiap anak untuk memperoleh perlindungan dari kejahatan seksual. Dalam konteks ini, Kampanye LGBT tentu berpotensi “merampas” hak-hak jutaan anak Indonesia untuk terjamin masa tumbuh kembangnya.

Propaganda LGBT, nampaknya tidak cermat memperhatikan Undang-Undang, dalam melancarkan aksi heroiknya. Para kaum LGBT, hanya berpegang kepada Hak Asasi Manusia, tetapi lupa akan kekuatan hak asasi itu terbatasi oleh hak orang lain, termasuk hak anak-anak kita di masa mendatang, bahwa tidak mungkin dunia realnya dijungkirbalikan dari adikodratinya.

Kriminalisasi LGBT

Gerakan-gerakan yang dilakukan oleh LGBT sebagai bentuk “pembangkangan” terhadap aturan hukum dan norma yang berlaku di dalam masyarakat. Maka, diperlukan tindakan serius bagi aparat penegak hukum untuk mengembalikan marwah hukum itu di ranah sosio filsufisnya.

Bahwa gerakan yang dilakukan oleh kelompok LGBT melalui media sosial, yang tidak memperhatikan UUITE, perlu mendapatkan penanganan sebagaimana ketentuan pidana pada Pasal 45 UU ITE yang mengatur bahwa setiap orang yang menyebarkan berita, gambar yang bermuatan kesusilaan. Dan oleh karena propaganda LGBT di media sosial, sudah termasuk penyebaran konten asusila maka dapat dipidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

LGBT bukan merupakan penyakit turunan (genetic), sebagiamana yang kerap mereka dalilkan. LGBT merupakan konstruk sosial, sehingga gerakan LGBT tidak dapat dibenarkan. LGBT, pun merupakan gangguan kejiwaan yang harusnya mendapat penanganan yang tepat oleh ahli kejiwaan. Bukan malah mmebiarkan “ mereka bergabung dalam organisasi yang notabenenya merupakan orang-orang yang memiliki jiwa yang sama, dan ditangani oleh orang-orang yang tidak paham tentang kondisi kejiwaan LGBT.

Gerakan LGBT harus mendapat perhatian serius oleh pemerintah. Kita tidak bisa lagi melihat LGBT dalam perspektif individual. Melainkan, orang-orang yang bergabung dalam LGBT harus mendapat perhatian khusus dan pengembalian pemahaman tentang orientasi seksual. Sehingganya, tidak menjadi keresahan dalam lingkungan masyarakat, dan tidak mempengaruhi ruang-ruang publik, untuk membenarkan apa yang mereka lakukan, terkhusus tunas anak muda kita.

Masyarakat pun tidak boleh main hakim sendiri menanggapi persoalan LGBT ini. Masyarakat harus sepenuhnya menyerahkan persoalan LGBT kepada penegak hukum untuk menangani gerakan-gerakan yang dilakukan oleh LGBT. Baik itu melakukan tindakan represif karena telah menyalahi ketentuan Perundang-Undangan yang berlaku, maupun tindakan persuasif untuk memberi pemahaman kepada pelaku LGBT, perihal hukum dan limitasi hak asasi manusia yang berlaku di negeri berkeadaban ini.

Oleh: Fadlhan Hidayat

Author negarahukum.com

 

 

Artikel ini sudah muat di Harian Tribun Timur, 29 Februari 2016

You may also like...