Margarito Kamis Mengatakan “Sengketa Pilwali Makassar, MA Cukup Berjalan Lurus”

Pakar Hukum Tata Negara: Margarito Kamis

Menyertakan Mahkamah Agung (MA) ke dalam satu unit proses pemilihan kepala daerah (pilkada), khususnya menyelesaikan salah satu jenis sengketa dalam pilkada, harus diakui dan dinilai sebagai suatu terobosan.

Pelibatan MA dalam soal ini mengagumkan karena satu sebab. Sebabnya adalah cara ini menandai tidak hanya gerak naik kesadaran untuk berdansa dengan demokrasi yang terkonsolidasi yang pakem epistemologinya menjadikan hukum sebagai tuntunannya.

Demokrasi jenis ini acapkali disifatkan sebagai negara demokrasi konstitusional, yang sejarahnya tumbuh dan mekar berkat serangkaian impian mengagumkan.

Impiannya adalah agar orang-orang kuat, yang dalam sejarah abad kuno dan pertengahan berada di pusaran kekuasaan, yang cerdas dan cekatan mengendalikan kehidupan masyarakat, membolak-balik hukum sesuka mereka, terbatasi gerak-gerik kotornya.

Epistemologinya

Menuntun demokrasi dengan hukum, dalam dunia ilmu hukum, dunia yang berkutat dengan norma dan kaidah, yang sepenuhnya merupakan panduan, tuntunan, kompas, atau kendali perilaku, yang acapkali dimaknai sebagai penegasan atas hak dan kewajiban adalah dunia yang di dalamnya hak dan wewenang didefinisikan secara rigid.

Di dunia ilmu hukumlah hak dan kewenangan memperoleh pijakannya. Hak dan kewenangan dalam konteks ini tidak pernah ditemukan di tempat lain, apa pun itu, kecuali dalam hukum.

Dalam dunia ilmu hukum, siapa pun, sehebat apa pun orang itu, tidak dapat  dengan alasan apa pun, mendefinisikan sendiri hak dan kewenangannya. Dalam ilmu hukum hak dan kewenangan ditemukan, sekali lagi, hanya dalam hukum. Di luar itu, tidak.

Praktis hak, begitu juga wewenang memiliki batas jangkauannya, karena didefinisikan dalam hukum. Batas jangkauan hak dan wewenang untuk pengadilan misalnya dikenal dengan istilah kompetensi absolut dan relatif.

Batas jangkauan wewenang pengadilan tak pernah bermakna lain, apa pun, dalam ilmu hukum selain menentukan objek perkara yang dapat diperiksa, diadili, dan diputus. Pengadilan, dalam makna ini batas wewenang dilarang bertindak memeriksa, mengadili dan memutus sebuah perkara yang tidak diotorisasikan oleh undang-undang sebagai wewenangnya.

Tujuannya sederhana yaitu  membuat indah marwahnya. Indah karena pengadilan bisa memeriksa, mengadili, dan memutus secara mandiri, bebas dari kemungkinan diperalat orang kuat untuk kepentingannya sendiri.

Sejarah lahirnya pembatasan wewenang pengadilan dirangsang oleh kenyataan pengadilan pada masa lampau, yang sepenuhnya merupakan organ kerajaan, menampilkan diri sebagai suara keadilan raja. Keadilan khas raja sejatinya bukan keadilan. Itu sebabnya ditolak.

Itu sebabnya pula pengadilan sebagai sebuah organ kekuasaan dalam negara hukum demokratis dipisahkan dari dua organ kekuasaan lainnya, pemerintah dan legislatif. Tujuannya sederhana; pengadilan dapat bekerja secara mandiri.

Kemandirian diyakini sebagai benteng terbesar, senjata terkuat dalam menantang intervensi kekuatan-kekuatan kotor yang selalu berhasrat  menggunakan hukum untuk menyapu, merobek-robek keadilan, dan menyingkirkan lawan-lawan politiknya.

Itulah secuil alasan di balik impian menjadikan pengadilan sebagai benteng, tidak hanya keadilan, tetapi juga kemanusiaan. Seindah itulah kerinduan negara hukum demokratis tentang pengadilan.

Itu sebabnya negara-negara hukum demokratis, termasuk dan tidak terbatas pada Indonesia, mengandalkan pengadilan dalam menyelesaikan berbagai soal. Di titik inilah letak rasionalitas pelibatan MA dalam penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah.

MA Harus Lurus 

Demokrasi konstitusional jelas dirangsang oleh ambisi mengubah wajah ambisius, serakah, dan tamak dalam politik dan hukum, yang diarsiteki orang-orang serakah dalam politik dan ekonomi.

Sukses? Tidak selalu. Di belahan dunia lain ditemukan serangkaian kenyataan hitam. Artikel Charlotte Dennett, pengacara dan jurnalis investigatif kawakan, yang berjudul “Perang Melawan Teror dan Permainan Besar untuk Minyak; Bagaimana Media Kehilangan Konteks” cukup jelas menggambarkan lumpuhnya kekuasaan hukum demokratis.

Menariknya kerinduan untuk mengandalkan hukum dan pengadilan dalam urusan politik dan ekonomi terus saja bersinar. Itulah yang ditunjukkan bangsa ini dengan gagasan yang dalam Pasal 153 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi UU.

Pasal ini menandai kehendak pembentuk UU Nomor 10 Tahun 2016 melibatkan pengadilan. Pelibatannya terbatas hanya pada Pengadilan Tinggi TUN dalam penyelesaian sengketa administrasi negara, bukan pelanggaran proses pilkada.
Secara spesifik kehendak pembentuk UU Nomor 10 Tahun 2016 hanya meliputi; (i) Pelibatan pengadilan tinggi tata usaha negara, PT TUN pengadilan banding dalam hierarki peradilan TUN menyelesaikan sengketa pilkada. (ii) Sifat hukum sengketanya harus administrasi negara sebagai akibat dikeluarkan ‘keputusan KPU.’  Norma “keputusan KPU” dalam kontes ilmu hukum bersifat golden rules, sekaligus determinative rules, bukan acomodative rules.

Hukumnya adalah hanya sengketa yang timbul sebagai ‘akibat dikeluarkannya keputusan KPU’ yang menjadi, bersifat imperatif, wewenang PT TUN memeriksa, mengadili, dan memutus. Di luar sengketa jenis ini, tidak sah diperiksa, diadili, dan diputus oleh PT TUN.

Rangkaian norma Pasal 153 UU yang disebut di atas tentu sebagai norma otoritatif, sedemikian terangnya sehingga tidak dapat diinterpretasi lain, selain dan terbatas pada keputusan KPU sebagai objek sengketa di PT TUN dalam pilkada. Titik. Tidak ada intensi lain dari pembentuk UU selain dan terbatas pada ‘keputusan KPU’ sebagai objek sengketa di PT TUN dalam pilkada.

Lain dalam teks lain pula dalam praktik. Pasal 153 di atas diikuti secara ketat oleh PT TUN Medan dalam sengketa administrasi negara pilkada Sumatera Utara. Objek dalam sengketa ini adalah keputusan KPU tentang penetapan salah satu calon gubernur.

Bagus. Sayangnya, lain Medan lain Makassar. PT TUN Makassar dalam pemilihan wali Kota Makassar, mungkin berdasarkan pertimbangan pengadilan tak bisa menolak menerima gugatan, gugatan yang sama sekali tak memiliki kaitan dengan keputusan KPU diperiksa, diadili, dan memutus.

Tragisnya gugatan dikabulkan. Padahal, tak satu pun norma dalam Pasal 153 UU Nomor 10 Tahun 2016 yang telah disebutkan di atas, yang jangankan tegas, samar-samar pun tidak menunjuk Pasal 71 ayat (2) dan ayat (3) sebagai objek perkara untuk diperiksa, diadili dan diputus oleh PT TUN.

Perkara dalam Pasal 71 ayat (2) dan ayat (3) sepenuhnya menjadi wewenang Panwas Kota. Nalarnya menjadikan Pasal 71 ayat (2) dan ayat (3) UU Nomor 10 Tahun 2016 yang isinya mengatur tindakan petahana sebelum ditetapkan KPU menjadi calon kepala daerah sebagai objek wewenang mengadili PT TUN, sama hukumnya dengan PT TUN menciptakan sendiri wewenang mengadilinya.

Sungguh tak ada nalar hukum untuk menyetujui perluasan kewenangan yang ditempuh PT TUN Makassar. Selain disebabkan Pasal 153 secara rigid, imperatif membatasi kewenangan mengadili PT TUN dalam isu pilkada, ihwal hukum dalam Pasal 71 ayat (2) dan ayat (3) sama sekali tidak timbul sebagai akibat ‘keputusan KPU’.

Sejak kapan KPU mengeluarkan surat keputusan (SK) untuk tindakan pemerintahan petahana selama memerintah? Tindakan petahana tidak memiliki hubungan kausal selonggar apa pun dengan keputusan KPU.

Berhukum, dalam ilmu hukum, harus diakui bukan menari di atas teks hukum. Tetapi, kala hukum telah mendefinisikan sendiri apa yang menjadi wewenang pengadilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus, maka pengadilan tak punya pilihan lain selain menenggelamkan diri ke dalam teks itu. Melompat keluar teks dengan argumen berhukum secara progresif, sama nilainya dengan menihilkan kepastian hukum, sembari mempromosi kekacauan hukum.

Di atas langit, kata para bijak, ada langit, langit yang lebih tinggi. Kekeliruan kecil, tapi nyata PT TUN dalam sengketa pilkada Kota Makassar sungguh amat wajar dikoreksi.

MA, langit tertinggi dalam dunia peradilan Indonesia, melalui Kamar TUN nya mesti menemukan jalan lurus, koreksi kekeliruan dalam kasus ini. Di langit MA inilah bergantung semua mimpi, tidak saja keadilan bagi setiap orang, tetapi juga tertib hukum Indonesia menuju keelokan hidup masyarakat beradab.

Imperatif bagi MA mengambil jalan lurus dalam kasus ini. Jalan lurus selalu berinduk pada kejernihan mengenal teks, maksud, dan makna atau esensi teks. Mau tidak mau MA harus mengenal teks yang saling terangkai beserta tanda-tanda baca dan penggunaan huruf.

Merangkai teks, maksud, dan makna teks dengan kasus konkret konstruksi adalah jalan terindah dalam menemukan keadilan. Jalan ini tak mudah karena harus memadu teks dan maksud teks dalam perspektif textualism dan intentionalism, tetapi bukan yang tersulit.

Tak ada fungsionaris yang terkapar di jalan sulit ini. Yang tersulit adalah berkelit, berpaling dari tekanan teman, apalagi teman berstatus penguasa ekonomi dan politik, godaan dan iming-iming petualang. Namun, sesulit apa pun hal yang disebut terakhir ini akan terasa mudah, ringan bagi fungsionaris yang hati dan otaknya mengenal indahnya kemuliaan diri.

 

Oleh:

Margarito Kamis

Doktor Hukum Tata Negara, Staf Pengajar FH Universitas Khairun Ternate

Artikel ini disadur ulang dari Koran Sindo, Selasa, 10 April 2018 -dengan judul asli “MA di Pusaran Pilkada”

You may also like...