Mahkamah Merongrong Istana

Sumber: compas.com

PUTUSAN Nomor 44 P/HUM/2019 yang ter-publish di website Mahkamah Agung 3 Juli 2020. Kembali menuai sekeping harapan dari sebagian kelompok, untuk menyoal keterpilihan Jokowi-Ma’ruf Amin, tidak berdasar hukum. Selain putusan tersebut menimbulkan kejutan publik, juga seolah-olah datang bak tamu di siang bolong, hendak merongrong istana negara.

Sejumlah pengamat hukum menilai putusan MA itu, tidak berdampak apa-apa untuk legitimasi Presiden dan Wakil Presiden. Mereka yang mempersoalkan Putusan MA, lebih dominan dituding, sedang terdistorsi informasi, terbius konspirasi, tercekal stigmatisasi, terseret hipokrisi, dan terjerembab dalam insinuasi.

Pilpres Bersoal

Alih-alih dengan kacamata hukum, tak ada lagi perdebatan. Beda dengan perspektif politik, justru saat inilah katanya, dapat dengan leluasa menggoyang bandul ramalannya. Namun dalam hemat saya, dengan hukum tanpa “kacamata”, putusan pengujian PKPU itu nyatanya masih menyisakan persoalan besar.

Bukankah dengan putusan MA, serta-merta telah mencabut “akar tunggal” penetapan Jokowi-Ma’ruf sebagai presiden dan wakil presiden terpilih, dalam hal hanya 2 (dua) pasangan calon, cukup dengan suara terbanyak tanpa diikuti dengan syarat persebaran suara. Masalah yang pertama ini, ada yang mencoba membendungnya dengan kembali menghitung persebaran suara Jokowi-Ma’ruf. Katanya, tetap memenuhi persebaran suara 20 persen lebih dari setengah provinsi (18), sehingga Putusan MA tidak berarti.

Namun perlu diingat, jangankan soal penetapan keterpilihan presiden dan wakil presiden berdasarkan suara mayoritas dalam ihwal hanya terdapat dua paslon, sudah tak berdasar hukum. Pada persebaran suara plus suara mayoritas dalam ihwal hanya dua paslon. juga sedari kemarin, sejak UUD NRI 1945 hadir, hingga Putusan MK Nomor 50/PUU-XII/2014, tak pernah ada konsensus hukum yang membuka peluang dengan metode semacam itu. Pendek kata, dua paslon tak berlaku penetapan langsung, tak berlaku pula mayoritas absolut.

Putusan MA yang digawangi oleh Supandi Dkk,  pada kenyataannya juga menimbulkan tanda tanya baru. Pilpres 2019 kemarin, tidak legitim karena hanya diikuti dua pasangan calon. Tanpa kehadiran Pasal 3 ayat 7 PKPU Nomor 5/2019. Hanya dengan Pasal 6A UUD NRI 1945 beserta Pasal 416 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, tak lain memerintahkan secara implisit, Pilpres harus dengan tiga pasangan calon atau lebih dari itu.

Pertanyaannya, apakah gara-gara Putusan MA, sudah menjadi keharusan agar Pilpres 2019 diulang. Dengan catatan wajib tersaji tiga atau lebih pasangan calon presiden dan wakil presiden?

Rasio Hukum

Tidak perlu ada pengulangan Pilpres, yang dibutuhkan saat ini  adalah ketajaman hati, rasio, dan akal sehat dalam menyikapi Putusan MA. Lex superior derogat legi inferiori, asas hukum ini harus menjadi pegangan bahwa untuk dua putusan (MK dan MA). Dengan kondisi bersyarat, hanya untuk pengujian undang-undang, dua putusan yang saling bertentangan maka gunakan putusan MK.

Mengapa harus menggunakan putusan MK? Rasionya, putusan MK membunyikan UUD NRI 1945, sedangkan putusan MA membunyikan UU. Menerapkan asas lex superior, tidak dipandang pada kedudukan lembaganya, karena pada hakikatnya dua lembaga tersebut sederajat. Tetapi titik koordinat penarikan garisnya, yaitu pada dasar hukum pengujian, UUD Vs UU, jelas yang berlaku adalah UUD.

Putusan MK Nomor 50/PUU-XII/2014 yang pada pokoknya menisbatkan kaidah hukum penetapan pasangan calon terpilih dengan berdasarkan suara terbanyak saat hanya terdapat dua paslon dalam pemilu. Adalah ketentuan hukum yang hidup, sekalipun tidak teradaptasi dan terakomodasi dalam UU. Tetap juga menjadi ketentuan yang hidup, sekalipun MA mengebirinya dengan pengujian materil, karena Putusan MK imun pengujian, selain dan untuk dirinya sendiri.

Rongrongan Putusan MA terhadap istana negara, tidak akan pernah menumbangkan kokohnya keterpilihan presiden dan wakil presiden. Putusan MK yang lahir melalui penalaran beserta perenungan batin yang tajam sembilan majelisnya, dengan menelusuri jejak dan piranti perdebatan PAH amandemen UUD 1945. Di sana, di masa lalu itu, dibalik kesejukan angin reformasi, sedang terdendang merdu seruling kedaulatan negara kesatuan, syarat persebaran suara 20 persen lebih dari setengah provinsi di tanah Republik Indonesia, perlu ada saat pilpres dihelat lebih dari dua pasangan calon.

Tatkala hanya ada dua pasangan calon, syarat persebaran suara itu tidak perlu ada. Lagi-lagi rasionalkah putusan MK? Tidakkah terdapat pilihan bijak, sedianya ditata aturan syarat keterpilihan presiden secara runut. Untuk pilpres hanya ada dua paslon, dahulukan persebaran suara. Jika tidak terpenuhi angka persebaran. Barulah melangkah pada alternatif berikutnya, dengan menggunakan syarat suara terbanyak saja.

Kaidah hukum jangan mubazir. Kata orang Romawi; leges breves sunto, ut facilius taneantur (undang-undang harus pendek supaya ia mudah dituruti). Dalam hal hanya dua paslon, di awal mengatur syarat keterpilihan berbasis persebaran suara, lalu di akhir diabaikan oleh syarat suara mayoritas. Mengapa tidak memilih pada yang akhir saja? Apa gunanya syarat sebaran, kalau mayoritas yang menjadi utama. Bukankah pada syarat mayoritas, bisa mandiri, sebaliknya tidak demikian untuk syarat sebaran suara.

Sejumlah dalil hukum yang menahan rongrongan mahkamah ke istana, putusan MA tidak berlaku surut, tetapi prospektif. Keterpilihan Jokowi-Maarif pun memenuhi angka persebaran suara 20 persen di delapan belas provinsi. Dua argumentasi hukum tesebut, wajib dikesampingkan. Hanyalah pada Putusan MK Nomor 50/PUU-XII/2014 yang menerobos syarat keterpilihan berbasis suara mayoritas, merupakan pilihan hukum paling rasional.

 Dan rasionalnya alternatif tersebut, tentang sifat keabadiannya tidak lagi dalam teks-teks tertulis, tetapi dalam cipta, rasa, dan karsa. Akal sehat akan beradaptasi dengan zaman yang berubah. Akal sehat akan berlari bersama dengan kenyataan. Tidak seperti hukum tertulis yang tertatih-tatih mengejar kenyataan.*

 

Oleh:

Damang Averroes Al-Khawarizmi

You may also like...