KY Bukan Subordinat Kekuasaan Kehakiman

Putusan MK dalam Pengujian Undang-Undang (PUU) No 4/2014 yang dibacakan pada Kamis (16/02/2014) lalu patut dicermati secara kritis-akademis. Menempatkan dirinya sebagai ‘penafsir tunggal konstitusi’, dalam putusannya MK mengatakan bahwa semua pokok permohonan merupakan ‘jantung’ atau substansi inti dari UU No 4 Tahun 2014. MK memutus mengabulkan semua permohonan. Itu artinya, UU No 4 Tahun 2014 tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat (inkonstitusional).

Termasuk yang diatur dalam undang-undang tersebut; pembentukan panel ahli, majelis kehormatan hakim (MKH), dan syarat tujuh tahun tidak menjadi anggota parpol bagi calon hakim konstitusi, akhirnya batal diwujudkan.

224631_ketua-mk-akil-mochtar-_663_382

Image: viva,co.id

Terus terang, dalam pengamatan penulis, putusan MK ini ‘rumit’ dipahami alur logika dan interpretasi hukumnya. Meskipun secara positif MK berhasil ‘membebaskan’ dirinya dari intervensi kekuasaan lain (pemerintah/eksekutif) sebagai akibat terbitnya Perppu No 1 Tahun 2013 yang kemudian dikuatkan menjadi UU No 4 Tahun 2014. Status ‘genting dan memaksa’ itu juga tidak cukup kuat sebagai alasan keluarnya Perppu karena UU MK mengatur masih bisa bersidang dengan 7 (tujuh) orang hakim (minimal).

Rumit, karena asas universal, “nemo judex in re sua” yang berlaku dalam kekuasaan kehakiman, bahwa ‘hakim tidak boleh menilai dirinya sendiri’ secara terang dilanggar oleh MK ketika memutus Perppu ini (termasuk sejumlah putusan lain yang juga menyentuh langsung MK). “Nemo judex in re sua” adalah asas yang diterima secara universal dan shahih.

Termasuk dalam aspek pengawasan. MK seakan membatasi diri untuk tidak diawasi, baik oleh elemen masyarakat sipil maupun oleh lembaga negara yang dibentuk oleh UUD maupun UU, dalam hal ini Komisi Yudisial (KY). Ini jelas menentang prinsip check and balances dalam politik kekuasaan kehakiman..

Soal keterlibatan KY dalam pembentukan panel ahli memang mereduksi kewenangan tiga lembaga negara; Presiden (pemerintah), DPR (legislatif), dan MA (yudikatif) dalam pengajuan (bukan pengusulan) 3 (tiga) hakim konsitusi. KY melebihi kewenangannya karena ikut menentukan lolos tidaknya nama-nama calon hakim konstitusi yang diajukan ketiga lembaga negara tersebut. Sementara tafsir UUD 1945 dan UU Kekuasaan Kehakiman tidak mengatur kewenangan KY sampai sejauh itu. Sekali lagi, ini tafsir UUD 1945, bukan tafsir undang-undang.

Namun demikian, kedudukan KY sebagai salah satu ‘pelaku’ kekuasaan kehakiman (judicial power) tidak bisa dinafikkan. KY tetap memiliki peran yang sangat signifikan dalam politik kekuasaan kehakiman. UUD 1945 menempatkan KY bersama MK dan MA dalam Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman. Tafsir konstitusi tersebut memberikan peran yang sangat penting bagi KY. KY tidak bisa hanya dipandang sebagai state auxiliary organ sehingga berakibat ia dipandang inferior dan menjadi ‘sub-ordinat’ MA dan MK dalam politik kekuasaan kehakiman.
Pertanyaan konstitusionalnya adalah, mengapa UUD 1945 menempatkan KY – yang notabene sebagai auxiliary organ – kedalam Bab Kekuasaan Kehakiman bersama MA dan MK? Tentu penempatan ini tidak asal. Konstitusi sadar, bahwa sebagai pelaksana fungsi kekuasaan kehakiman, MK dan MA memiliki kewenangan yang sangat besar. Nah kewenangan itu besar potensi untuk disalahgunakan jika tidak diawasi. Oleh karenanya konstitusi ‘memerintahkan’ KY untuk melakukan fungsi pengawasan dan menjaga keluhuran dan martabat hakim, tidak hanya hakim struktural dibawah MA, namun juga termasuk hakim konstitusi dan hakim agung sendiri.

Pengawasan tersebut berpijak pada teori ‘tidak ada kekuasaan tanpa pengawasan’. Pengawasan yang dimaksud adalah pengawasan terhadap perilaku hakim, bukan kinerja hakim dalam memutus sebuah perkara. ‘Hakim’ itu tidak bisa ditafsirkan secara rigid dan sempit hanya pada hakim pada pengadilan dibawah MA, namun semua hakim, termasuk hakim konstitusi dan hakim agung, harus menjadi objek pengawasan KY. Status “Agung’ dan “konstitusi’ itu hanya embel-embel dalam struktur kekuasaan kehakiman yang menempatkan MK dan MA sebagai pelaku kekuasaan kehakiman tertinggi. Status tersebut tidak lantas dipandang superior sehingga memunculkan arogansi kelembagaan dan individual yang tidak produktif. Karena pengawasan KY hanya terkait perilaku hakim, bukan pada teknis peradilan/putusan.

Seyogyanya, MK-MA lebih bijak menempatkan dirinya. Oleh konstitusi, keduanya ditempatkan dalam posisi yang sama, sebagai sesama pelaku kekuasaan kehakiman (judicial power). Tafsir konstitusi dan UU Kekuasaan Kehakiman harus dipahami sebagai satu kesatuan. Sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, tanpa memandang hierarkis-struktural, dan tanpa embel-embel “hakim agung” atau “hakim konstitusi” yang lebih superior dibanding yang lain. Sehingga menimbulkan arogansi dan narsisme yang berlebihan. Status hakim semua sama. Tidak peduli yang bertitel “agung” atau “konstitusi.” Hakim adalah hakim. Bukan tuhan atau dewa, tapi manusia yang punya kekurangan.

Keberadaan KY seyogianya dipandang sebagai perwujudan prinsip check and balances antar cabang kekuasaan kehakiman. Sebagaimana keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) hubungannya dengan DPR dalam struktur kekuasaan legislatif. Hadirnya KY mewujudkan harmonisasi kekuasaan kehakiman, agar tidak ada kekuasaan yang kebablasan, dan tidak ada kekuasaan yang melampaui batas atau disalahgunakan (abuse of power), sehingga pengawasan mutlak diperlukan.

Karena menjadi aneh ketika MK menggunakan dalil ‘intervensi’ terkait fungsi pengawasan KY ini, sementara MK sendiri tidak independen terkait mekanisme perekrutan hakim konstitusi yang berasal dari pemerintah dan DPR. Sehingga menjadi patut untuk dikritik kekuasaan yang bersumber dari pemerintah dan DPR itu. Apakah itu bukan sebuah intervensi?

Itu jelas intervensi. Karena teori independensi kekuasaan kehakiman itu berpijak pada 2 (dua) aspek; aspek kelembagaan dan teknis peradilan, termasuk putusan. Kewenangan pemerintah dan DPR dalam pengajuan 3 (tiga) hakim konstitusi adalah bentuk dari intervensi itu meskipun kewenangan itu bersumber dari konstitusi. Jadi dengan sendirinya, konstitusi sudah membatasi status independensi hakim MK itu.

Juga, MK tidak cukup bijak saat memutus perkara ini dengan tetap melibatkan hakim konstitusi Patrialis Akbar dan Maria Farida. Padahal diketahui, SK pengangkatan Patrialis dan Maria oleh Presiden digugat oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum di PTUN Jakarta dan dimenangkan. Seyogianya MK menunjukan sikap negarawan itu dengan me-non aktif-kan untuk sementara waktu keduanya sebagai hakim MK sampai putusan inkracht pada pengadilan tingkat banding atau kasasi di MA (jika ini dilakukan) menyatakan SK Presiden tersebut sah atau tidak.

Penulis sepakat, sebagai peradilan konstitusional (constitutional court), independensi MK perlu tetap dijaga, hal ini tidak saja sebagai upaya untuk mewujudkan demokrasi konstitusional (constitutional democracy), namun juga untuk menguatkan fungsi MK sebagai pengawal hak asasi manusia.

Namun demikian, hal tersebut membuat tidak lantas membuat MK ‘alergi’ dan membatasi diri dari pengawasan, apakah pengawasan oleh masyarakat sipil maupun peran pengawasan yang dilakukan oleh suatu badan yang ditunjuk oleh UUD maupun undang-undang. Jangan sampai kasus Akil Mochtar terulang lagi hanya karena MK alergi untuk diawasi. Dictum Lord Acton, ‘power tends to corrupt, and absolute corrup absolutly’, bahwa kekuasaan yang besar cenderung korup itu sudah terbukti dalam kasus Akil. Hendaknya MK memahami itu.

Artikel Ini Juga Muat Diharian Media Indonesia Edisi 19 Februari 2014

Wiwin Suwandi, S.H., M.H.

Advokat, Pegiat Tata Negara dan Antikorupsi di ACC Sulawesi

You may also like...