Masalah Laten Caleg Eks Narapidana

Sumber: kompas.com

CALON anggota legislatif berstatus mantan Narapidana merupakan masalah laten pemilu, yang selalu memunculkan diskursus antar penyelenggara pemilu, KPU dan Bawaslu. Dahulu pada pemilu 2019, beberapa calon anggota legislatif eks napi sempat didiskualifikasi oleh KPU. Diantara mereka, ada yang melakukan perlawanan ke Bawaslu dan MA, hingga KPU tidak ada pilihan lain “mengembalikan” calon-calon tersebut ke DCS dan DCT, berhak mengikuti kontestasi pemilu.

Sekarang, isu mantan napi kembali menjadi “materi hukum” untuk mendesak KPU, agar dilakukan pembatasan syarat pencalonan. Yaitu harus menunggu lima tahun dahulu, terhitung sejak ia telah bebas dari masa pemasyarakatan sampai dengan hari pendaftaran calon anggota legislatif. Syarat ini harus dituangkan dalam PKPU Pencalonan, agar ada perlakuan yang sama antara calon anggota legislatif dengan calon kepala daerah karena statusnya sebagai mantan narapidana.

Perang Tafsir

Rasionalkah materi desakan tersebut? Ada saja rasionalisasinya, tetapi masih berpotensi meninggalkan multitafsir berkepanjangan, antara para penyelenggara pemilu dengan peserta pemilu. Hal tersebut disebabkan pada potensi keadaan “perang tafsir” dengan penjelasan sebagai berikut.

Pertama, kalau kita membaca Putusan MK Nomor 56/PUU-VII/2019 yang memberlakukan masa jeda lima tahun bagi eks napi calon kepala daerah. Adalah yang demikian juga berlaku bagi mantan napi caleg.

Pada putusan itu, MK menyatakan bahwa berkenaan dengan syarat eks napi kepala daerah untuk mendaftar sebagai calon. Antara menunggu jeda lima tahun dan kewajiban mengumumkan statusnya sebagai mantan napi, berlaku kumulatif sebagaimana dahulu yang termuat dalam Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009.

Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009 ini, selain merupakan hasil pengujian materil syarat eks napi calon kepala daerah, dahulu juga sebagai hasil pengujian dari syarat eks napi calon anggota legislatif (Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pileg).

Artinya apa? Kalau MK menyatakan pada Putusan Nomor 4/PUU-VII/2009, syarat-syarat untuk itu berlaku kumulatif. Dan disana tidak hanya tentang pengujian syarat calon kepala daerah, tetapi juga syarat calon anggota legislatif. Apalagi setelah itu, tidak ada lagi pengujian materil ke MK tentang syarat eks napi Caleg seperti eks napi Cakada (Putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015). Maka, sangat beralasan syarat demikian, jeda lima tahun untuk keduanya diberlakukan sama. Pada konteks itu, KPU bisa menuangkannya dalam bentuk peraturan organik yang bernama PKPU Pencalonan.

Tapi tunggu dulu, selain ini hanya soal tafsir yang masih bisa memunculkan perbedaan pendapat. Dalam Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009, nyatanya juga terjadi inkonsistensi antara pertimbangan dan amarnya. Pada pertimbangannya (hlm 80), memang terbaca syarat-syarat tersebut berlaku kumulatif, tetapi pada amar jelas sekali terbaca sebagai syarat yang bersifat alternatif dengan adanya frasa “…{dikecualikan} bagi mantan narapidana yang secara terbuka dan jujur mengumumkan kepada publik bahwa yang bersangkutan sebagai mantan narapidana.”

Kalau sudah begitu pembacaannya, apa lagi yang akan terjadi. Sulit dihindari akan ada perbedaan pendapat antara KPU dan Bawaslu, antara KPU dengan Caleg. Eks napi Caleg yang dahulu pada pemilu 2019, menjadikan Bawaslu dan MA sebagai saluran hukum pemulihan hak pilihnya, akan kembali terulang.

Kedua, ada juga yang mengatakan bahwa karena pilkada dan pemilu sudah dalam satu “regim pemilu.”  Maka, tidak penting lagi memperdebatkan syarat pencalonan eks napi tersebut. Dua-duanya sudah mesti diberlakukan sama.

Saya memberi tambahan untuk pendapat ini. Kalau kita memberlakukan “asas erga omnes,” maka undang-undang yang tidak diuji pun oleh MK, apabila ada perubahan atasnya, harus dimaknai sebagai hal sama dan satu kesatuan yang mengalami perubahan kaidah hukum. Artinya, syarat eks napi cakada juga berlaku bagi caleg.

Namun dalam praktik, alasan ini tetap saja akan meninggalkan “perang tafsir.” Soal rezim yang sama, Putusan MK Nomor 72-73/PUU-II/2004 bukankah tidak dibatalkan oleh Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019. Dan lagi mengenai asas erga omnes, tidak ada apa-apanya, karena daya eksekusi putusan uji materiil MK bisa dikatakan nihil.

Uji Materil

Bagaimana cara menghindari perang tafsir atas masalah laten eks napi tersebut? Saya justru berharap agar KPU dan Bawaslu yang menjadi pihak pemohon uji materil ke MK atas syarat eks napi calon anggota legislatif di undang-undang Pemilu.

Dasar argumentasinya, yaitu: Pertama, KPU dan Bawaslu adalah penyelenggara terpilih melalui fit and proper test dari wakil-wakil rakyat yang pernah kita pilih. Keduanya digaji oleh negara, sehingga apa salahnya jika kewajiban untuk mengajukan uji materiil atas itu dibebankan kepadanya.

Kedua, soal legal standing. KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Kepadanya, dibebani kewajiban menyelenggarakan pemilu yang jujur dan adil.

Agar bisa terwujud pemilu yang jujur dan adil, KPU dan Bawaslu jelas yang akan bersentuhan langsung dengan undang-undang pemilu, berikut sebagai pencipta peraturan organiknya. Dibutuhkan kepastian hukum untuk itu, caleg mantan napi apakah berlaku jeda lima tahun atau sebaliknya tidak berlaku.

Dalam rangka mewujudkan pemilu yang adil, adil bagi penyelenggara, adil bagi peserta pemilu, adil bagi pemilih, adil bagi mantan narapidana. Aktor utama atau wasitnya ada di KPU dan Bawaslu. Sebagai wasit pemilu, tentu merekalah berdua yang akan mengejawantahkan dalam praktik syarat-syarat tersebut, apakah terpenuhi atau tidak terpenuhi mantan narapidana untuk ditetapkan sebagai calon anggota legislatif.

Masalah laten narapidana harus diakhiri. Mantan napi menggugat KPU ke Bawaslu dan MA pada pemilu 2019, silang pendapat KPU dan Bawaslu pada Pilkada Boven Digul 2020 tentang eks napi bebas bersyarat. KPU dikalahkan pemohon di MK, karena mengikutsertakan mantan narapidana pada PSU Pilkada Yalimo. Semuanya harus diakhiri, dengan keadilan berkepastian hukum bagi mantan narapidana yang masih mendamba duduk di kursi jabatan politik.

Oleh:

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum UMI

Sumber: Opini Tribun Timur, 6 September 2022

You may also like...